Penjelasan Lengkap Kejagung Soal Vonis Nihil Benny Tjokro

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Januari 2023 00:14 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta keliru menerapkan hukuman dengan menjatuhkan vonis nihil terhadap terdakwa Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi PT Asabri (Persero). Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, menyatakan kekeliruan itu menjadi salah satu alasan jaksa penuntut umum mengajukan banding atas putusan tersebut. "Majelis hakim Pengadilan Tipikor keliru dalam menerapkan hukum karena Benny Tjokrosaputro terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa," kata Ketut dalam keterangannya, Sabtu (14/1). Bertentangan UU Tipikor Ketut menjelaskan dakwaan jaksa, yakni primer pasal 2 dengan ancaman minimal empat tahun penjara sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan Undang-Undang Tipikor. [caption id="attachment_498637" align="alignnone" width="600"] Komisaris PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro[/caption] Selain keliru, lanjut Ketut, putusan tersebut mengusik dan mencederai rasa keadilan masyarakat karena Benny Tjokrosaputro telah melakukan pengulangan tindak pidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya. Menurut ia, setelah diputus dengan hukuman seumur hidup, seharusnya ada penambahan hukuman dengan hukuman mati terhadap terdakwa sesuai dengan doktrin hukum pidana. Tidak hanya itu, kata dia, proses hukum atas Benny Tjokrosaputra dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya sudah berkekuatan tetap (inkracht), tetapi Benny masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan grasi, remisi, dan amnesti. "Sehingga apabila dikabulkan maka akan membahayakan bagi penegakan hukum dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo," ujarnya. Kejagung Ajukan Banding Atas putusan majelis hakim tersebut, Kejaksaan Agung telah menentukan sikap dengan mengajukan banding. Kejaksaan Agung sependapat dengan pandangan beberapa elemen akademisi dan praktisi untuk menguji putusan tersebut ke tingkat pengadilan banding. [caption id="attachment_510384" align="alignnone" width="852"] Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana (Foto: MI/Doc Kejagung)[/caption] "Putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan mengakibatkan ketidakpastian hukum," tegas Ketut. Ketidakpastian hukum dimaksud, yakni putusan yang merugikan negara lebih dari Rp40 triliun apabila diakumulasikan dengan dua perkara yang dilakukan Benny Tjokrosaputro secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri. Hal ini tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi merugikan masyarakat luas, terutama pensiunan TNI dan Polri yang selama ini menjaga keamanan negara. Kesalahan Penerapan Pasal Ketut juga menyebut ada kesalahan yang sangat fatal dalam penerapan pasal 67 KUHP, selain bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat lex specialis yang berlaku dalam UU Tipikor pada perkara a quo, juga tidak secara tegas pasal tersebut diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan secara akumulasi dalam perkara terpisah. Selanjutnya, putusan tersebut akan menambah ketidakpastian hukum karena hak terpidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa (PK) dan hak dalam mengajukan hak-haknya, seperti remisi, grasi dan amnesti, justru akan melemahkan putusan yang pertama dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya. "Seharusnya putusan tersebut dibarengi dengan putusan bersyarat sebagaimana lazimnya dalam penegakan hukum," kata Ketut menerangkan. Tidak Adil Ketut melanjutkan penerapan pasal 67 KUHP sebagaimana dalam putusan a quo akan menyulitkan bagi jaksa dalam mengeksekusi harta benda terdakwa dalam perkara PT Asabri. Padahal, Benny Tjokrosaputro juga dijatuhi hukuman pada kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), sementara harta yang telah disita dengan akumulasi kerugian Rp40 triliun masih jauh dari kata penyelamatan. "Ini sangat tidak adil," kata Ketut. Ia menambahkan jaksa penuntut umum dalam mengajukan upaya hukum sangat rasional dan yuridis, mengingat tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa. Maka harus dilakukan upaya-upaya yang luar biasa dalam penyelesaiannya, seperti selama ini yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam menerapkan unsur perekonomian negara disamping TPPU sebagai solusi untuk memiskinkan koruptor dan keluarganya. "Harapannya ke depan putusan-putusan pengadilan yang baik dapat dijadikan yurisprudensi atau sumber hukum utama dalam penegakan hukum," kata Ketut. Sebelumnya diberitakan, Benny Tjokrosaputro divonis nihil di kasus ASABRI oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Komisaris PT Hanson International Tbk itu tetap divonis bersalah dalam kasus ini. Dia terbukti melakukan korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk. Perbuatan mereka terbukti merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun. [caption id="attachment_352317" align="alignnone" width="640"] ASBRI[/caption] "Mengadili, menyatakan Terdakwa Benny Tjokrosaputro telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan kesatu primer dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar hakim ketua IG Eko Purwanto saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kamis (12/1). Meskipun Vonis hakim soal putusan nihil, Tetapi Benny Tjokro tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp5,7 triliun dalam kasus korupsi di PT Asabri. Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp5.733.250.247.731," katanya. Diketahui, Sebelum putusan kasus ASABRI dilakukan, Benny Tjokro pun sudah divonis seumur hidup dalam kasus korupsi pengelolaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).