Airlangga Hartarto dalam Pusaran Dugaan Korupsi Sawit

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Oktober 2024 14:03 WIB
Airlangga Hartarto (Foto: Dok MI)
Airlangga Hartarto (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dibentuk pada 2015, ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015. 

Badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa dana yang dihimpun adalah untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan perkebunan sawit, promosi perkebunan kelapa sawit, peremajaan tanaman perkebunan, serta sarana dan prasarana perkebunan sawit.

Ayat (2) dijelaskan bahwa penggunaan dana termasuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Ayat (3) menyatakan BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasarkan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.

Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memegang peran strategis dalam pengelolaan BPDPKS. Sebagai Ketua Komite Dewan Pengarah BPDPKS, Airlangga berada di posisi yang memungkinkan dirinya untuk mempengaruhi kebijakan dan distribusi dana sawit. 

Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika namanya muncul dalam penyelidikan kasus korupsi dana sawit yang sedang dilakukan oleh penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).

Baru-bari ini, Kejagung melakukan penyitaan uang tunai senilai Rp372 miliar saat menggeledah dua lokasi penting pada Rabu (2/10/2024), yakni kantor Menara Palma dan PT Asset Pacific.

Tindakan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang terjadi pada periode 2021-2022.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dari kantor PT Palma, penyidik berhasil mengamankan uang tunai sebesar Rp63,7 miliar.

Selain itu, di kantor PT Asset Pacific, disita uang senilai Rp149,5 miliar, 12.514.200 dolar Singapura, 700.000 dolar AS, dan 2.000 yen. Total uang yang disita ini akan dijadikan barang bukti dalam kasus tindak pidana pencucian uang terkait kegiatan usaha Perkebunan Duta Palma Group di Indragiri Hulu.

Penyitaan besar ini menunjukkan adanya aliran dana mencurigakan yang terkait dengan dugaan korupsi dalam proses perizinan ekspor CPO.

Pada kasus ini, perusahaan-perusahaan besar seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi oleh Kejagung pada Juni 2023.

Ketiga perusahaan tersebut diduga lebih memilih untuk mengekspor CPO daripada memenuhi kebutuhan domestik, yang akhirnya berkontribusi pada krisis minyak goreng di dalam negeri.

Selama penyelidikan, penyidik menemukan bahwa kebijakan pemerintah turut berperan dalam memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar tersebut.

Adapun Airlangga Hartarto, sebagai sosok penting di pemerintahan, kini semakin menjadi sorotan dalam kasus ini. Perannya sebagai Ketua Komite BPDPKS yang mengatur aliran dana dari industri sawit semakin dipertanyakan publik, terutama terkait kebijakan yang mendukung perusahaan-perusahaan sawit raksasa.

Catatan Monitorindonesia.com, Airlangga diperiksa sebagai saksi pada Senin (24/7/2023). Setelah diperiksa sebagai saksi, Airlangga tak pernah lagi terdengar dalam kasus tersebut.

Diketahui, bahwa Kejagung melakukan penyidikan dugaan korupsi di BPDPKS dalam periode 2015-2023. Artinya sejak zaman Sofyan Djalil selaku inisiator pembentukan BPDPKS hingga kini Airlangga yang menjadi pimpinan Komite Pengarah. 

Airlangga sempat menjalani pemeriksaan di Kejagung hingga berjam-jam pada Juli lalu terkait kasus ini, ditambah kasus korupsi minyak goreng yang juga merupakan ranah BPDPKS. Sedangkan Sofyan Djalil hingga sekarang belum dipanggil penyidik.

Namun, penyidik Kejagung sempat memeriksa pimpinan Indonesia Heritage Foundation milik Sofyan Djalil. Mereka adalah Kepala Divisi Keuangan, Shifa Sinthia serta Direktur Pendidikan Penelitian Pengembangan dan Keuangan Florence Yulisinta Tanjung. Keduanya diperiksa tak berselang lama setelah Kejagung menaikkan status kasus korupsi BPDPKS ke ini tahap penyidikan pada September lalu.

Setelah memeriksa dua saski dari yayasan yang berlokasi di Jalan Raya Bogor, Depok, Jawa Barat itu, penyidik melakukan penggeledahan dengan menyita sejumlah barang atau dokumen. 

Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana saat itu tidak bicara banyak. “Kami masih penyidikan umum. Kalau sudah ke penyidikan khusus sudah ada tersangka dan kerugian riil nanti kami sampaikan,” kata Ketut kepada Monitorindonesia.com, Jumat (3/11/2023).

Sejak naik penyidikan, Kejagung sudah melakukan belasan pemeriksaan dengan menggali keterangan dari puluhan saksi. Sejumlah saksi mengindikasikan fokus penyidikan terkait relasi BPDPKS dengan korporasi sawit. 

Bahkan, penyidik berulang kali meminta kesaksian dari Wilmar dan Sinar Mas.  

Mengutip pernyataan Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Lalu Hendri Bagus, bahwa kasus korupsi BPDPKS bisa kentara konflik kepentingannya karena banyak pihak di jajaran pimpinan korporasi sawit yang sebelumnya berkecimpung di ranah politik-pemerintahan atau disebut Politically Exposed Peoples (PEP’s).

“Jadi orang-orang yang memiliki kepentingan. Mereka ada relasi ke politik dan berkepentingan pula di industri sawit. Misal, seorang yang sudah selesai di pemerintahan lalu masuk ke direksi peusahaan sawit. Mereka ditempatkan di posisi strategis untuk melakukan lobi-lobi ke pemerintah,” kata Hendri.

“Kuat dugaan kami subsidi yang tinggi itu ulah PEP’s itu yang ditaroh oleh perusahaan yang ditunjuk oleh Airlangga untuk memberika keuntungan sebesar-besarnya kembali lagi kepada perusahaan yang mereka wakili," timpalnya.

Hendri tak terkejut ketika ada dugaan donasi tidak halal yang mengalir ke yayasan milik Sofyan Djalil. Sebab, Sofyan yang membawahi BPDPKS memiliki relasi dengan sejumlah korporasi sawit yang membersamai penetapan kebijakan program maupun anggaran dana sawit. “Donasi politik sangat besar dari sektor sawit,” katanya.

Merujuk kajian TII soal penilaian 50 perusahaan sawit di Indonesia, jumlah PEP’s di perusahaan sawit mencapai 80 orang dengan beragam kategori dari 33 perusahaan. 

Mereka mulai dari kalangan; Birokrat (19 orang); Oligarki (7 orang); Kerabat/Orang dekat PEPs (15 orang); Aparat Penegak Hukum (13 orang); Militer (7 orang); dan Jabatan Strategis (19 orang).

Adapun perusahaan dengan PEP’s yang sering diundang oleh Komite Pengarah BPDPKS, seperti Grup Wilmar memiliki sedikitnya ada 3 PEP’s dan Grup Sinar Mas diisi 6 PEP’s. Kami mencoba mengonfirmasi soal PEP’s ini dan intervensi Sinar Mas dalam penentuan HIP Biodiesel ke Dian Wulan Suling, tetapi belum berkenan menjawab. 

“Saya kebetulan lagi dinas. Nanti saya follow up kembali sepulang dari dinas ya,” kata Head of Corporate Communications PT SMART itu saat dihubungi.

Hendri menduga modus korupsi kasus ini adalah mark up dana subsidi sawit. Modus seperti ini tak sulit dilakukan lantaran kebijakan anggaran dan program di BPDPKS disusun sarat konflik kepentingan. 

“Ada manipulasi anggaran, menggelembungkan biaya seperti program biodiesel untuk kepentingan kelompok tertentu.  Jadi pejabat memihak dengan perusahaan yang memiliki kedekatan pribadi,” katanya.

Penting diketahui, bahwa subsidi biodiesel tidak menjadi dasar pembentukan BPDPKS sesuai Undang Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Mula lahirnya BPDKS menyasar program penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit, peningkatan sumber daya manusia serta kemitraan dengan sawit rakyat. 

Namun, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 dan Peraturan Presiden 61/2015 yang menjadi pedoman penggunaan dana pungutan ekspor dipakai untuk subsidi biodiesel.

Oleh karena itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) dikesampingkan. Berdasar data realisasi belanja BPDPKS tampak nilai ketimpangan antara dana subsidi biodiesel untuk PSR. 

Pada 2021, subsidi biodiesel mencapai Rp51,9 triliun, sedangkan alokasi untuk PSR hanya 1,3 triliun. Perbandingannya subsidi biodiesel menghabiskan anggaran belanja sebesar 97,09 persen dan sisanya baru dialihkan untuk program lain.

Topik:

Kejagung Sawit BPDPKS Airlangga Hartarto