Lokakarya YFAS 90-FGSBM: Perlindungan Buruh dan Pengawas Ketenagakerjaan jadi Sorotan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 28 Oktober 2025 8 jam yang lalu
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar (kiri), peneliti masalah Ketenagakerjaan Universitas Parahyangan Bandung, Indrasari Tjandraningsih (tengah) dan Moderator Endang Rokhani (kanan) (Foto: Adelio Pratama)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar (kiri), peneliti masalah Ketenagakerjaan Universitas Parahyangan Bandung, Indrasari Tjandraningsih (tengah) dan Moderator Endang Rokhani (kanan) (Foto: Adelio Pratama)

Jakarta, MI - Yayasan Forum Adil Sejahtera 90 (YFAS 90) dan Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri (FGSBM) menggelar acara Lokakarya Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja/Buruh.

Poin utama dalam acara yang digelar di Hotel Balairung, Matraman, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2025) itu adalah menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVII/2020.

Bahwa dalam putusan itu, MK memerintahkan pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun, karena pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945 karena cacat formil dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.

Pelikson Silitonga, Direktur Pelaksana YFAS 90 yang membuka acara tersebut menyatakan bahwa tujuan daripada lokakarya ini adalah adanya fakta, abstraksi dan pointer-pointer sebagai bahan penyusunan beberapa kebijakan ketenagakerjaan yang menjadi dasar perlindungan dan kesejahteraan buruh diantaranya tentang upah layak, perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja dan penguatan peran SB/SP. 

Kemudian adanya pengaturan secara tegas mengenai pekerja platform digital, pekerja media, pekerja pendidikan dan pekerja awak kapal. Lalu, adanya agenda edvokasi RUU Ketenagakerjaan yang melibatkan organisasi pekerja, organisasi masyarakat dan akademi (jejaring sosial).

Adapun DPR RI telah merespons putusan MK tersebut melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang menempatkan RUU Ketenagakerjaan sebagai Prioritas pada tahun 2025. 

Saat ini Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi IX DPR-RI telah menyusun Naskah Akademuk dan akan dilanjutkan merumuskan RUU. 

Menurut Pelikson, dalam upaya menghindari pengalaman dua kali pembentukan UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode Omnibus Law ditambah lagi dalam proses penyusunan dan pembahasan di DPR tanpa ada partisipasi bermakna (meanningfull) dari kalangan buruh dan masyarakat, maka sebaiknya dalam penyusunan dan pernbahasan RUU yang akan dilakukan penting mematuhi prinsip-prinsip yaltu melibatkan organisasi buruh dan masyarakat secara bermakna, mengacu pada putusan MK No. 168 tahun 2023, TAP MPR tentang buruh memiliki akses kepemilikan saham perusshaan, 26 konvensi ILO, perspektif perlindungan HAM dan ketegasan peran negara. 

"Pembuat undang-undang harus tegas dalam perumusan upah minimum mengacu pada putusan MK yaitu upa minimum berdasarkan pemenuhan upah layak dengan mempertimbangkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pertumbuhan ekonomi dan produktivitas," kata Pelikson menegaskan. 

Lokakarya YFAS 90 dan FGSBM
Pelikson Silitonga, Direktur Pelaksana YFAS 90 (Foto: Dok MI/Adelio Pratama)

Dalam menetapkan upah sektoral tidak didasarkan kepada wilayah, lanjut Pelikson, melainkan harus didasarkan kepada survey yang dilakukan oleh dewan pengupehan, untuk menghindari disparitas upah sektoral. 

"DPR juga harus mengatur tentang upah pekerja platform digital, pekerja medis dan kesehatan," tegas Pelikson. 

Kemudian, yang perlu dirumuskan secara tegas dalam UU Ketenagakerjaan mendatang yaitu badan hukum pemberi kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), outsourcing secara terbatas hanya pada pemborongan pekerjaan bukan pekerja, penghapusan status buruh harian lepas, perlindungan khusus kepada pekerja perempuan dan disabilitas, larangan Pemotongan dan penundaan pembayaran upah, PHK harus dipersulit dan menguatkan peran SB/SB. 

Sementara isu baru yang perlu diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nanti seperti perumusan pekerja platform digital, medis, pendidikan dan awak kapal, melarang praktek percaloan tenaga kerja, permohonan sita jaminan, perusahaan harus mencadangkan dana untuk pesangon (termasuk status PKVWT).

Pelikson pun berharap, dengan adanya RUU Ketenagakerjaan ini lagi, organisasi buruh terus memperkuat organisasinya. "Perlu ada revisi kembali RUU Ketenagakerjaan, itu sangat penting dan saya berharap organisasi buruh ketika mengadvokasi ini subtansinya harus memperkuat organisasi buruh ke depannya, tidak seperti yang sekarang ini," harap Pelikson.

Sementara peneliti masalah ketenagakerjaan Universitas Parahyangan Bandung, Indrasari Tjandraningsih mendorong kawan-kawan buruh saat dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan itu melibatkan ahli ekonomi.

"Saya mendorong kawan-kawan memanfaatkan ahli ekonomi dalam RUU Ketenagakerjaan ini untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan tidak hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga mendukung keberlangsungan usaha, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja yang stabil dan produktif bagi masyarakat," kata Mbak Asih sapaannya yang menjadi salah satu narasumber dalam acara tersebut.

Perlindungan Buruh dan Pengawas Ketenagakerjaan

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar yang juga sebagai narasumber dalam acara itu menegaskan bahwa dengan putusan MK, SP/SB harus mengawal impelantasi putusan yang dimaksud tersebut.  
 
Di lain sisi, dia mendorong bentuk perlindungan kepada pekerja dan buruh lebih konkret dalam substansi hukum dalam regulasi, sehingga buru bisa menggerakkan ekonomi lebih maju. "Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bisa menciptakan iklim investasi yang lebih baik sehingga menurunkan tingkat kemiskinan," kata Timboel.

"Dimulai dari apa? Ya, perlindungan kepada buruh seperti diamanatkan dalam pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 bahwa seluruh rakyat berhak atas pekerja dan penghidupan yang layak," tambah Timboel.

Koordinator Advokasi BPJS Watch itu mengaskan bahwa pekerja dan penghidupan yang layak itu nanti akan dijawab oleh UU Ketenagakerjaan yang baru dan memang tentunya ada beberapa pasal, beberapa ketentuan yang harus merujuk pada putusan MK Nomor 168 tahun 2023. 

"Nah ini yang memang juga kalau saya perhatikan dia mengembalikan kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan tambahan perlindungan seperti misalnya bagaimana upah berbasis pada kebutuhan yang layak, tidak hanya pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi tapi bagaimana kebutuhan hidup layak," ungkap Timboel.

"Demikian juga terkait dengan Jaminan Sosial (Jamsos) yang memang hak seluruh pekerja," sambung Timboel. 

Kemudian, dia juga mendorong perlindungan kepada pekerja yang di luar hubungan kerja yang informa pekerja migran, pekerja jasa sehingga mereka menjadi subjek yang disejahterakan seperti yang diamanatkan dalam pasal 1 angka (31) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Jadi persoalan pengawasan penegakan hukum terkait dengan sistim kerja outsourcing-nya memang banyak persoalan yang akhirnya pekerja kurang mendapat hak-haknya, tidak terlindungi akhirnya hak-hak dasarnya tidak diperoleh."

"Misalnya tentang jaminan sosial, tentang upah yang layak terkait dengan K3 dan sebagainya itu di perusahaan outsourcing itu banyak yang memang harusnya tidak bisa dinihilkan hak-hak atas Jaminan Sosial yang bahkan hak dasarnya," ungkapnya.

Nah, kata dia, di UU Nomor 13 yang nanti memang harus diramu dengan mengacu kepada aspek filosofisnya, aspek yuridisnya dengan putusan-putusan MK dan aspek sosiologisnya.

Hanya saja, tegasnya, permasalahan saat ini adalah soal lemahnya pengawas para pengawas ketenagakerjaan dan minimnya jumlah pengawasnya.

"Pelaksanaan yang terjadi saat ini. Pertama pelaksanaannya terkait dengan pengawas yang lemah makanya butuh pengawasnya para pengawas ketenagakerjaan, pengawas eksternal," lanjut Timboel.

"Kedua, jumlah pengawasnya ditingkatkan dengan lebih memastikan pada rekrutmen melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan juga kemudian bagaimana sentralisasi."

"Kalau menurut saya pengawas itu tidak lagi di kabupaten, kota atau provinsi tapi di tingkat kementerian pusat sehingga pengawas itu tidak mudah untuk dimutasi," jelasnya.

Lokakarya YFAS 90 dan FGSBM

Menurut Timboel, pengawas tersebut harus benar-benar mempunyai kemampuan di pengawasan.Timboel kembali menilai bahwa pengawas ketenagakerjaan saat sangat lemah. Maka dari itu dia mendorong adanya pengawas bagi pengawas. 

"Karena lemah, sehingga pengawas ketenagakerjaan itu bermain terus-menerus secara biliar akhirnya sertifikat K3 itu menjadi bagian yang dikorupsi," tandas Timboel.

Topik:

FYAS 90 FGSBM UU Ketenagakerjaan MK Buruh DPR RI