Saham BCA (BBCA) Rontok 6% dalam Sepekan, Terseret Isu BLBI?

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 20 Agustus 2025 14:22 WIB
Bank Central Asia (Foto: Dok MI)
Bank Central Asia (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kembali mengalami tekanan pada perdagangan sesi pertama, Rabu (20/8/2025). Emiten perbankan swasta terbesar di Tanah Air itu terkoreksi 1,47% ke level Rp 8.375 per saham, sehingga kapitalisasi pasarnya menjadi Rp 1.032 triliun.

Pelemahan BBCA kontras dengan kinerja mayoritas saham perbankan besar lain yang justru bergerak di zona hijau jelang pengumuman suku bunga Bank Indonesia (BI) siang ini.

Koreksi berkelanjutan BBCA sekaligus memperlebar selisih kapitalisasi pasar dengan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) milik konglomerat Prajogo Pangestu. Hari ini, kapitalisasi BREN tercatat menembus Rp 1.150 triliun, menjadikannya emiten paling bernilai di Bursa Efek Indonesia (BEI).  

Saham BBCA terus mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Hanya dalam sepekan, emiten perbankan milik Grup Djarum ini sudah anjlok 6,16%.

Pergerakan tersebut kontras dengan saham bank besar lainnya yang cenderung stabil, bahkan masih mencatatkan penguatan tipis atau terkoreksi kurang dari 0,5% dalam periode yang sama.

Tekanan pada BBCA hari ini turut dipicu oleh mencuatnya kembali isu utang BLBI BCA ke negara yang belakangan kembali mencuat.

Kasus BLBI BCA

Isu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret nama BCA kembali ramai diperbincangkan. Sejumlah pihak, termasuk anggota DPR, mendesak pemerintah menuntaskan persoalan ini.

Kontroversi berawal dari penjualan 51% saham BCA pada 2002, yang dinilai menimbulkan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun. 

Mengutip tulisan "Interpelasi BLBI Kasus BCA" oleh mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, bank swasta terbesar RI itu saat itu memiliki utang ke negara.

Utang tersebut berasal dari berbagai sumber, salah satunya dana BLBI. Pada saat krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, BCA terkena rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun untuk meredamnya. Maka, pemerintah menyita saham-saham BCA sebagai bentuk dari pelunasan utang BLBI dari keluarga Salim.

Dari jumlah tersebut, BCA telah membayarkan cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan pembayaran bunga Rp8,3 triliun, yang saat itu tingkat bunganya sebesar 70% per tahun. 

Maka sisa utang BLBI tersebut menjadi Rp23,99 triliun (pembayaran bunga tidak mengurangi pokok) atau sekitar 92,8% dari nilai saham BCA pada saat itu.

Kemudian, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus "disehatkan" dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp60 triliun. Kwik mengatakan dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp4 triliun.

"Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun).

Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun," tulis Kwik, dikutip Selasa (19/8/2025).

Kwik juga menyoroti kredit Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim, mantan pemegang saham BCA, di Bank swasta terbesar RI tersebut . 

Ia menggarisbawahi bahwa ketika 92,8% saham BCA dimiliki oleh pemerintah, utang keluarga Salim beralih menjadi utang kepada pemerintah.

Karena tidak memiliki cukup dana tunai, penyelesaian dilakukan melalui skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam bentuk Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). 

Melalui skema itu, Grup Salim menyetor uang tunai Rp100 miliar serta menyerahkan 108 perusahaan. Hasil penilaian atas aset perusahaan menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers mengeluarkan angka Rp 51,9 triliun. Sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas.

Sementara itu, hasil penilaian Price Waterhouse Coopers (PwC) menunjukkan nilai skema tersebut hanya sekitar Rp20 triliun. Perbedaan signifikan dari penilaian konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman dengan PwC disebut terjadi karena perbedaan pandangan makroekonomi.

Pada saat itu, Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi "Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal" (normalised economic and political scenarios). Artinya dihasilkan angka premium imbas dari going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

Sementara PwC ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : "harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious).

Meski ada perbedaan signifikan terkait penilaian tersebut, akhirnya pemerintah pada saat itu menerima Rp20 triliun dari nilai aset Rp52,8 triliun, sebagai pelunasan utang keluarga Salim. Artinya, recovery rate sekitar 34%.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati sepakat menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan Investasi AS Farallon kemudian memenangkan tender tersebut karena membeli saham BCA dengan nilai US$530 juta atau Rp10 triliun pada saat itu.

Sekitar tahun 2007, Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya setelah membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR sekaligus anggota Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan belum menelaah detail kasus tersebut. Namun ia mengetahui bahwa BCA yang pada saat itu dimiliki Grup Salim masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dilelang dan dimenangkan oleh Grup Djarum.

"Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu," kata Dasco, Selasa (19/8/2025).

Menurut Dasco, Komisi III DPR sejauh ini belum memiliki rencana untuk menyelidiki kasus BLBI-BCA. "Setahu saya, ini belum ada rencana Komisi III," ujarnya. 

Sementara itu, politisi Partai Gerindra sekaligus Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, yang membidangi hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan, menyatakan tidak ada jadwal pemanggilan terkait kasus BCA.

"Kami baru saja selesai rapat internal menyusun jadwal untuk masa sidang ini. Tidak ada jadwal pemanggilan kepada KPK Terkait kasus BCA tersebut," ucap Habiburokhman, Selasa (19/8/2025).

Ia menekankan bahwa isu perbankan bersifat sensitif dan perlu disikapi dengan sangat hati-hati, agar pemberitaan yang kurang tepat tidak menimbulkan ketidakstabilan.

Topik:

bank-central-asia bca saham-bbca utang-blbi