Babak Baru Dugaan Skandal BLBI-BCA Seret Djarum Group


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan perkembangan terbaru soal laporan dugaan skandal keuangan BLBI-BCA, khususnya akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Grup milik Budi Hartono pada 2002.
Kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK sekaligus Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, pihaknya masih melakukan pengecekan laporan itu.
"Kemudian BLBI. Saya cek lagi dulu BLBI," kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK sekaligus Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2025) kemarin.
Namun soal kasus BLBI itu belum berjalan dalam kegiatan penindakan KPK.
"Sepengetahuan saya tidak ada running BLBI saat ini," lanjut Asep.
Soal komunikasi dengan Komisi III DPR, Asep menjelaskan, pertemuan terakhir membahas anggaran dan polemik penanganan perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis dalam Rakernas Partai NasDem.
"Anggaran, masalah penanganan perkara Koltim," tandasnya.
Komisi III DPR sebelumnya mendesak KPK segera mengusut tuntas dugaan permainan harga dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Grup, sebagai bagian dari megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Anggota Komisi III DPR asal PKB, Abdullah menilai, terdapat dugaan rekayasa dalam proses akuisisi tersebut yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah.
"KPK jangan tumpul. Segera lakukan penyelidikan dan penyidikan kasus BLBI BCA yang telah menyedot uang negara," katanya, Senin (18/8/2025).
Komisi III memastikan akan memanggil KPK, Tim Pansus DPD, serta pihak-pihak terkait untuk mendalami temuan dari hulu hingga hilir.
Langkah ini dilakukan demi memastikan keadilan dan mengembalikan potensi kerugian negara agar bisa digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pun, KPK pernah berjanji akan mempelajari kasus BLBI pada awal tahun ini namun hingga akhir tahun ini masih akan dicek saja.
KPK menyebut masih mengumpulkan informasi terkait laporan dugaan korupsi megaskandal BLBI hingga BCA Gate.
Adapun laporan dugaan patgulipat akuisisi BCA oleh Djarum Group, diajukan Pengamat Ekonomi dan Politik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro kepada Wakil Ketua KPK jilid III (2011–2015), Busyro Muqoddas.
"Terima kasih informasinya. Sepertinya laporannya sudah lama, pada kepemimpinan jilid III yang disebutkan di situ, dilaporkan kepada Pak BM," kata Asep Guntur Rahayu, Rabu (1/1/2025).
Asep menambahkan, penyidik KPK akan mempelajari laporan tersebut, apabila ditemukan bukti yang relevan, bakal tancap gas.
"Jadi kita coba cari info dulu terkait laporan tersebut dan kita pelajari ya," katanya.
Sebelumnya, Sasmito menilai, pimpinan KPK tidak memiliki nyali untuk mengusut tuntas megakorupsi BLBI dan BCAgate. Kedua kasus itu, terkean jalan di tempat.
"Terjadinya rekayasa keuangan negara, jelas-jelas kasat mata, merugikan rakyat Indonesia. Enggak usah bicara sekarang, yang terbesar kasus BLBI, apalagi BCAgate," kata Sasmito, Rabu (1/1/2025).
Sasmito mengaku telah menyerahkan sejumlah dokumen terkait kasus BLBI dan BCAgate kepada pimpinan KPK, termasuk Busyro serta Penasihat KPK periode 2005–2013, Abdullah Hehamahua.
Namun, kata Sasmito, seluruh petinggi KPK itu, enggan mengusut kasus tersebut, bisa jadi karena kuatnya intervensi.
"Waktu saya tanya apakah Anda diintervensi oleh central power, beliau (Busyro) menjawabnya, 'banget'. Banget itu artinya sangat, tidak ada komentar lebih," ucap Sasmito.
Dia juga mempertanyakan sikap Abdullah Hehamahua.
"Saya heran dengan Abdullah, di KPK teriak ngatain Jokowi segala macam, luar biasa benci ngatain Jokowi, tapi urusan BLBI kenapa tak suruh periksa. Dia diam," katanya.
Sasmito menyebut, lebih dari 12 aksi telah dilakukan demi mendorong pengusutan kedua skandal keuangan yang merugikan negara dalam jumlah bear. Namun, laporan tersebut diduga diabaikan dan dianggap usang.
Sasmito juga membeberkan data empat obligor terbesar dalam skandal BLBI, yakni Anthony Salim (Rp33 triliun), Sjamsul Nursalim (Rp32 triliun), Usman Atmajaya (Rp30 triliun), dan Bob Hasan (Rp14 triliun). Selain itu, ia menyoroti pembelian aset Bank BCA oleh Budi Hartono seharga Rp5 triliun, yang menurut LPEKN seharusnya bernilai lebih dari Rp200 triliun.
"Kalau Anda mau bandingkan sekarang yang ramai soal korupsi CSR BI di Komisi XI, tidak ada apa-apanya dibandingkan subsidi bunga obligasi rekap ini," tegasnya.
Sementara Sekretaris Perusahaan (Sekper) BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya membantah dugaan patgulipat pembelian (akuisisi) 51 persen saham BCA sebesar Rp5 triliun oleh Djarum Group. Termasuk dugaan kerugian negara yang dikaitkan dengan nilai pasar BCA sebesar Rp117 triliun.
“Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk kepada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar."
"Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” kata Ketut dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Nilai pasar sesungguhnya ditentukan harga saham di bursa, dikalikan dengan jumlah saham beredar. Sejak melantai di bursa pada 2000, harga saham BCA dibentuk sepenuhnya mekanisme pasar.
Ketut menerangkan, tender dilakukan Pemerintah RI melalui BPPN dengan cara transparan dan akuntabel. Dia juga meluruskan soal tudingan adanya utang kepada negara Rp60 triliun.
“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar."
"Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” tukasnya.
Topik:
KPK BCA Djarum Group BLBI