Tekanan Ekonomi Global Terberat Sejak Pandemi, RI Harus Waspada


Jakarta, MI - Kondisi ekonomi global saat ini menghadapi tekanan berat, bahkan dinilai lebih buruk dibanding era pra-pandemi Covid-19.
Akar masalahnyanya, yakni perang dagang antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, yang semakin memanas dengan saling balas tarif tinggi.
Ketegangan ini tak hanya mengganggu arus perdagangan internasional, tetapi juga memperburuk sentimen pasar keuangan global. Dampaknya dirasakan luas, terutama oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tak lebih dari angka 3%. Rabu (21/5/2025).
Proyeksi ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak lanjutan dari ketegangan geopolitik ekonomi.
Sentimen ini juga tercermin dari kondisi pasar saham global yang terus memberikan reaksi negatif terhadap perang dagang jilid II antara AS dan Tiongkok.
Selain itu, nilai tukar mata uang berbagai negara pun ikut melemah akibat sentimen negatif yang dipicu oleh ketegangan dagang tersebut.
Mata uang Brazil tercatat mengalami pelemahan paling tajam, dengan terdepresiasi 4,5% per 8 April 2025 terhadap 2 April 2025. Disusul Meksiko yang minus 2,2%, Thailand minus 1%, dan Indonesia minus 0,8%. Mata Uang Euro dan Jepang saja yang apresiasi 1,1%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 mencapai 4,87% secara year on year (yoy). Dibandingkan kuartal sebelumnya, ekonomi nasional mengalami kontraksi 0,98%.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 ini dimotori oleh konsumsi ekspor dan konsumsi rumah tangga. Kedua sektor ini mencatat pertumbuhan masing-masing sebesar 6,78% dan 4,89% dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 54,53% untuk konsumsi dan 22,30% untuk ekspor.
Meski demikian, jika dibandingkan dengan kuartal I-2024, konsumsi rumah tangga pada awal tahun ini menunjukkan peningkatan. Pada periode yang sama tahun lalu, pertumbuhannya tercatat hanya sebesar 4,91%.
Kendati tren konsumsi membaik, dukungan dari berbagai pihak tetap dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Terlebih, Indonesia menargetkan laju pertumbuhan ekonomi mencapai 8% pada periode 2028–2029.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut percepatan transisi energi berpotensi menjadi pendorong utama pencapaian target tersebut.
Sektor perbankan juga memiliki peran penting, salah satunya melalui pendanaan yang mendukung transformasi bisnis berkelanjutan.
Langkah tersebut sejalan dengan Roadmap Keuangan Berkelanjutan (RKB) yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mencakup berbagai kebijakan untuk mendorong lembaga pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan transisi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Topik:
ekonomi-global ekonomi-indonesia pertumbuhan-ekonomi