Kucing-kucingan Jual-Beli WTP, Presiden dan DPR Harus Berani Copot Pimpinan BPK jika...

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Mei 2024 10:55 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gurnadi Ridwan, mengatakan kasus jual beli predikat WTP Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Kementerian Pertanian (Kementan) menandakan bahwa BPK belum serius menyelesaikan masalah dugaan jual beli opini dalam lembaganya.

Menurut Gurnadi,hal ini tidak lepas dari minimnya hukuman yang dapat menimbulkan efek jera. "Belum ada perbaikan secara serius dari internal BPK, apa lagi kasus ini bukan yang pertama. Lemahnya efek jera bisa menjadi faktor oknum BPK berani kucing-kucingan melakukan jual beli opini," kata Gurnadi, Jum'at (16/5/2024).

Menurut Gurnadi predikat WTP yang dikeluarkan BPK penting karena menunjukkan lembaga yang diperiksa kondisi keuangannya baik. Predikat itu juga akan mendatangkan insentif keuangan dengan nilai miliaran rupiah.

Akan tetapi, status WTP tidak menjamin instansi pemerintah bebas korupsi. Pasalnya, audit BPK lebih ke uji kewajaran, konsistensi regulasi, dan akuntabilitas pelaporan.

Jika dokumen administrasi tersebut terpenuhi, maka bisa menjadi penilaian yang baik. Tetapi belum tentu bisa membaca modus-modus korupsi dan manupulasi. Maka itu, bisa saja ada aksi jual beli opini.

"Kenapa status opini BPK bisa ditransaksikan? Bisa jadi karena memang ada makelarnya, sehingga perlu dicari, apakah ini dari internal atau dari eksternal. Tentunya ada tawar menawar di awal, sehingga pentingnya penegakan kode etik auditor dengan pihak yang diperiksa," kata Gurnadi.

Jika dilihat dari sistem keamanan auditor, FITRA menilai tidak ada alasan untuk membenarkan aksi jual beli opini. Ia beralasan, Undang-Undang BPK mengatur keamanan auditor. Selain itu, masalah gaji dan tunjangan juga tidak menjadi faktor.

"Tetapi hal ini bisa diperdalam lagi, apakah ada faktor lain yang membuka peluang terjadinya transaksi jual beli opini," jelasnya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja BPK, apalagi mereka berperan sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pertama, presiden dan DPR perlu memanggil pimpinan BPK dan mencari jalan keluar atas maraknya jual beli opini. Alasannya, presiden merupakan pemimpin tertinggi negara dan DPR merupakan lembaga yang memilih anggota BPK dengan pertimbangan DPD. "Presiden dan DPR juga harus berani mencopot jabatan pimpinan BPK jika tidak ada perubahan dalam waktu dekat," kata Gurnadi.

BPK juga perlu meningkatkan sistem pengawasan sehingga praktik jual beli opini tidak terjadi kembali. BPK harus didorong untuk membuka ruang partisipatif masyarakat di dalam tahapan seleksi BPK, sehingga pimpinan BPK yang terpilih memiliki kualitas yang baik dan bebas dari kepentingan politik.

Gurnadi juga mendorong BPK membuka peluang audit kolaborasi, sehingga mengurangi praktik jual beli opini karena dilakukan secara terbuka dan partisipatif.

Sementara itu, Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menegaskan, jika BPK RI kerap tersangkut kasus dugaan rasuah dapat menggerus kepercayaan masyarakat kepada lembaga auditor keuangan negara itu. Bahkan, bisa saja BPK dibubarkan dan bergabung dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Setiap korupsi yang ditangkap dan diperiksa aparat hukum, selalu ada orang BPK yang kena. Klau begini terus, dan lama lama, BPK bisa dibubarkan dan gabung dengan BPKP," kata Uchok kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (17/5/2024). 

Maka untuk itu, tegad dia, sebaiknya BPK membenahi diri, dan cari cara audit lembaga jangan ketemu klien atau orang-orang pemerintah ketika melakukan audit.

Terkait dengan keterangan saksi di persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang membongkar permainan WTP, KPK harus menindaklanjutinya. 

Pasalnya disebutkan dari permintaan uang sebesar Rp12 miliar, transaksi yang sudah terjadi dengan kesepakatan sebesar Rp5 miliar agar Kementan mendapatkan opini WTP dari BPK.

"Kamis minta KPK dapat mengembangkan perkara dengan melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan atas indikasi suap-menyuap ini, KPK harus memanggil dan memeriksa dua orang auditor BPK yang disebutkan namanya dalam persidangan. Yakni Victor dan Haerul Sale," tutupnya.

Deretan kasus korupsi yang menyeret oknum BPK
1. Aliran dana dari Kementan 
Dalam sidang kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), terungkap soal aliran dana ke BPK sebesar Rp 5 miliar untuk bisa mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sesditjen PSP Kementan Permanto yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan, ada oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar untuk mendapatkan WTP. 

Sebab, opini ini terhambat akibat adanya temuan di program lumbung pangan nasional atau food estate. Namun, Hermanto mengaku, tidak mengetahui apakah Kementan langsung memenuhi permintaan tersebut atau tidak. 

Hanya saja, dia mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar. 

“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” kata Hermanto dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (8/5/2024). 

Kepada Jaksa, Hermanto mengaku tidak mengetahui secara detail penyerahan uang miliaran ke BPK tersebut. Hanya saja, oknum auditor BPK itu kerap menagih sisa permintaan yang tidak dipenuhi Kementan. 

Dalam perkara ini, Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. 

2. Proyek fiktif demi setoran BPK dalam kasus Tol MBZ
Direktur Operasional Waskita Beton Precast Sugiharto juga mengakui, dirinya pernah menyiapkan uang sebesar Rp 10 miliar untuk memenuhi permintaan dari BPK RI. 

Hal itu diungkap Sugiharto saat dihadirkan Jaksa pada Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi proyek pembangunan Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat. 

Proyek fiktif ini terungkap saat Jaksa mengkonfirmasi berita acara pemeriksaan (BAP) Sugiharto yang mengungkap adanya permintaan uang miliaran dari BPK. 

"Di BAP saudara ada ditanya terkait proyek fiktif. Ditanya oleh penyidik apakah ada proyek fiktif terkait pelaksanaan Tol Japek ini? Bisa dijelaskan?" kata Jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/5/2024). 

Di hadapan Majelis Hakim, Sugiharto menyampaikan, permintaan BPK terjadi setelah menemukan banyak masalah dalam proyek pembangunan Jalan Tol MBZ. Untuk memenuhi permintaan itu, ia pun membuat sejumlah proyek fiktif saat menjabat sebagai Super Vice President (SPV) Infrastruktur 2 Waskita. 

"Apa pekerjaan fiktifnya?" tanya Jaksa mendalami. "Pekerjaan fiktifnya itu untuk pekerjaan, karena pekerjaan sudah 100 persen, (pekerjaan fiktifnya) hanya pemeliharaan, hanya patching-patching (menambal) saja, pak. Itu kecil saja," kata Sugiharto. 

"Berapa nilainya?" cecar Jaksa. "Rp 10,5 miliar," kata Sugiharto. 

Di muka persidangan, Sugiharto menjelaskan bahwa dirinya dipanggil bersama sejumlah Waskita Beton Precast dipanggil untuk dijelaskan adanya permintaan BPK. 

Dari pertemuan itu, disepakati pembuatan proyek fiktif untuk memenuhi permintaan BPK tersebut. "Akhirnya dibuatkanlah dokumen seolah-olah ada pekerjaan Rp 10,5 miliar itu?" timpal Jaksa. “Iya, betul Pak,” kata Sugiharto. 

Dalam perkara ini, Jaksa menduga telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 510 miliar dalam proyek pekerjaan pembangunan Jalan Tol MBZ tersebut.

3. Anggota III BPK Achsanul Qosasi tersangka
Achsanul Qosasi didakwa telah menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G yang dikelola oleh Bakti Kemenkominfo. 

“Menguntungkan terdakwa Achanul Qosasi sebesar 2.640.000 USD atau sebesar Rp 40.000.000.000,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 7 Maret 2024. 

Jaksa menjelaskan, uang itu diterima Achsanul dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama yang bersumber dari Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak. 

Galumbang memberikan uang kepada Achsanul berdasarkan perintah dari mantan Direktur Utama Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif. “Dengan maksud supaya terdakwa Achsanul Qosasi membantu pemeriksaan pekerjaan BTS 4G 2021 yang dilaksanakan oleh Bakti Kemenkominfo supaya mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan tidak menemukan Kerugian negara dalam pelaksaan Proyek BTS 4G 2021,” kata Jaksa. 

Berdasarkan surat dakwaan, Anang disebut memberikan uang ke Achanul lantaran ketakutan atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Belanja Modal TA 2021 untuk Kementerian Kominfo. 

Achanul pun memanggil Anang untuk ke ruangannya di Kantor BPK Slipi. Di situ, Anang diminta menyiapkan uang Rp 40 miliar. 

Setelahnya, Anang Achmad Latif menelepon Irwan Hermawan dan Windi Purnama untuk menyiapkan Rp 40 miliar yang diberikan kepada seseorang bernama Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyatt Jakarta. 

Atas perbuatannya, Achsanul Qosasi didakwa melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 B dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

4. Korupsi Tukin di Kementerian ESDM 
Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap bahwa ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor BPK RI, Robertus Kresnawan. 

Terkait kasus ini, para terdakwa disebut telah mencairkan dana Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang berasal dari tunjangan kinerja tahun anggran 2020-2022 yang tidak terserap. 

Diketahui, ada sepuluh terdakwa kasus dugaan korupsi Tukin Kementerian ESDM. Antara lain, Subbagian Perbendaharaan, Priyo Andi Gularso; pejabat pembuat komitmen (PPK), Novian Hari Subagio; dan staf PPK, Lernhard Febian Sirait. 

Kemudian, Bendahara Pengeluaran bernama Abdullah; Bendahara Pengeluaran, Christa Handayani Pangaribowo; dan PPK Haryat Prasetyo. Selanjutnya, Operator SPM, Beni Arianto; Penguji Tagihan, Hendi; PPABP, Rokhmat Annasikhah; serta Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi, Maria Febri Valentine. 

“Bahwa di persidangan terungkap fakta adanya pemberian uang dari terdakwa Lernhard Febian Sirait kepada auditor BPK Robertus Kresnawan,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 29 April 2024.

Fakta adanya aliran uang miliaran rupiah ke aditor BPK itu diperoleh dari alat bukti berupa keterangan Robertus Kresnawan, Priyo Andi Gularso, Yayat Ruhiyat dan Ismawati. 

Keterangan mengenai adanya aliran uang untuk BPK ini berkesesuaian dengan keterangan Novian Hari Subagio dan Lernhard Febian Sirait. 

“Bahwa dari uang manipulasi tunjangan kinerja yang diperoleh terdakwa Lernhard Febian Sirait ada yang diserahkan kepada Auditor BPK Robertus Kresnawan agar dapat mengamankan pemeriksaan BPK yang keseluruhannya berjumlah Rp 1.135.000.000,” ungkap Jaksa KPK. 

Dalam kasus ini, 10 terdakwa telah dijatuhi hukuman. Adalah Lernhard Febrian Sirait dengan lama masa pidana badan selama enam tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 12,4 miliar Priyo Andi Gularso dengan lama masa pidana badan selama lima tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 5,5 miliar Abdullah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 355,4 juta Christa Handayani Pangaribowo dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar Rokhmat Annashikhah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,2 miliar Beni Arianto dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,6 miliar Hendi dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 679,9 juta Haryat Prasetyo dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 963,5 juta Maria Febri Valentine dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. 

Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 805,7 juta Novian Hari Subagio dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1 miliar. 

Sepuluh pegawai Direktorat Jenderal Mineral Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM itu diduga melakukan korupsi uang tukin sebesar Rp 27,6 miliar. 

Jumlah kerugian negara Rp 27,6 miliar akibat mark up uang tukin itu diperoleh berdasarkan audit perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Sepuluh pegawai Kementerian ESDM itu terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

5. Suap jalur kereja di DJKA
Aliran dana kepada oknum BPK juga terkuak dalam kasus dugaan suap proyek jalur kereta di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA). 

Penyidik KPK menduga, ada pemberian uang dan pengkondisian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, KPK menyatakan, satu orang dari BPK telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Tetapi, identitasnya belum diungkap ke publik. Dugaan ini pun didalami ketika memeriksa empat aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 22 Februari 2024. 

Mereka adalah Yunanda, Achyar Pasaribu, Zulkarnain dan Anton Aprianto. 

“Para saksi dikonfirmasi antara lain kaitan beberapa proyek pekerjaan yang ada di DJKA Kemenhub yang diduga ada pemberian uang berupa fee dan pengondisian hasil audit BPK atas pengadaan tersebut,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri pada 23 Februari 2024.

Selain itu, KPK telah memeriksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenhub Novie Riyanto sebagai saksi pada 18 Januari 2024. Dia diperiksa untuk mendalami dugaan pengondisian temuan BPK terkait proyek di DJKA. 

"Dikonfirmasi terhadap saksi atas dugaan adanya pengaturan para pemenang lelang, termasuk pengondisian temuan audit BPK," kata Ali pada 22 Januari 2024. 

Terkait perkara ini, KPK total telah menetapkan 14 orang tersangka, termasuk dua tersangka baru yang salah satunya berasal dari BPK. Tujuh tersangka yang masih diproses di KPK, yakni Direktur PT Istana Putra Agung Dion Renato Sugiarto; Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi; dan PPK Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan. 

Kemudian, Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya; PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat; PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi; dan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah. Baca juga: KPK Tetapkan 2 Tersangka Baru Kasus Suap di DJKA, 1 dari Kemenhub dan 1 dari BPK.

6. Kasus suap Pj Bupati Sorong 
Dalam kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 12 November 2023 ini, KPK menetapkan Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso; Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sorong Efer Sigidifat; dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle sebagai tersangka. 

Kemudian, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing; Kasubaud BPK Provinsi Papua Barat Abu Hanifa; dan Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung turut dijerat KPK. 

KPK menyebut, perkara ini bermula ketika adanya pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK di wilayah Papua Barat Daya. Dalam pemeriksaan Kabupaten Sorong terdapat laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Efer dan Maniel selaku pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong mencoba berkomunikasi membahas masalah itu dengan Abu, dan David selaku pihak BPK pada Agustus 2023. 

Dua pejabat Pemkab Sorong ini merupakan kepanjangan tangan dari Yan Piet Mosso. Sedangkan Abu dan David merupakan represetasi dari Patrice Lumumba Sihombing

Kemudian, kesepakatan awal, uang diberikan secara bertahap di berbagai tempat dari Efer dan Maniel. Yan Piet Mosso selaku Pj Bupati selalu mendapatkan laporan penyerahan dana tersebut. Di sisi lain, Abu dan David menyerahkannya kepada Patrice Lumumba Sihombing selaku Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Daya. 


Atas perbuatannya, Yan, Efer, dan Maniel sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal. 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. 

Sementara itu, Patrice, Abu, dan David sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 

Kasus ini juga sempat menyeret nama Anggota IV BPK RI Pius Lustrilanang. Bahkan, KPK sempat menyegel ruang kerja Pius di kantor BPK usai menggelar OTT di Sorong, Papua Barat Daya. Pius Lustrilanang juga sudah menjalani pemeriksaan di kantor KPK pada 1 Desember 2023.

7. Korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti, Muhammad Adil 
Dalam kasus dugaan korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti Muhammad Adil, KPK menyebut ada dugaan suap kepada BPK perwakilan Riau. 

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, suap yang dilakukan Adil bertujuan agar hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Kabunpaten (Pemkab) Kepulauan Meranti mendapat status baik. 

Alex menjelaskan, suap kepada BPK itu berawal dari Adil yang menerima uang sejumlah sekitar Rp1,4 Miliar dari PT Tanur Muthmainnah pada Desember 2022. 

PT Tanur Muthmainnah sendiri merupakan perusahaan travel perjalanan umroh. "Adapun penerimaan uang tersebut melalui Fitria Nengsih (Kepala BPKAD Meranti yang juga orang kepercayaan Adil)," ujar Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 7 April 2023. 

Uang itu diberikan karena Adil memenangkan PT Travel Muthmainnah untuk proyek pemberangkatan umroh bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti. 

“Lalu, agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti pada 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh wajar tanpa pengecualian (WTP), Adil dan Fitri memberikan uang sejumlah sekitar Rp 1,1 liliar pada M Fahmi Aressa selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau," kata Alex. 

KPK kemudian menetapkan Adil, Fitria dan Fahmi masing-masing sebagai tersangka pemberi dan penerima suap. Kemudian, pada 15 Mei 2023, KPK diketahui meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencegah 10 orang terkait dugaan korupsi ini. 

Terbaru, Auditor BPK Perwakilan Riau Muhammad Fahmi Aressa mengaku telah menerima uang Rp 1 miliar dari Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil. 

Hal itu diakuinya saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 15 November 2023. Sementara itu, Muhammad Adil divonis sembilan tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 21 Desember 2023. 

"Terdakwa Muhammad Adil terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi, dengan ini menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara. Serta, menjatuhkan denda Rp 600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, akan diganti dengan penjara enam bulan," kata Hakim Ketua, M Arif Nurhayat. 

Selain itu, majelis hakim juga meminta Adil untuk mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 17 miliar.

Penting diingat, bahwa pengawasan terhadap BPK dan aktivitas para pegawainya masih sangat minim. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab praktik jual beli predikat WTP untuk laporan keuangan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. 

Dugaan penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini marak terutama karena desain pengawasannya minim. Problem lain adalah makin tergerusnya integritas pegawai BPK. Maka dari itu, perlunya evaluasi menyeluruh di BPK, mulai dari proses rekrutmen anggota hingga skema audit keuangannya.

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih mendesak klarifikari semua yang dapat WTP. "Jangan-jangan abal-abal, rakyat dibohongi lagi," kata Yenti saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (15/5/2024) malam.

"Kita sedang krisis kepercayaan, morally corrupt yang semakin menggila, rasa malu yang menipis, suka pamer, kurang pengawasan dan rekruitmennya, bisa jadi karena terafiliasi parpol. Sepertinya di Indonesia ini sangat dikuasai oleh dinamika politik yang menggerus hukum," demikian Yenti Garnasih. (wan)

Topik:

BPK WTP Isma Yatun