Pembangkangan Putusan MK: Pintu Masuk Pidanakan Wamen Kekeuh Rangkap Jabatan Komisaris BUMN!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Agustus 2025 01:09 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: Dok MI/Aswan)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal rangkap jabatan terus menuai sorotan. Pasalnya, muncul pihak-pihak yang mengabaikan wamen rangkap jabatan sesuai putusan MK.

Menyoal itu, belum lama ini Sekretaris Jenderal (Sekjen) MataHukum Mukhsin Nasir berkirim surat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memproses hukum wamen yang keukeh merangkap jabatan di sejumlah BUMN dan lembaga perbankan.

“Melalui surat laporan saya bahwa putusan MK terhadap larangan pejabat Wamen rangkap jabatan, kami memaknai bahwa putusan MK dapat menjadi ruang kepentingan penegakan hukum dan atau perbuatan melawan hukum terhadap unsur tindak pidana korupsi,” kata Mukhsin Nasir, dikutip Jumat (1/8/2025).

Soal larangan rangkap jabatan sebagai Tipikor, kata dia, dalam konteks hukum pidana dapat dipidana jika larangan tersebut diatur dalam undang-undang dan disertai dengan ancaman pidana.

“Artinya, jika ada perbuatan yang secara tegas dilarang oleh undang-undang dan undang-undang tersebut juga mengatur sanksi pidana bagi pelanggarnya, maka pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat dipidana,” jelas Mukhsin.

Bahkan, putusan MK soal larangan wamen rangkap dapat dimaknai adalah sebagai unsur kerugian Negara akibat perbuatan hukum dalam menerbitkan SK wamen rangkap jabatan dan bertentangan dengan undang undang Tipikor.

“Besarnya kerugian negara dari larangan putusan MK wamen rangkap jabatan, sebesar gaji yang diterima oleh setiap wamen rangkap jabatan,” bebernya.

Dengan adanya kerugian negara, unsur pidana dalam pasal 2 undang-undang Tipikor terpenuhi. “Dapat kiranya menjadi rujukan/rekomendasi terhadap penegakan hukum tipikor kepada sejumlah wamen rangkap jabatan pada kabinet pemerintahan Prabowo saat ini,” tandas Mukhsin. 

Kembali ditegaskan MK

MK telah kembali menegaskan wakil menteri dilarang merangkap jabatan, termasuk sebagai komisaris BUMN. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan hukum perkara nomor 183/PUU-XXII/2024 dan perkara nomor 102/PUU-XXIII/2025 terkait uji materil UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 

Saat membacakan pertimbangan hukum perkara 183 dan 102, Hakim Konstitusi, Arsul Sani, semula menyatakan mahkamah telah melarang seseorang menjadi pimpinan organisasi advokat melebihi dua periode masa jabatan secara berturut-turut maupun tak berturut-turut sebagaimana telah tertuang dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022.

Arsul lantas menyinggung terkait putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan status jabatan wakil menteri sama dengan status menteri. Karena berstatus sama dengan menteri, wakil menteri dilarang rangkap jabatan, termasuk sebagai komisaris BUMN.

"Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri, seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39 Tahun 2008, berlaku pula bagi wakil menteri," tutur Arsul saat sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025) lalu.

Arsul lalu melanjutkan sidang dengan membacakan pertimbangan hukum lain terkait gugatan UU advokat. Ia berujar, berdasar pertimbangan hukum putusan terkait larangan seseorang menjadi pimpinan advokat selama dua periode dan putusan terkait wakil menteri dilarang rangkap jabatan, advokat yang diangkat/ditunjuk Presiden menjadi menteri/wakil menteri tak dapat melaksanakan tugas sebagai advokat.

Mantan Wakil Ketua MPR ini menambahkan, dengan status advokat yang tidak melaksanakan tugas sebagai advokat, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara kehilangan pijakan hukum menjadi pimpinan organisasi advokat.

"Mahkamah memiliki dasar yang kuat dan mendasar untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus non-aktif apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," katanya.

"Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan, conflict of interest, apabila diangkat atau ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat atau ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri," timpal mantan Sekjen PPP ini.

Sementara Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan, hakim konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. MK menyatakan norma Pasal 28 Ayat 3 UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertantangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama baik secara berturut atau tidak, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik baik tingkat pusat maupun daerah, dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," jelas Suhartoyo.

Untuk diketahui, MK menyatakan seorang wakil menter dilarang merangkap jabatan menjadi komisaris atau dewan pengawas BUMN. Hal ini tertuang dalam pertimbangan hukum atas sidang perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025.

Adapun perkara nomor 21 merupakan permohonan yang diajukan uji Juhaidy Rizaldy Roringkon terkait uji materi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Dalam pertimbangan hukum perkara nomor 21, MK menyatakan seorang menteri atau wamen dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 23 UU Nomor 3 Tahun 2008.

Keputusan yang sama juga tertuang dalam putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 atau perkara terkait pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

"Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39 Tahun 2008," demikian yang tertulis dalam salinan putusan perkara nomor 21. (wan)

Topik:

MK Wamen BUMN