Putusan MK Tentang Tapera Beri Kepastian dan Fleksibilitas Pekerja

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 September 2025 16:44 WIB
Timboel Siregar, Sekjen OPSI (Foto: Dok MI)
Timboel Siregar, Sekjen OPSI (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyambut baik dan mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera), yang menyatakan Pasal 7 ayat (1) tidak lagi wajib tetapi dengan kata "dapat".

"Putusan MK ini memberi kepastian dan fleksibilitas kepada pekerja penerima upah untuk memilih ikut Tapera atau tidak," kata Timboel kepada Monitorindonesia.com, Senin (29/9/2025).

Mewajibkan ikut Tapera tetapi tidak berhak dapat manfaat, kata Timboel, merupakan persoalan bagi pekerja yang wajib menabung 2.5 persen dan persoalan bagi pengusaha yang wajib menabung 0.5 persen. 

Program Tapera hanya untuk pekerja MBR yang penghasilannya di bawah 7 juta, dan untuk rumah pertama. Selain masalah tersebut, masalah lainnya, nilai tabungannya di Tapera tidak jelas imbal hasilnya. 

Lalu pemotongan 2.5 persen akan mempengaruhi daya beli pelerja dan keluarganya. Kenaikan UM sekitar 4 atau 5 persen, tapi nanti dipotong 2.5 persen akan menggangu daya beli pekerja.

"Konsekuensi putusan MK ini adalah pekerja dapat memilih program perumahan, apakah melalui MLT Perumahan bagi peserta JHT yang dikelola BPJS TK, atau melalui Tapera (yang memang sudah 2 juta pekerja formal yang mengakses FLPP melalui tapera), atau memilih untuk tidak mau punya rumah," jelas Timboel.

Walaupun putusan MK ini memberikan pilihan bagi pekerja utk mendpaat rumah, namun Timboel berharap pemerintah terus mendukung dan merelaksasi regulasi dan bunga pinjaman perumahan sehingga pilihan yang diambil pekerja utk memilih rumah juga bisa lebih mudah aksesnya.

Bila memilih MLT Perumahan maka bunga pinjaman bisa diturunkan menjadi BI Rate + 1 persen. Saat ini ada stimulus bunga pinjman BI Rate + 3 persen, tapi ini sdh biasa diberikan BTN.

"Demikian juga persyaratan mendapat MLT pwrumahan dipermudah sehingga akses pekerja mendapat rumah lebih mudah. Demikian juga bagi pekerja yg memilih Tapera dgn FLPP diharapkan suku bunganya bisa 3 persen. Yang saat ini kan 5 persen," katanya.

"Kemudahan akses tetsebut akan mendukung kepemilikan rumah yang lebih banyak dan cepat bagi masyarakat," imbuh Timboel Siregar.

Diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutusakn bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) harus diubah sebab bertentangan dengan UUD 1945.
"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran NRI Tahun 2016 No 56, tambahan lembaran NRI nomor 5863) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman."

"Tiga, menyatakan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran NRI tahun 2016 No 55 tambahan lembaran negara NRI No 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan," kata ketua hakim MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).

Adapun gugatan itu diajukan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto. Dalam pertimbangannya, hakim MK menilai Tapera bukan pungutan yang bersifat memaksa. Hakim MK mengatakan konsep tabungan Tapera akan menggeser konsep tabungan yang bersifat sukarela.

"Terlebih, Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa sebagaimana maksud Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 ataupun dalam kategori 'pungutan resmi lainnya'. Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon," ujar hakim MK Saldi Isra.

Sementara hakim MK Enny Nurbaningsih menilai norma Pasal 7 ayat (1) UU No 4 Tahun 2016 justru tidak sejalan dengan tujuan yang dimaksud. Sebab, menurut hakim, norma tersebut mewajibkan setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera.

"Norma demikian menggeser peran negara sebagai 'penjamin' menjadi 'pemungut iuran' dari warganya. Hal ini tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan, bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur paksaan," jelasnya.

Hakim MK menilai kewajiban seragam seluruh pekerja termasuk pekerja yang telah memiliki rumah atau belum menjadi peserta Tapera menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional. Menurut hakim, hal ini berpotensi menimbulkan beban ganda bagi pekerja.

"Mahkamah menilai bahwa keberadaan Tapera sebagai kewajiban, terlebih disertai sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada," katanya.

Topik:

MK Tapera OPSI Pekerja