Mengungkap Bahaya Proyek DME Batu Bara Dibiayai Danantara


Jakarta, MI - Langkah pemerintah yang mendorong pengembangan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai alternatif pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG) tengah disoroti.
Bahwa langkah itu bertujuan untuk mengurangi impor LPG dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Rencananya, proyek tersebut akan didanai oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Ihwal tersebut turut direspons Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan sebuah lembaga think tank, secara aktif melakukan advokasi dan kampanye untuk menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan energi masyarakat, keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam serta memiliki tujuan keberlanjutan ekologi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan, proyek DME ini tidak ekonomis. Pasalnya, biaya produksi DME batu bara sekitar $0,4–$0,5 per liter. Bisa murah jika mendapatkan subsidi.
“Kok begitu? Biaya produksi DME dari batu bara sekitar $0,4–$0,5 per liter. Bisa murah nggak? Hanya kalau harga #batubara disubsidi besar-besaran,” kata Fabby Tumiwa dalam cuitannya di X, dikutip Monitorindonesia.com, Senin (17/3/2025).
Namun masalahnya kata dia, jika bahan baku batu bara disubsidi, lalu harga jual DME juga disubsidi, beban keuangan negara semakin besar. Artinya, proyek ini bisa jadi beban APBN jangka panjang.
Selain itu, proyek ini butuh offtaker (pembeli DME) jangka panjang agar investasi balik modal. “Tapi siapa yang bisa menjamin permintaan gas tetap tinggi di masa depan? Risikonya besar,” paparnya.
Dari sisi lingkungan, gasifikasi batubara menghasilkan emisi 3,5 ton CO₂ per ton DME. Bukannya transisi energi, proyek ini malah membuat Indonesia semakin bergantung pada energi fosil.
Sehingga menurutnya alternatif yang lebih baik adalah perluasan jaringan gas kota di daerah padat penduduk, elektrifikasi dapur dengan kompor listrik dan investasi di energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB.
Di sisi lain, Badan Pengelola Investasi Danantara seharusnya fokus pada proyek energi terbarukan yang lebih menarik bagi investor.
Seperti PLTS dan PLTB bisa dikembangkan dalam kurun 3 tahun, cepat menghasilkan arus kas. Kedua, lebih mudah menarik pendanaan dari luar, mengurangi beban negara. Kemudian dapat mendorong transisi energi & stabilitas ekonomi.
Lanjut kata dia, Indonesia juga harus belajar dari masa lalu. Banyak investor asing awalnya tertarik dengan proyek hilirisasi batu bara jadi DME, tapi kemudian mundur karena aspek pendanaan dan risikonya terlalu tinggi.
Jika proyek DME 100% dibiayai negara (termasuk lewat Danantara), feasibilitasnya dipertanyakan. Dana negara terbatas dan ada banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak!
“Jadi, bukannya memaksakan proyek DME yang mahal & berisiko tinggi, lebih baik fokus ke solusi yang ekonomis, ramah lingkungan, & menarik bagi investor. Saatnya alihkan investasi ke solusi yang benar-benar mendukung transisi energi!,” tandasnya.
Sementara itu Mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, turut buka-bukaan menyoal proyek DME yang dijalankan oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) itu. Bahwa kata dia, proyek tersebut penuh dengan praktik tidak sehat dan berisiko tinggi. Bahkan, menjadi salah satu alasan pemberhentian dirinya sebagai Komisaris di PTBA.
"Proyek ini jadi salah satu penyebab saya diberhentikan sebagai Komisaris di PTBA. Seru kalau dibuka ke publik," kata Said Didu melalui cuitannya di X @msaid_didu dikutip Monitorindonesia.com, Senin (17/3/2025).
Proyek DME Batu Bara ini, dugaan Said, sarat dengan praktik kolusi yang membuat proyek tersebut sulit layak secara ekonomi dan berpotensi membangkrutkan BUMN. "Proyek ini penuh bancakan sehingga sulit layak dan BUMN bisa bangkrut," tuturnya.
Kata dia, ada penumpang gelap dalam proyek ini yang terkait dengan pusat kekuasaan. Hal ini semakin memperparah kondisi proyek yang seharusnya bisa memberikan manfaat bagi negara. "Penumpang gelapnya dulu terkait dengan pusat kekuasaan," tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa proyek hilirisasi batu bara melalui gasifikasi menjadi DME sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG) akan diprioritaskan untuk dikerjakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, jika BUMN memiliki keterbatasan, kemungkinan akan dibentuk joint venture antara BUMN dan swasta. “Ini kan prioritas kita berikan kepada BUMN. Akan tetapi, kalau BUMN itu ada keterbatasan, ya mungkin kita dorong akan ada joint venture antara BUMN dan badan usaha (swasta),” kata Yuliot di Kementerian ESDM, Jumat (14/3/2025).
Yuliot menekankan pentingnya komitmen awal yang kuat dalam proyek ini agar tidak terulang kegagalan seperti yang terjadi pada kerja sama antara PTBA dan investor asal Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemicals, Inc (APCI).
“Kami memastikan di awal. Jadi, kalau Air Products kemarin itu kan juga agak lama karena mereka minta ada jaminan penjualan pasokan. Pada saat mereka minta keputusan, kita agak terlambat. Jadi, kita tidak mau kehilangan momen,” jelasnya.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME akan menggunakan transfer teknologi dari Asia, AS, hingga Eropa. Pemerintah berencana memilih teknologi yang paling efisien untuk memastikan keberhasilan proyek ini.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengonfirmasi bahwa proyek DME tidak hanya akan dibangun di Sumatra Selatan, tetapi juga di Kalimantan.
Rencana ini telah dibahas dengan Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas sebagai tindak lanjut dari pembahasan hilirisasi tahap pertama yang akan dibiayai oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
“Kita juga akan langsung melakukan pembangunan DME sebagai substitusi dari (impor) LPG. Ini akan kita lakukan di samping hilirisasi sektor perikanan, perhutanan, dan perkebunan,” katanya di Istana Negara.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME sebenarnya telah dirintis sejak era Presiden Joko Widodo, dengan PT Bukit Asam sebagai pelaksana utama dan dukungan investasi dari APCI.
Proyek ini direncanakan berlangsung selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang terletak di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.
Dengan investasi dari APCI, proyek ini diharapkan mampu menghasilkan sekitar 1,4 juta ton DME per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.
Hanya saja, pada pertengahan 2023, APCI memutuskan untuk menarik diri dari proyek ini dan fokus pada pengembangan proyek hidrogen biru di AS. Keputusan ini membuat nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME tidak jelas hingga saat ini.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME milik PTBA diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Januari 2022. Proyek DME batubara menjadi proyek terbesar RI, investasi tembus Rp180,36 Triliun. DME diharapkan dapat menjadi pengganti LPG sebagai bahan bakar rumah tangga.
Topik:
Danantara Proyek DME Batu BaraBerita Sebelumnya
Harga CPO Terjun 2 Persen, Tren Negatif Bisa Berlanjut Pekan Ini
Berita Selanjutnya
Prabowo Umumkan 30 Mega Proyek Hilirisasi, Ciptakan 8 Juta Lapangan Kerja
Berita Terkait

BPK Didesak Audit Perdin Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi: Jangan Anggap Perusahaan "Nenek Moyangnya"!
1 Oktober 2025 12:32 WIB

Heboh 46 Nama Konglomerat Pembeli Patriot Bond, Ini Penjelasan Danantara
1 Oktober 2025 11:46 WIB

Danantara Siap Luncurkan Proyek Waste to Energy Akhir Oktober 2025
30 September 2025 18:26 WIB