Korupsi PGN: Danny Praditya dan Iswan Ibrahim Tak Kunjung Ditahan


Jakarta, MI - Permasalahan dugaan adanya tindak pidana korupsi terus terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Adalah PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
PT PGN tersangkut dugaan rasuah jual-beli gas dengan PT Isar Gas berawal dari transaksi jual-beli gas pada 2017.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga pembelian itu melanggar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi.
Meski berlaku pada tahun 2018, peraturan menteri itu mewajibkan instansi pemerintah membeli gas dari pengelola, bukan pedagang gas. Uang muka yang telanjur disetor mencapai US$ 15 juta.
Dalam penyidikan kasus ini, KPK menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan PT PGN yang mencapai ratusan miliar rupiah itu.
Bahwa penyidikan kasus ini juga bermula dari hasil temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). PT PGN diduga tersandung dalam transaksi perjanjian jual beli gas (PJBG) sebesar 15 juta dolar AS atau sekitar Rp241,9 miliar.
Dalam Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023, BPK menemukan adanya indikasi adanya sejumlah kejanggalan dalam transaksi PJBG antara PGN dengan PT IAE.
Dalam transaksi ini, PGN akan membeli gas sebesar 15 MMSCFD setiap tahunnya dari IAE untuk periode 2019 hingga 2025. Uniknya, IAE hanya merupakan perantara untuk penjualan gas yang berasal dari Lapangan Madura BD.
Namun, kontrak penjualan ini akhirnya tidak berlanjut karena PGN tidak bisa menyerap gas tersebut. Padahal, PGN sebelumnya telah memberikan uang muka senilai 15 juta dolar AS.
"Pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas (PJBG) sebesar 15 juta oleh PGN kepada PT IAE tidak didukung dengan mitigasi risiko memadai," seperti dikutip Monitorindonesia.com dari laporan BPK, Jumat (29/11/2024).
Tak hanya itu, ada beberapa kejanggalan yang ditemukan BPK adalah bahwa pemberian uang muka dan perjanjian tersebut disepakati tanpa mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis.
Lalu, BPK juga menilai transaksi tersebut tidak didukung dengan jaminan yang memadai, di mana dokumen Parent Company Guarantee tidak dieksekusi oleh PGN dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG (Banten Inti Gasindo) senilai Rp16,79 miliar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai uang muka yang diberikan.
Selanjutnya, BPK menilai transaksi tersebut tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat. "Karena pembelian gas kepada PT IAE yang bukan produsen gas," lanjut BPK dalam laporannya.
Terakhir, transaksi tersebut tidak melalui analisis keuangan dan due dilligence yang memadai, yang ditunjukkan dengan nilai current liability PT IAE lebih besar dibandingkan current assetnya. "Akibatnya, sisa uang muka sebesar 14,19 juta dolar AS berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan," tulis BPK.
Atas temuan permasalahan tersebut, sebelumnya BPK RI telah merekomendasikan Direksi PT PGN untuk mengoptimalkan pemulihan piutang uang muka kepada PT IAE sebesar 14,19 juta dolar AS.
Selain itu, BPK juga meminta PGN untuk berkoordinasi dengan Direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum (APH).
Di sisi lain BPK menganggap manajemen PGN tidak mematuhi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.
Peraturan Menteri tersebut memuat larangan penjualan gas bertingkat. Penjual gas kepada konsumen akhir seperti PGN tidak boleh membeli gas dari pedagang atau pihak ketiga yang tidak memiliki infrastruktur (broker).
PGN seharusnya membeli langsung dari perusahaan pengelola ladang gas. Manajemen PGN seharusnya mempertimbangkan ketika hendak melakukan transaksi dengan PT Isar Gas yang tidak mengelola ladang gas.
Tindakan KPK
KPK yang menindaklanjuti laporan BPK itu dengan mencegah 2 orang untuk berpergian ke luar negeri selama 6 (enam) bulan, yaitu Danny Praditya (eks Direktur Komersial PGN) dan Iswan Ibrahim (eks Direktur Utama PT Isar Gas).
Lalu KPK telah menggeledah Kantor Pusat PT IAE di Jakarta, Kantor Pusat PT Isar Gas di Jakarta, Kantor Pusat PGN di Jakarta, rumah pribadi tersangka inisial DP di Tangerang Selatan dan Pasar Minggu, rumah pribadi tersangka inisial II di Kota Bekasi, dan kantor cabang PT IAE di Gresik, Jawa Timur.
Hasil yang diperoleh, yaitu dokumen terkait transaksi jual beli gas, dokumen kontrak, dan mutasi rekening bank.
Berdasarkan informasi, Danny Praditya dan Iswan Ibrahim sebagai tersangka dalam kasus ini. Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik 79/DIK.00/01/05/2024 tanggal 17 Mei 2024. Serta, Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik 80/DIK.00/01/05/2024 tanggal 17 Mei 2024.
Soal kapan tersangka akan diperiksa dan ditahan, pihak KPK belum memberikan informasi. "Belum ada info dari penyidik.Pemanggilan saksi/tersangka bergantung kepada kebutuhan Penyidik dalam rangka pemenuhan unsur perkara yang sedang ditangani," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com.
Catatan Monitorindonesia.com, bahwa Danny Praditya pada sebelumnya telah dipanggil KPK untuk diperiksa pada Senin (30/9/2024) lalu, namun mangkir dan meminta pemeriksaan ulang pada 14 Oktober 2024 lalu.
"Tidak hadir. Yang bersangkutan minta reschedule tanggal14 Oktober karena sedang sakit," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika kepada Monitorindonesia.com, Senin malam.
Danny seharusnya diperiksa bersama Direktur Keuangan PT PGN tahun 2017 Nusantara Suyono (ND), Group Head Accounting and Tax PT PGN, Tbk Chandra Simarmata (CS), dan Group Head Corporate Finance, PT PGN, Tbk Syahril Malik (SM).
Topik:
KPK PGN Isargas BPK Danny Praditya Iswan Ibarhim Korupsi PGN Iswan Ibrahim Tersangka Korupsi PGN