Beda Jauh! Ini Penjelasan di Balik Hitungan Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 28 Juli 2025 13:56 WIB
Penjelasan Hitungan Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia (Foto: Ist)
Penjelasan Hitungan Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Angka kemiskinan di Indonesia jadi sorotan setelah muncul perbedaan mencolok antara data versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. 

Kendati berbeda jauh, BPS menegaskan bahwa kedua angka tersebut sama-sama valid, hanya saja menggunakan pendekatan dan tujuan yang berbeda.

Dalam laporan Macro Poverty Outlook 2024, Bank Dunia menyebut bahwa lebih dari 60,3% penduduk Indonesia, setara dengan sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan.

Angka ini jauh berbeda dibandingkan data resmi BPS yang mencatat tingkat kemiskinan nasional per September 2024 sebesar 8,57%, atau sekitar 24,06 juta orang.

BPS menjelaskan perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda. 

Dalam memantau upaya pengentasan kemiskinan secara global serta membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, Bank Dunia menggunakan standar yang telah disesuaikan dengan daya beli masyarakat atau purchasing power parity (PPP). 

Dengan pendekatan tersebut, angka kemiskinan dihitung berdasarkan standar negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income), yakni sebesar US$6,85 per kapita per hari.

"Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03," tulis BPS dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (27/7/2025).

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3%, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik. 

Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Sementara itu, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan ditentukan berdasarkan jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan. Untuk kebutuhan makanan, acuan yang digunakan adalah standar konsumsi minimal sebesar 2.100 kilokalori per orang per hari.

Jenis makanan yang dihitung mencerminkan pola konsumsi masyarakat Indonesia, meliputi bahan pokok seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Perhitungan garis kemiskinan ini merujuk pada data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menggambarkan pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Survei ini dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. 

Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

"Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia," jelas BPS.

Meski demikian, BPS mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu, seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan.

Secara mikro, angka itu tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang. Di DKI Jakarta, misalnya, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. 

Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari lima anggota, misalnya ayah, ibu, dan tiga balita, maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

"Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut," tutur BPS.

Dengan memahami konsep garis kemiskinan secara tepat, kita dapat menyadari bahwa kemiskinan tidak bisa disederhanakan hanya sebagai besaran pendapatan per individu. Bahkan, tidak tepat jika seseorang yang berpenghasilan Rp20 ribu per hari otomatis dikatakan tidak miskin, karena garis kemiskinan mencakup lebih dari sekadar jumlah uang yang diterima, melainkan juga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Topik:

garis-kemiskinan bps bank-dunia