Eks PPK Kemenperin Terseret Dugaan Suap SPK Fiktif, Kortas Tipikor Polri Diminta Lacak Aliran Dana

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 14 Februari 2025 16:34 WIB
Gedung Kementerian Perindustrian (Kemenperin) (Foto: Dok MI/Aswan)
Gedung Kementerian Perindustrian (Kemenperin) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Oknum mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berinisial LHS diduga terlibat kasus dugaan tindak pidana penyuapan dalam penerbitan Surat Perjanjian Kerja (SPK) fiktif tahun 2023-2024.

Buntutnya, pihak Kemenperin melaporkannya ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri.

Adapun laporan dugaan penyuapan ini disampaikan berdasarkan analisis Kemenperin atas dokumen transaksi keuangan antara LHS dengan beberapa vendor, terkait dengan penerbitan SPK Fiktif oleh LHS.

"Kemenperin telah menyampaikan surat berisi laporan dugaan tindak pidana penyuapan dalam kasus SPK Fiktif tahun 2023-2024 ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri," kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, di Jakarta saat melaporkan kasus ini pada Kamis, 13 Februari 2025, dinukil Monitorindonesia.com, Jumat (14/2/2025).

Dia berharap dari pelaporan ini menjadi bahan bagi penyidik untuk melakukan penindakan atas dugaan suap menyuap tersebut. "Kortas Tipikor Polri diharapkan melacak aliran dana (follow the money) yang diterima oleh LHS cs baik ke hilir maupun ke hulu," harap Febri.

Berdasarkan bukti dokumen yang dilaporkan, diduga ada penampungan dana dari beberapa vendor ke rekening LHS cs. 

Dari rekening LHS cs tersebut, kemudian sebagian besar mengalir ke beberapa vendor yang telah mendapatkan SPK fiktif sebelumnya atau seperti skema Ponzi. 

Sebagian lagi digunakan oleh LHS cs untuk kepentingan pribadinya. Menariknya, ada beberapa transaksi yang diduga mengalir ke artis atau selebgram berinisial M mencapai lebih dari Rp400 juta.

Selain ke hilir, penyidik Kortas Tipikor diharapkan juga melacak sumber dana yang diberikan vendor kepada LHS cs. Dalam kasus SPK Fiktif diduga sumber dana vendor berasal dari beberapa investor. Investor tersebut diduga berasal dari perorangan, lembaga keuangan dan juga pejabat negara.

Kortas Tipikor dapat lacak aliran dana

Kemenperin meminta penyidik Kortas Tipikor melacak aliran dana dalam kasus SPK Fiktif ini terutama terkait dengan pasal penyuapan dan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Meliputi dana yang berhasil ditampung oleh LHS dan kemudian digunakan untuk membayar vendor yang mendapatkan SPK fiktif sebelumnya, juga sumber dana beberapa vendor. 

"Hal ini untuk membuat kasus SPK Fiktif menjadi terang-benderang, siapa pelaku dan siapa yang sebenarnya menikmati dana serta dari mana dana tersebut berasal," jelas Febri.

Kasus ini sebelumnya ramai diberitakan, namun Febri, menegaskan bahwa berita tersebut sangat tendensius dan tidak proporsional, serta tidak cukup melakukan verifikasi sebelum berita diterbitkan.

Dia menilai pemberitaan tersebut tidak mencerminkan informasi sesuai kepentingan publik untuk mendapatkan informasi yang akurat, namun lebih mendahulukan kepentingan beberapa vendor dan investor. 

Pun dia menegaskan juga bahwa pihaknya tidak takut pada gertakan tersebut, dan memerintahkan untuk melaporkan dugaan penyuapan demi kepentingan publik agar mendapatkan informasi yang sebenarnya.

Di lain sisi, pihaknya juga memandang bahwa kejadian ini menjadi jalan untuk melakukan bersih-bersih di internal Kemenperin dalam pelaksanaan anggaran.

"Menperin memastikan para pelaksana anggaran, termasuk PPK, bekerja sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang berlaku," katanya.

Bukti-bukti

Bukti-bukti yang disampaikan Kemenperin kepada Kortas Tipikor antara lain berupa DIPA Direktorat Industri Industri Kimia Hilir dan Farmasi TA 2023, SK penunjukan dan pengangkatan LHS sebagai Pejabat Pengelola DIPA TA 2023, SK penjatuhan hukuman disiplin berat LHS sebagai PNS, SPK-SPK fiktif, tagihan pembayaran, dan rekapitulasi uang keluar masuk.

SPK yang dibuat oleh LHS adalah surat perintah kerja yang ditandatangani oleh LHS dengan penyedia (investor) tidak terdaftar dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kementerian Perindustrian. 

SPK tersebut diterbitkan oleh PPK tanpa melalui SOP yang ditetapkan. Contoh dugaannya, tidak melaporkan calon pemenang kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil.

Kemudian, soal total pagu anggaran yang dicatut oleh Terduga pelaku dalam setiap SPKnya yakni mata anggaran kegiatan 019.EC.6058.QDI.001.051.A.522191 hanyalah senilai Rp590.000.000, sehingga tidak mungkin menjadi dasar pembiayaan atas paket pekerjaan yang nilainya di atas itu.

Lalu soal kegiatan yang dilaksanakan oleh Pihak Ketiga (rekanan terduga pelaku) berdasarkan SPK fiktif tidak melibatkan satu pun pegawai Kementerian Perindustrian. 

Menurut Febri, seluruh pekerjaan hanya direncanakan, dihadiri maupun diikuti oleh pihak-pihak yang tidak terkait dengan Kemenperin maupun program kegiatan Kemenperin.

Tak hanya itu, tapi juga soal pencairan anggaran maupun transfer pertanggungjawaban ke rekening Penyedia (investor), tidak melalui kas Negara maupun Kantor Pelayanan Perbendahaaran Kas Negara (KPPN), melainkan melalui rekening pribadi. 

Padahal sejatinya, jika pekerjaan dimaksud merupakan benar pekerjaan yang dibiayai oleh APBN maka akan dilakukan pembayaran melalui transfer langsung ke rekening Penyedia dari kas Negara.

Febri menjelaskan, para vendor tersebut diduga memberikan sejumlah uang kepada LHS dengan tujuan untuk mendapatkan tender pengadaan dari Kementerian Perindustrian sesuai dengan yang ditawarkan LHS.

Dalam hal ini, LHS menawarkan vendor untuk mengerjakan kegiatan dengan menunjukkan DIPA Kemenperin. Namun, halaman DIPA yang ditunjukkan merupakan kegiatan dari Unit Eselon I lainnya di Kemenperin, bukan DIPA Ditjen IKFT seperti yang disampaikan LHS kepada vendor.

Kemenperin mengharapkan para vendor lebih berhati-hati dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, misalnya cermat dalam memverifikasi keabsahan SPK. 

Vendor juga diminta untuk tidak mudah terbujuk dengan iming-iming mendapatkan proyek dan imbal hasil besar.

Sebagai informasi, target LHS adalah vendor-vendor baru yang belum pernah mendapatkan tender pengadaan dari Kementerian/Lembaga. Selama ini, LHS diduga bekerja sendiri, karena Kementerian Perindustrian tidak pernah menerbitkan Surat Tugas yang menunjuk LHS untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tercantum dalam SPK fiktif.

"Kemenperin berharap Kortas Tipikor Polri dapat segera menindaklanjuti laporan ini. Langkah melaporkan dugaan kasus penyuapan ini merupakan bukti nyata komitmen Kemenperin dalam menyelesaikan kasus melalui jalur hukum," tandasnya.

Topik:

Kortas Tipikor Polri Kemenperin