RI Borong 48 Pesawat Tempur Turki Rp 160 T di Tengah APBN Tekor, Ekonom: Kecuali Nambah Utang!


Jakarta, MI - Pemerintah Republik Indonesia (RI) memborong 48 unit pesawat tempur KAAN dari Turki seharga lebih Rp160 triliun. Kesepakatan itu dilakukan di tengah APBN yang tekor dan kebijakan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto.
Adapun kontrak pembelian 48 jet tempur KAAN dari Turki ditandatangani dalam rangkaian pameran pertahanan internasional (IDEF) 2025 di Istanbul, Sabtu (26/7/2025) lalu.
Penandatanganan itu disebut Kemhan sebagai tindak lanjut dari kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua negara pada 11 Juni 2025, dalam rangkaian acara Indo Defence di Jakarta, yang disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo.
Menyoal itu, Bhima Yudhistira, Direktur lembaga riset Center for Economic and Law Studies (Celios), mempertanyakan sumber dana pembelian jet tempur itu.
Menurutnya, sekitar 25% (sekitar Rp552 triliun) penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utang negara yang mencapai Rp800 triliun. Baru-baru ini Kementerian Keuangan juga memperkirakan defisit APBN sepanjang 2025, mencapai sekitar Rp662 triliun.
"Saya tidak mengerti, mau dibayar pakai apa? Uangnya [APBN] sudah hampir tidak ada, kecuali menambah utang. Tapi itu bisa membuat terperangkap utang dan menjadi negara yang gagal secara sistemik," kata Bhima Yudhistira dikutip Rabu (6/8/2025).
Di sisi lain, jika pembelian dengan anggaran yang jumbo itu menggunakan APBN maka, kata Bhima, berpotensi menurunkan pos alokasi anggaran untuk belanja prioritas, seperti pendidikan, dan kesehatan.
Biaya pembelian pesawat KAAN lebih besar dari total dana abadi pendidikan LPDP sebesar Rp154 triliun, atau sepertiga dari anggaran perlindungan sosial Rp504,7 triliun yang menyasar puluhan juta warga.
Pembelian pesawat tempur ini bukan yang pertama kali di bawah komando Prabowo. Saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga memesan 42 jet tempur Rafael dari Prancis dengan nilai kontrak lebih dari Rp130 triliun dan membeli sederet persenjataan lainnya.
Dari sisi pertahanan, pakar militer BRIN, Muhamad Haripin, menyebut pembelian pesawat jet tempur memang dibutuhkan dalam rangka modernisasi kekuatan pelindung langit Indonesia.
Namun pemerintah harus secara seksama mempertimbangkan skema pembiayaan, kesiapan personel, dan pembaruan doktrin agar pesawat-pesawat itu dapat optimal dan berguna.
Sementara Menteri Sekretarias Negara, Prasetyo Hadi, sebelumnya mengatakan tidak ada yang salah dengan kontrak pembelian jet tempur itu, meskipun saat ini pemerintah tengah mewajibkan efisiensi anggaran untuk menopang perekonomian.
"Efisiensi bukan berarti tidak berbelanja. Memperkuat pertahanan dengan menggunakan alutsista-alutsista memang itu kita butuhkan, kita perlukan," kata Prasetyo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, (4/8/2025).
Akan menurunkan pos alokasi anggaran prioritas
Jika kemudian mau dipaksakan dengan APBN yang sedang tekor, kata Bhima, konsekuensinya akan menurunkan pos alokasi anggaran belanja prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
"Jadi APBN memang sudah hampir tidak ada ruang lagi untuk bermanuver, seperti membeli alat pertahanan keamanan dengan alokasi anggaran yang sangat besar," jelasnya.
Pilihan lainnya, kata Bhima, adalah dengan menambah utang. Namun sayangnya, kewajiban Indonesia sampai akhir 2024, termasuk utang, telah mencapai Rp10.269 triliun.
Selain itu, Bhima mencontohkan, porsi bunga utang terhadap belanja pendidikan di 2025 sebesar 76,3%, dan jika dibandingkan belanja kesehatan mencapai 256%.
"Jadi kalau ditambah lebih besar lagi maka Indonesia dianggap berpotensi sebagai negara yang gagal secara sistemik. Artinya belanja bunga utangnya lebih tinggi daripada belanja kesehatan atau belanja pendidikan. Itu sudah masuk dalam kondisi gagal sistemik dan itu dengan skenario tidak terjadi resesi ekonomi. Kalau terjadi resesi ekonomi, pastinya ruang fiskalnya sudah tidak ada sama sekali," beber Bhima.
Sementara Anggota Komisi I DPR Oleh Soleh sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah harus benar-benar memperhitungkan aspek pembiayaan secara cermat, agar tidak membebani APBN.
Pun Menteri Sekretarias Negara, Prasetyo Hadi, menyebut efisiensi anggaran yang digaungkan Prabowo bermakna realokasi anggaran kegiatan yang dinilai kurang produktif ke sektor prioritas.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
"Berulang kali disampaikan bahwa efisiensi APBN itu bukan karena kita tidak ada dana. Tapi efisiensi APBN itu dilakukan untuk melakukan relokasi. [Hasil] dari efesiensi anggaran kemudian dialokasi untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat," kata Dasco di gedung DPR, Senin, (4/8/2025).
Prasetyo dan Dasco sependapat bahwa pembelian jet tempur dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Apa urgensinya?
Pengamat militer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhamad Aripin, mengatakan bahwa pembelian pesawat tempur KAAN memang dibutuhkan karena jumlah dan kekuatan armada udara Indonesia masih jauh dari ideal.
Hal itu, kata Aripin, bisa dilihat jika dilakukan simulasi operasi tempur. Misalnya, terjadi gangguan serentak di wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
"Idealnya kan AU dan AL kita bisa merespon serentak juga simultan saat ada ancaman. Tapi dalam kenyataannya itu tak demikian. Yang bisa dikerahkan itu, hanya yang ada di Jawa atau Sumatra. Sedangkan untuk ALKI lainnya tidak begitu. Jadi ada ketimpangan kekuatan di antara struktur yang kita bangun sendiri," kata Aripin.
Selain ketersediaan dan keefektifan yang masih tidak ideal, kata Aripin, kekuatan dan teknologi jet tempur Indonesia pun masih terbatas. Tulang punggung kekuatan udara Indonesia bertumpu pada jet-jet tempur generasi empat dan sebelumnya.
Pertama adalah jet tempur Sukhoi buatan Rusia. Indonesia memiliki 11 unit Suhkoi Su-30 MK2 Flanker yang bergabung ke TNI sejak 2013 dan lima unit Sukhoi Su-27 yang tiba 2009. Su-27 dan Su-30 yang ditempatkan di Lanud Makassar ini tergolong generasi empat pesawat tempur jet.
Kedua adalah jet tempur F-16 Falcon buatan AS. TNI AU mengoperasikan 33 unit jet tempur seri A, B, C dan D ini sejak 1988. Selama 32 tahun di TNI-AU, pengadaan F-16 Falcon ini dilakukan secara tambal sulam dan kini akan memasuki masa pensiun.
Ketiga adalah satu skadron jet tempur ringan Hawk-200 buatan British Aerospace, Inggris. Selain dioperasikan sebagai jet tempur taktis, BAE Hawk-200 ini juga menjadi ajang latihan sebelum para pilot TNI-AU "dipromosikan" ke skadron F-16 Falcon.
Sekjen Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya TNI Donny Ermawan Taufanto, mengatakan mayoritas pesawat tempur yang dimiliki Indonesia sudah berusia lebih dari 20 tahun, sehingga perlu pengadaan untuk memperkuat armada udara.
Donny menjelaskan, Indonesia saat ini mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D, yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. Kemudian 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama.
"Keterbatasan beberapa suku cadang pesawat serta keterbatasan jenis dan jumlah peluru kendali juga menyebabkan kesiapan tempur pesawat F16 dan Sukhoi 27 dan 30 tidak maksimal," kata Donny pada tahun 2022 silam.
Padahal, untuk memenuhi alutsista MEF tahap III periode 2020-2024, TNI AU menargetkan bisa memiliki 344 unit pesawat, 32 unit radar, 72 rudal, dan 64 unit penangkis serangan udara.
Sementara peneliti militer BRIN, Haripin menyebut ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan saat melakukan pembelian pesawat KAAN maupun persenjataan lainnya.
Pertama adalah sumber pembiayaan. Senada dengan Bhima, dia bilang perlu dicari cara pembayaran lain yang memudahkan pembelian dan tak lagi membebani keuangan negara. Salah satunya adalah pembenahan tata kelola anggaran militer yang tersedot besar untuk belanja pegawai.
Haripin menyebut, anggaran untuk pengadaan, riset dan pengembangan teknologi hanya sekitar 10-15%. Sisanya, sebagian besar anggaran habis untuk belanja pegawai, seperti membayar gaji.
"Untuk itu perlu perampingan personel dan perampingan struktur agar anggaran militer bisa dialihkan ke alutsista dan teknologi," katanya.
Untuk melakukan upaya ini, salah satunya, diperlukan pembaharuan doktrin militer saat ini, yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yang mengedepankan jumlah dan kekuatan dari personel. Sedangkan tren perang saat ini dan ke depan, katanya, bersifat terbatas.
"Misalkan di Iran-Israel, Ukraina-Rusia. Aset-aset strategis lawan yang digempur, kemudian mundur. Jadi perang itu enggak lagi bertahun-tahun seperti dulu. Pola pikir demikian yang akhirnya kita ketinggalan dalam banyak hal, terutama dalam konteks alutsista ini. Jadi sulit untuk memenuhi kebutuhan alutsista yang berteknologi tinggi, kalau anggaran militer habis buat belanja pegawai," beber Haripin.
Faktor selanjutnya yang perlu dipertimbangkan, kata Haripin, adalah kesiapan personel dan sistem pertahanan di Indonesia dalam menerima beragam alutsista yang dipesan dari beragam negara.
Terdapat beberapa komponen penting dalam militer, yang dikenal TEPIDOIL, yaitu pelatihan, peralatan, manusia, informasi, doktrin, organisasi, infrastruktur, dan logistik.
"Setiap alutsista dari negara lain itu punya sistem pengoperasian yang berbeda-beda. Nah ketika kita memiliki banyak supplier, itu menjadi satu tantangan tambahan bagi personel atau operator yang menjalankan alutsistanya."
Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpandangan bahwa pembelian KAAN telah tepat dan rasional, karena dilakukan dengan skema kontrak jangka panjang.
"Artinya kita bisa tetap menjaga kesinambungan modernisasi tanpa harus mengorbankan stabilitas keuangan. Jadi menurut saya ini bukan belanja impulsif, tapi bagian dari strategi, ada pertimbangan geopolitiknya, efisiensi industrinya, dan juga kesinambungan kekuatan," kata Fahmi.
Fahmi melihat jet KAAN akan menjadi tulang punggung TNI AU pada 2030 mendatang. Sedangkan pembelian jet Rafale dari Prancis akan menjadi penjaga langit pada tahun depan.
"Jadi yang penting saya kira pengawasan dan pengelolaannya yang harus diawasi dengan baik. Jangan sampai kita bisa mengadakan tapi tidak bisa memelihara dan merawat," tambah Khairul.
Sebelumnya, saat menjadi Menhan pada 2022, Prabowo juga menyepakati kontrak pembelian 42 unit jet tempur Rafale dari perusahaan Dassault Aviation senilai Rp 132 triliun.
Kala itu Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Mohamad Tonny Harjono menyatakan, enam unit pertama diperkirakan tiba pada awal 2026. Dalam proses pembuatan Rafale, terjadi juga kerja sama alih teknologi (ToT) dan offset antara Dassault Aviation, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Len Industri.
Rafale merupakan pesawat tempur canggih generasi 4.5 yang menjadi salah satu pesawat andalan negara–negara anggota NATO. Rafale termasuk dalam kategori pesawat omnirole sehingga mampu melakukan berbagai jenis misi mulai dari superioritas udara, pertahanan udara, dukungan udara jarak dekat, serangan in-depth, pengintaian udara, dan serangan anti-kapal.
Prabowo juga membeli 12 unit Mirage 2000-5, pesawat tempur bekas Angkatan Udara Qatar, senilai Rp11,8 triliun dan dua pesawat angkut Airbus A400M. Selain pesawat, Prabowo juga membeli dua kapal selam Scorpene asal Perancis, kapal perang fregat, dan beragam alutsista lainnya.
Topik:
Kemhan Jet Tempur Pesawat Tempur Turki Prabowo APBNBerita Sebelumnya
Judi Online jadi Beban Bagi Ekonomi RI
Berita Selanjutnya
Rugi Miliaran, KFC Indonesia Belum Keluar dari Tekanan
Berita Terkait

Program Rumah Subisidi Melebihi Target, Presiden Prabowo: Menteri Ara Pekerja Keras!
1 Oktober 2025 01:33 WIB

Ahmad Labib Minta APBN Fokus pada Ekonomi Digital dan Energi Terbarukan
24 September 2025 16:09 WIB

Purbaya Yudhi Sadewa: Pemerintah Akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Perbesar Utang
23 September 2025 12:07 WIB