Lahan Widowati Kembali ke Pemilik Melalui Peninjauan Kembali

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Mei 2024 11:35 WIB
Hotman Siahaan, Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga (Foto: Dok MI)
Hotman Siahaan, Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Praktisi hukum, Albert Kuhon, enggan berkomentar tentang putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara peninjauan kembali Nomor 181/PK/PDT/2024. 

Advokat yang menjadi juru bicara Widowati selaku pemohon peninjauan kembali (semula tergugat) dihubungi Redaksi Monitor Indonesia (Kamis (22/5/2024) pagi. “Saya belum bisa berkomentar karena belum terima putusan tersebut,” katanya.

Sidang perkara Peninjauan Kembali itu dipimpin oleh mahkamah yang diketuai Samsul Ma’arif. Perkaranya diputus Selasa 21 Mei 2024. “Saya belum tahu putusan itu, saya malah tahu dari anda,” kata Kuhon yang dihubungi melalui telepon.

Albert Kuhon
Albert Kuhon

 

Peninjauan kembali Nomor 181/PK/PDT/2024 merupakan kelanjutan dari perkara gugatan sengketa tanah yang diajukan Mulya Hadi terhadap Widowati selaku pemilik tanah seluas di wilayah Darmo Permai di Surabaya. 

Widowati tanggal 24 Juni 1995 membeli tanah seluas 6.835 m persegi dari PT Darmo Permai dengan Akta Jual Beli No. 197-03 DKP 95 dan kemudian memperoleh Sertifikat HGB No. 2103/Pradahkalikendal tertanggal 21 September 1994 yang berlaku sampai tahun 2001. 

Ketika diperpanjang, SHGB No. 2103/Pradahkalikendal berganti buku menjadi SHGB No 4157/Pradahkalikendal yang berlaku sampai tanggal 24 Februari 2022, yang kemudian direnvoi menjadi SHGB No 4157/Lontar, karena sebetulnya lokasi lahan itu di Kelurahan Lontar.

Mulya Hadi bersaudara mengaku sebagai ahli waris Randim, tanggal 8 April 2021 mendaftarkan perkara gugatan No. 374/Pdt.G/2021/PN.Sby di Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka menggugat Widowati selaku tergugat dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I selaku turut tergugat. 

Mulya Hadi dkk menyatakan tanah seluas 10.000 m persegi miliknya sudah dimutakhirkan dan lahan 6.850 m persegi milik Widowati adalah bagian dari lahan 10.000 m persegi sesuai Surat Keterangan Tanah Bekas Milik Adat No. 593.21/18/436.9.31.4/2021 tanggal 26 Maret 2021 yang diterbitkan Lurah Lontar. 

Mulya Hadi dalam gugatan mengaku sebagai rakyat kecil yang tidak paham hukum dan miskin. Penggugat minta hakim memutus Widowati selaku tergugat membayar ganti rugi Rp 3 miliar karena merampas tanahnya.

Mulya Hadi dkk menggunakan sejumlah keterangan yang diterbitkan atau disahkan Lurah Lontar sebagai bukti-bukti kepemilikannya. Sidang perkara no. 374/Pdt.G/2021/PN.Sby dimulai Senin tanggal 3 Mei 2021 di Pengadilan Negeri Surabaya. 

Tanggal 22 Juni 2021, sejumlah orang yang mengaku pihak ahli waris pemilik tanah mendatangi lahan yang dipersengketakan, memasang tenda dan menempatkan satu peti kontainer di lahan itu. Kuasa hukum pihak Widowati minta perlindungan kepada Kapolda Jawa Timur.

Sementara rangkaian sidang berlangsung di pengadilan, di lokasi lahan terjadi bentok fisik antara kelompok pihak tergugat yang mempertahankan haknya dengan kelompok penggugat yang berupaya menduduki lahan yang dipersengketakan.

Advokat Johanes Dipa Widjaja menggantikan Lim Tji Tiong sebagai kuasa hukum penggugat. Dibangun cerita bahwa almarhum Lim meninggal karena teraniaya, padahal sebetulnya Lim wafat karena COVID 19. 

Majelis hakim yang dipimpin Sudar akhir Januari 2022 memutus, Mulya Hadi adalah pemilik sah atas obyek sengketa seluas sekitar 6.850 m persegi yang dikuasai Widowati. 

Padahal tanah itu sudah dibeli Widowati tahun 1995 dan bersertifikat Hak Guna Bangunan No 4157/Pradahkalikendal (belakangan direnvoi menjadi SHGB No 4157/Lontar). 

Petok vs sertipikat
Kata hakim, kepemilikan Mulya Hadi dkk sesuai dengan Petok D No. 14345 Persil 186 klas d.II. Majelis juga menyatakan (1) Surat Keterangan Tanah Bekas Milik Adat No. 593.21/18/436.9.31.4/2021, tanggal 26 Maret 2021. 

Selain itu, Mulya Hadi dkk mengajukan bukti berupa (1) Kutipan Sementara Register Tanah Tahun 2021 tertanggal 26 Maret 2021 dengan No. Register 14345 (Tetap), Persil 186, Klas D.II seluas 6.850 m persegi, dan (2) Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) tertanggal 2 Desember 2016 yang diketahui Lurah Lontar tanggal 5 Desember 2016. 

Majelis hakim yang diketuai Sudar, juga menghukum Widowati membayar ganti rugi Rp 1 miliar kepada Mulya Hadi. Putusan dibacakan Senin, tanggal 31 Januari 2022 dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan itu. Pertengahan tahun 2023, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi menguatkan putusan itu. 

Peninjauan Kembali
Karena merasa dirinya adalah pembeli yang beritikad baik dan memang memiliki lahan itu secara sah, Widowati awal Januari 2024 mengajukan peninjauan kembali atas putusan tersebut. 

Dia merasa diperlakukan tidak adil, karena bukti-bukti yang sah yang diajukannya, termasuk bukti sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh bukti-bukti berdasarkan keterangan lurah.

Pihak Widowati melalui Laporan Polisi No. LPB/1621/XII/2018/UM/JATIM tertanggal 13 Desember 2018 pernah mengadukan ke Polrestabes Surabaya bahwa pihak Mulya Hadi memasuki lahannya tanpa seizinnya. Tapi prosesnya tidak berlanjut.

Selain itu, pihak Widowati juga mengadukan penggunaan dokumen-dokumen yang diduga dipalsukan tersebut kepada pihak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri di Jakarta. Kepolisian. Sejak tahun 2022, kasus itu sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, tetapi sampai kini masih tersendat. 

Dihalangi pengadilan
Pimpinan Bareskrim Polri berkali-kali mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, minta izin khusus penyitaan barang bukti kasus mafia tanah yang sedang disidik. Pihak pengadilan menolak memberi izin penyitaan, dengan alasan barang bukti dimaksud masih menjadi bukti surat dalam proses Peninjauan Kembali (PK). 

Pihak Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri pernah berkirim surat No B/133.3a/VII/RES 1.9/2023/Dittipidum kepada ketua pengadilan akhir Juli 2023. Ketika itu Anak Agung Gede Agung Parnata, Humas Pengadilan Negeri Surabaya, mengatakan surat dari Mabes Polri tersebut diterima setelah pengadilan menerima permohonan Peninjauan Kembali.

Kenyataannya, Peninjauan Kembali yang dimaksudkan Parnata, baru didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya akhir Agustus 2023. 

Advokat Albert Kuhon selaku jurubicara Widowati, mengaku belum mendapat info terkini mengenai perkembangan penyidikan tersebut. “Jika memang perkara PK sudah diputus, tentu tidak ada halangan bagi pimpinan pengadilan buat menerbitkan izin penyitaan tersebut,” ujar Kuhon.  

Menggugat Yayasan CHHS
Mulya Hadi dkk juga menggugat Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS), pemilik lahan yang bersebelahan letaknya dengan tanah milik Widowati. Mulya Hadi mengaku sebagai ahli waris pasangan almarhum Randim dan Ny Kasri, Pihak yayasan membeli empat lahan itu sekitar 30 tahun sebelumnya dan sudah memiliki sertipikat atas empat bidang tanahnya.

Sekelompok orang yang mengaku rakyat kecil menggugat Yayasan CHHS. Undangan persidangan atau relaas, tidak pern ah diterima oleh pihak Yayasan. Persidangan gugatan itu dipimpin oleh hakim Itong Isaneni Hidayat yang belakangan tertangkap tangan menerima uang suap dan korupsi dalam kasus lain. Itong dipidana akibat terbukti korupsi.

Persidangan sengketa tanah milik yayasan itu berlangsung singkat pada tahun 2021. Dalam waktu persidangan kurang dari sebulan, majelis hakim yang dipimpin Itong membatalkan empat sertifikat tanah atas nama yayasan dan mengabulkan permintaan penggugat. Tidak lama setelah putusan itu, para penggugat mengeksekusi dan menguasai tanah yang jadi objek sengketa. 

Belakangan yayasan melakukan perlawanan hukum dan memenangkan kembali haknya melalui peninjauan kembali yang diproses di Mahkamah Agung. Tetapi ketika yayasan akan mengambil kembali haknya atas tanah itu, ternyata tanah tersebut sudah dijual kepada seorang pengacara muda bernama Afrik. 

Sampai sekarang Yayasan CHHS belum berhasil mendapatkan kembali haknya walaupun secara hukum sudah memenangkan kembali perkara itu,

Afrik selaku pembeli lahan itu malah menggugat yayasan an memenangkan gugatannya di tingkat pengadilan negeri. Yayasan mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur menyatakan Yayasan adalah pemilik sah atas empat bidang lahan yang jadi objek sengketa. Saat berita ini diturunkan, kasus gugatan sengketa tanah yang diajukan Afrik masih dalam tahap kasasi.

Mafia Tanah
Penelusuran Monitorindonesia.com, menunjukkan sebetulnya Mulya Hadi dkk sudah menyiapkan langkah-langkah sejak lama buat merebut tanah-tanah itu. Pertengahan Desember 2015. Mulya Hadi dkk mendaftarkan perkara gugatan Nomor 280/P/2015/PTUN.Sby di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. 

Dia minta agar hakim PTUN memerintahkan Lurah Lontar (pada waktu itu) agar menerbitkan surat keterangan kepemilikan tanah sekitar 10.000 m persegi di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya. Katanya kepemilikannya atas tanah itu tercantum dalam Petok D No 805 Persil 65 D-II.

Mulya Hadi dkk mengaku berusaha melengkapi persyaratan buat mengurus sertifikat tanah tersebut di Kantor Pertanahan Surabaya. Dokumen itu kemudian dijadikan sebagai objek jual-beli dengan Stefanus Sulayman dan dengan PT Bina Mobira Raya. Lalu, tahun 2021 melalui gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya, ahli waris Randim meminta agar transaksi dengan Sulayman dibatalkan.

Majelis hakim yang dipimpoin Itong Isnaeni mengabulkan gugatan Mulya Hadi dkk dan pengadilan menyatakan tanah tersebut adalah milik Mulya Hadi. Setelah mendapat putusan pengadilan yang berisi kepemilikan itu, ahli waris Randim kemudian menggugat Yayasan.

Kebetulan sidang gugatan kepada Yayasan CHHS juga dipimpin oleh Itong Isnaeni. Tidak lama kemudian, Mulhya Hadi juga menggugat Widowati yang membeli tanah dari PT Darmo Permai. Menggunakan surat keterangan dari Lurah Lontar, Mulya Hadi dkk memenangkan kepemilikan atas tanah-tanah bersertifikat yang dijadikan objek sengketa. 

Berbagai pihak menyoroti kasus ini sebagai contoh kegiatan Mafia Tanah. Terindikasi secara jelas adanya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah guna mengangkangi hak pemilik tanah yang sah. 

Terlihat sekelompok ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.

Mulai dari membuat surat keterangan palsu melalui kerjasama dengan aparat kelurahan, kemudian menggunakan surat-surat palsu itu ke pengadilan, hingga merekayasa kasus di pengadilan untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah. 

“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan, Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga Surabaya saat dijumpai wartawan dalam suatu acara diskusi di Surabaya Selasa (21/5/2024).