Perzinaan dalam KHUP Baru sama seperti KHUP Lama, Tetap Tindak Pidana!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Juli 2024 8 menit dari sekarang
Perzinaan dalam KUHP baru sama seperti KUHP lama tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana (Foto: MI/Net/Istimewa)
Perzinaan dalam KUHP baru sama seperti KUHP lama tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana (Foto: MI/Net/Istimewa)

Jakarta, MI - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memberikan pengaturan hukum yang lebih tegas mengenai kohabitasi dan perzinaan.
 
Dia menyoroti aturan hukum kohabitasi itu karena kasus perselingkuhan yang belakangan terjadi kerap ramai dibincangkan di media sosial. Kohabitasi dalam KUHP yang baru menurutnya memiliki definisi yaitu aktivitas hidup bersama layaknya suami dan istri di luar pernikahan.
 
"Bagi pasangan yang belum menikah perlu memahami bahwa di KUHP baru ini kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum," kata Dhahana dalam keterangan resmi Kemenkumham, Minggu (28/7/2024).
 
Dia menjelaskan perzinaan dalam KUHP baru sama seperti KUHP lama tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana. Merujuk pada pasal 411 dalam KUHP yang baru, menurutnya setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dikenai pidana perzinaan.
 
"Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat," jelasnya.
 
Baik kohabitasi maupun perzinaan, menurutnya bersifat delik aduan terbatas. Dengan begitu, dia mengatakan tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur di dalam pasal 411 dan pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
 
"Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum," tuturnya.
 
Sejak awal pembahasan KUHP baru, menurutnya topik terkait kohabitasi dan perzinaan memang cukup memantik polemik.

Pasalnya, dia mengatakan ada pihak yang memandang agar tindakan itu perlu diberi hukuman karena tidak sesuai nilai-nilai sosial dan keagamaan, tetapi di sisi lain ada pihak yang menolak negara untuk mengatur hal tersebut karena dipandang telah mencampuri urusan privat.
 
"Nah KUHP berupaya mencari titik keseimbangan," ujarnya.
 
Pengaturan itu, menurutnya penting diadakan dalam konteks hak asasi manusia (HAM), karena negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat.
 
Setiap regulasi, kata dia, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi sambil memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, hak dasar menurut UU 39 tahun 1999 tentang HAM.
 
Dia pun meyakini tim penyusun KUHP telah menimbang dengan matang dari berbagai perspektif dan keilmuan. Karena pengaturan kohabitasi dan perzinaan dalam KUHP menurutnya dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan norma sosial yang masih dipegang oleh khalayak di tanah air.
 
"Kembali, kami mengimbau masyarakat dapat memahami aturan dengan baik sehingga dapat menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur di dalam KUHP baru ini," kata dia.