Gurita Korupsi BPK, Kapan Bisa Berbenah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 19 Mei 2024 20:46 WIB
Ilustrasi - Kasus-kasus korupsi yang menyeret personil BPK dari pimpinan hingga auditor perlu mendapat perhatian serius pemerintah (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Kasus-kasus korupsi yang menyeret personil BPK dari pimpinan hingga auditor perlu mendapat perhatian serius pemerintah (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Korupsi tak lagi bersifat struktural, tetapi sudah bersifat endemik, mengakar kuat dalam hati nurani terdalam. Sifat endemik inilah yang kemudian melahirkan berbagai macam perkataan dan perbuatan manusia bersifat paradoksal, saling tidak pernah sesuai, dan terus menebarkan virus negatif yang memetis. 

Mereka yang tadinya bersih dan lugu, ketika masuk birokrasi kekuasaan, tak bisa lari dari gurita korupsi yang sudah endemik tadi. Sedikit sekali yang berani melawan, dan kisah para pejuang anti korupsi selalu runtuh di tengah jalan. 

Sifat endemik korupsi selalu memakam secara memetis yang melawannya. Kritik untuk melawan korupsi yang endemik seringkali dilancarkan dalam berbagai buku yang beraneka ragam, tetapi sedikit sekali dalam sebuah karya fiksi yang secara “blak-blakan” menggugat gurita korupsi.

Salah satu lembaga negara yang kini tersorot adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. BPK sebagai instansi negara memiliki kewenangan besar dalam memeriksa laporan keuangan suatu lembaga negara untuk menemukan berbagai pelanggaran termasuk korupsi.

Sayangnya, BPK melalui laporannya yang diharapkan menjadi perwakilan rakyat menemukan berbagai pelanggaran tersebut, justru turut terjerat pada berbagai kasus korupsi. 

Misalnya, kasus korupsi eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang dalam persidangan terungkap keterlibatan peran dua auditor BPK yang meminta uang Rp12 miliar demi ’memoles’ laporan keuangan menjadi predikat ’Wajar Tanpa Pengecualian’ (WTP). 

BPK Maling uang KementerianLalu, mantan Supervisor (SPV) Waskita Karya Sugiharto mengaku, pernah diminta menyiapkan Rp 10,5 miliar untuk diserahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait temuan di proyek korupsi proyek Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II atau Tol MBZ.

Selanjutnya ada juga kasus pimpinan BPK, Achsanul Qosasih, dalam kasus korupsi menara BTS yang diduga Kejaksaan Agung menerima uang Rp 40 miliar.

Selain itu, ada juga ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Robertus Kresnawan.  

Aliran dana kepada oknum BPK juga terkuak dalam kasus dugaan suap proyek jalur kereta di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA). Penyidik KPK menduga, ada pemberian uang dan pengkondisian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, KPK menyatakan, satu orang dari BPK telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Kasus suap Pj Bupati Sorong yang sempat menyeret nama Anggota IV BPK RI Pius Lustrilanang itu. Namun hingga saat ini tak diketahui rimbanya dugaan keterlibatan Pius di kasus itu.

Lalu, kasus dugaan korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti Muhammad Adil, KPK menyebut ada dugaan suap kepada BPK perwakilan Riau. Suap kepada BPK itu berawal dari Adil yang menerima uang sejumlah sekitar Rp1,4 Miliar dari PT Tanur Muthmainnah pada Desember 2022

Sebelumnya, terdapat berbagai kasus lain yang sudah menjerat personil BPK, misalnya Anggota IV BPK, Rizal Djalil (2019) yang menerima uang SGD 100 ribu pada kasus suap proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). 

Ada juga kasus 2017 yang melibatkan auditor BPK, Ali Sadli dan pejabat Eselon 1 BPK, Rochmadi Saptogiri dalam kasus suap pemberian opini WTP dalam laporan keuangan Kementerian Desa Tahun Anggaran 2016

Ahli hukum pidana, Prof. Mudzakir pernah menyatakan bahwa kerapnya pejabat BPK terseret dugaan rasuah karena kewenangannya sangat mahal, BPK yang yang mengerti soal apakah suatu tindak pidana bisa masuk dugaan korupsi atau tidak. 

Dengan kemahalannya itu, pihak yang berkepentingan menghalalkan segala cara untuk menutupi laporan keuangannya tidak bagus.

"Dia yang mengerti itu soal perkara korupsi atau tidak. itukan kewenangannya ada di BPK, kewenangan BPK itu dijual artinya mahal, karena dijual harganya mahal pasti akan dibeli juga atau gampang dibeli. Banyak yang beli karena kelukuannya tidak bagus," kata Prof Mudzakir kepada Monitorindonesia.com dikutip pada Minggu (19/5/2024).

Meski laporannya itu buruk, mereka tetap juga membelinya supaya dapat laporan yang bagus. "Supaya nanti dapat predikat tertinggi untuk reputasi caleg yang akan datang, bahkan kepala daerah yang lebih tingginya gubernur, agar bisa dia lanjutkan lagi. Dalam rangka untuk menutupi kekurangan dan laporan pertanggungjawaban itulah mereka meminta suap," bebernya.

Kepada mereka yang sudah diseret KPK dan Kejaksaan Agung, Prof Mudzakir meminta agar dihukum seberat-beratnya. "Hukuman berat ditujukan kepada orang yang melakukan pengawasan, kalau lolos pengawasan itu berarti kerugian keuangan negara bertambah".

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI (Foto: Dok MI/Aswan)

"Karena kerugian negara itu ditutupi oleh pihak auditor. Makanya jabatan auditor itu kalau dijual harganya mahal," demikian Prof. Mudzakir.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Masinton Pasaribu menyatakan bahwa problem di BPK tentang pemeriksaan, WTP dan segala macam, bukan hal yang baru.

"Itu yang menjadi masalah. Selain itu juga yang diharapkan dari BPK ini kan sebagai lembaga pemeriksa, mempertanggungjawabkan keuangan negara, pengelolaan keuangan negara ini kan harusnya mendorong tata kelola keuangan pemerintah yang bersih dari korupsi justru malah auditor BPK menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri," jelasnya.

Politikus PDI Perjuangan itupun menyinggung gurita korupsi di negeri ini sangat luar biasa. "Ini yang menjadi masalah, bahwa gurita korupsi itu luar biasa, bahkan bukan hanya di level pengelola keuangan negara tapi juga dipemeriksaannya".

"Bahkan juga pada badan hukum juga menjadi bagian dari korupsi itu sendiri itu menunukkan bahwa gurita korupsi di Indonesia sudah benar luar biasa dari seluruh lini. Kalau hal seperti ini dibiarkan semakin nampak, semakin pesimis bahwa pemberantasan korupsi itu hanya sebuah jargon saja," tutur Masinton.

Tak ada yang awasi!
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pernah mengkritik peran BPK lantaran tidak ada pihak ketiga yang mengawasi meski sudah ada anggota BPK terjerat kasus korupsi.

Pada tahun 2021 di kanal YouTube miliknya, Ahok pernah mengkritik peran BPK lantaran tidak ada pihak ketiga yang mengawasi lembaga pengawas keuangan negara tersebut.

Kritik Ahok itu dilandasi dari peran BPK, termasuk saat mengambil sebuah keputusan. "Jadi semua putusan ada di BPK dan mereka dikasi undang-undang BPK itu, tidak boleh ada pihak ketiga melakukan perhitungan, dia putuskan A harus terima A, selesai Anda," kata Ahok dalam kanal YouTubenya, Panggil Saya BTP pada 19 November 2021 lalu seperti dikutip Monitorindonesia.com, Minggu (19/5/2024).

Meski bisa mengajukan keberatan ke badan kehormatan, Ahok tetap mengkritik wadah tersebut lantaran dinilai tidak adil. Adapun yang dimaksud Ahok karena keberatan yang diajukan justru disampaikan kepada badan yang mengawasi kinerja BPK sendiri.

Ahok beranggapan bahwa hal tersebut menjadi celah bagi oknum untuk dimanfaatkan sebagai cara untuk melakukan suap-menyuap. "Jadi, ada kesan begini 'tenang kalau BPK sudah periksa dan dinyatakan tidak ada kerugian, aman lah kita," ujarnya.

Lantas, Ahok pun menceritakan pengalamannya saat dipanggil BPK soal kasus sengketa lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras ketika dirinya masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia mengatakan saat itu BPK mempertanyakan kerugian negara akibat membeli lahan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tinggi.

Hal tersebut ditanyakan ke Ahok lantaran, menurut BPK, seharusnya Ahok dapat menentukan NJOP dengan nilai yang lebih rendah ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Dia mempersoalkan, kenapa Anda beli tanah dengan harga NJOP, sedangkan Anda seorang gubernur bisa memutuskan NJOP mau berapa. Kenapa Anda gunakan NJOP yang mahal, sedangkan di gang-gang belakang ada NJOP yang murah," jelas Ahok.

Ahok membalas dengan mengatakan bahwa penentuan NJOP itu bukan wewenangnya sebagai gubernur tetapi wewenang Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jika dirinya menurunkan NJOP, maka warga sekitar bakal menuntut kebijakan tersebut. Berkaca dari sengkarut BPK tersebut, Ahok pun mengusulkan agar ada revisi UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

"Kalau orang dulu mempersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti direvisi Undang-undangnya, saya kira Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang harus direvisi Undang-undangnya juga," beber Ahok.

"Anda harus revisi Undang-undang BPK. Kenapa? Kenapa bisa juga ada oknum di BPK atau oknum di BUMN, terbukti bisa masuk penjara tuh. Pejabat di BPK juga ada yang masuk penjara, artinya ada oknum kan," pungkasnya.

Perlu pembenahan
Pakar Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Roziqin menyebut maraknya kasus korupsi di BPK menandakan perlu adanya pembenahan secara sistematis pada lembaga tersebut. 

Ia menyampaikan beberapa usulan perubahan. Pertama, BPK perlu menerapkan nilai-nilai integritas, sebagaimana dicanangkan oleh BPK sendiri sebagai nilai utama untuk pimpinan dan pegawai BPK. 

"Dalam berbagai kesempatan, mulai dari diklat hingga arahan pimpinan, seringkali didengungkan agar pegawai menjunjung tinggi nilai independen, integritas, dan profesionalisme,” ujarnya dikutip pada Minggu (19/5/2024).

Ia mengungkapkan bahwa BPK harus menjadi tulang punggung dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu, integritas BPK dalam menjalankan tugas sangat penting. Ia juga menyarankan agar standar etika ditegakkan dengan ketat, termasuk dalam hal tidak menemui pihak terkait pemeriksaan di luar kantor BPK atau area pemeriksaan. 

Kemudian tidak menerima segala macam bentuk gratifikasi dari penyelenggara negara maupun swasta yang bisa mempengaruhi independensi dan integritas. Roziqin menyampaikan bahwa untuk menegakkan integritas, pimpinan dan pegawai BPK perlu independen.

Karenanya, pimpinan BPK perlu diisi para profesional dan pakar di bidang terkait pemeriksaan BPK, dan menghindari calon yang berasal dari partai politik. 

Selain itu, sebagai lembaga yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, maka BPK perlu menggunakan kacamata kuda untuk menegakkan kebenaran. Pimpinan yang berasal dari partai politik, menurutnya, berpotensi memiliki konflik kepentingan. 

Pasalnya, mereka memiliki banyak relasi dengan para pejabat sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi objektivitas pemeriksaan BPK. Apalagi pimpinan BPK dipilih oleh DPR sehingga dikhawatirkan calon yang berasal dari partai politik tidak diseleksi dengan baik oleh para politisi di DPR.  

Ketua BPK RI Isma Yatun dan haerul Saleh anggota BPK
Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) periode 2022-2027 yaitu Isma Yatun dan Haerul Saleh. Dua nama yang ditetapkan itu telah lolos menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi XI DPR RI.

"KPK perlu mengawal pemilihan BPK agar tidak terjadi suap menyuap dalam proses pemilihan KPK,” imbuhnya.

Kedua, perlu perubahan Undang-Undang agar pemilihan pimpinan BPK menggunakan Panita Seleksi (Pansel) sebagaimana pemilihan KPK. Ia mengungkapkan bahwa melalui Pansel, setidaknya ada saringan yang lebih ketat terhadap calon pimpinan BPK. 

Pansel harus memastikan bahwa calon pimpinan BPK memiliki integritas yang mumpuni, dan rekam jejak yang baik dalam pemberantasan korupsi. BPK, menurutnya, ibarat sapu yang akan menyapu semua perilaku kotor korupsi. 

Maka semua pimpinan BPK harus benar-benar bersih. "Pimpinan yang bersih akan berakibat pada pegawai yang bersih. Hal ini karena dalam birokrasi berlaku prinsip bawahan harus mengikuti perintah atasan,” ujarnya. 

Berkaitan dengan rekam jejak, Pansel bisa meminta masukan dari segenap masyarakat, termasuk dari KPK. Pansel juga perlu mendapat masukan dari entitas yang diperiksa BPK, bilamana ada pimpinan BPK yang akan mencalonkan diri untuk periode kedua. 

Kemudian, ia juga menyampaikan perlunya perubahan Undang-Undang untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan BPK.  Masa jabatan yang hanya lima tahun, akan menyebabkan pimpinan BPK tidak fokus dalam bekerja.

Menjelang berakhirnya periode lima tahun pertama, dikhawatirkan mereka akan mendekati para anggota DPR agar terpilih kembali. 

Pendekatan demikian dikhawatirkan mengganggu independensi. "Kita bisa meniru perubahan UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim MK menjadi usia 70 tahun, agar mereka bekerja secara independen dan profesional dan tidak terpikir untuk pemilihan periode kedua,” tutupnya.