Penanganan Kasus Harun Masiku Bertele-tele

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Desember 2024 16:12 WIB
Kelanjutan proses penyidikan dan penangkapan kasus Harun Masiku akan bersifat hanya gimik jika KPK tidak berani mencatut elite politik yang membekingi Harun Masiku (Foto: Dok MI)
Kelanjutan proses penyidikan dan penangkapan kasus Harun Masiku akan bersifat hanya gimik jika KPK tidak berani mencatut elite politik yang membekingi Harun Masiku (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK masih melacak keberadaan Harun Masiku yang berstatus  tersangka kasus suap kepada komisioner KPU, Wahyu Setiawan. 

Harun Masiku merupakan calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan dalam Pemilu 2019 untuk daerah pemilihan I Sumatera Selatan. Hasil gelaran Pemilu 2019 menempatkan Harun di posisi keenam. Harun kalah jauh dari Nazarudin Kiemas, yang merupakan adik almarhum Taufiq Kiemas.

Sebelum anggota legislatif hasil Pemilu 2019 dilantik, Nazarudin meninggal dunia karena sakit. Di atas kertas, Riezky Aprilia yang seharusnya menggantikan Nazarudin. Sebab, dia menempati urutan kedua dalam perolehan suara Pemilu legislatif.

Akan tetapi, nama Harun yang muncul menggantikan. Belakangan terbongkar bahwa, Harun diduga menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan demi bisa lolos ke parlemen. 

Bukan cuma Wahyu, dugaan suap Harun melibatkan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina, dan bekas staf Hasto Kristiyanto, Saeful Bahri. 

Adapun Wahyu divonis hukuman 7 tahun penjara dan kini bebas bersyarat, sedangkan Agustiani dihukum 4 tahun kurungan. Agustiani Tio Fridelina dibui 4 tahun dan Saeful Bahri dihukum penjara 1 tahun 8 bulan.

Baru-baru ini, KPK merilis ulang Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Harun Masiku pada awal Desember 2024. Dalam surat DPO itu dimuat keterangan lengkap Harun seperti foto diri, hingga ciri-ciri Harun Masiku. 

Sebelum merilis surat DPO itu, KPK telah menerbitkan surat penangkapan pada akhir Oktober 2024. Setahun sebelumnya, komisi antirasuah mengeluarkan Sprindik yang merupakan pembaruan surat pertama kali yang terbit pada Januari 2020.

Orang PDIP, Hasto Kristiyanto dan Yasonna H Laoly sempat diperiksa KPK dalam kasus ini.

Terkait kasus ini Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas berharap penuh kepada pimpinan KPK yang baru yang diketuai oleh Setyo Budiyanto.

Hasbiallah mengatakan rakyat mengharapkan KPK yang lebih profesional untuk periode yang baru. Namun ia menegaskan selain kasus Harun Masiku, KPK harus menangani kasus lain yang masih belum selesai.  

"Saya kira kinerja KPK bukan hanya Harun Masiku (ditangkap) secara umum. Ketua KPK yang akan datang harapan kita di Komisi III dan harapan masyarakat Indonesia lebih profesional dan lebih bagus ke depannya," kata Hasbiallah kepada wartawan, dikutip pada Minggu (21/12/2024).

Menurut dia, selama ini KPK tak tinggal diam soal pencarian Harun Masiku. Dia menghormati kinerja KPK yang selama ini terus bekerja untuk mencari keberadaan Harun Masiku.

Dia yakin bila KPK tidak akan tinggal diam dengan kasus ini. “Kita hormati kerja KPK ini. Kita sudah lihat statement KPK, bahwa memang mencari orang itu tidak mudah," jelas politikus PKB itu. 

Hasbiallah juga yakin bahwa ke depannya KPK tidak lepas tangan untuk menangkap buron. Dia berharap tak ada buron yang lepas dari tangkapan KPK.  

“KPK sudah maksimal menurut saya, tidak ada yang lepas dari KPK itu, biasanya nggak ada," katanya.

Sementara itu eks penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengungkap alasan lambannya penanganan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku. Dia menilai kasis ini terlampau berbelit. Katanya, ini karena ada hambatan dalam internal dan eksternal KPK untuk segera menangkap Harun Masiku. 

Di sisi internal, ada ketidakjelasan sikap pimpinan KPK semasa Firli Bahuri. "Penyidik saat itu sudah dalam jangkauan untuk menangkap Harun Masiku di sekitar PTIK, tapi kan ada hambatan yang membuat sasaran melarikan," kata Yudi, Kamis (19/12/2024).

"Secara otomatis pihak yang disasar sudah tahu bakal terjaring karena ada ribut-ribut penyidik KPK bersitegang dengan kepolisian saat itu. Tidak habis pikir dengan sikap pimpinan (KPK) saat itu yang tidak segera menyelesaikan masalah di PTIK itu," katanya.

Dari informasi yang didengar Yudi pula, posisi teranyar Harun Masiku sempat dilacak di salah satu bandara di Sulawesi pada awal 2024. Jika merujuk lokasi bandara, keluarga besar Harun Masiku berada di Sulawesi Selatan. 

"Info ini berasal dari informan di bandara tersebut yang kemudian diverifikasi sesuai dengan yang bersangkutan," ungkapnya.

Namun, bagi Yudi, kelanjutan proses penyidikan dan penangkapan kasus Harun Masiku akan bersifat hanya gimik jika KPK tidak berani mencatut elite politik yang membekingi Harun. 

Gejala yang cukup kentara adalah saat KPK menemukan mobil milik Harun Masiku yang terparkir di salah satu apartemen di Jakarta pada Juni 2024. Mobil itu diklaim KPK sudah terparkir sejak dua tahun lalu. 

Sedangkan, kasus Harun Masiku sudah bergulir sejak empat tahun lalu. “Jarak penemuan mobil milik Harun Masiku dari kasusnya telampau jauh. Artinya yang bersangkutan bebas kesana-kesini. Kalau tidak ada beking politik yang kuat, akan susah bebas seperti itu,” cetusnya.

Sementara itu, Perkumpulan Masyarakat Anti korupsi Indonesia (MAKI) menilai, ada unsur kesengajaan membiarkan kasus ini berlarut-larut. Padahal, penyidik KPK memiliki opsi untuk melanjutkan kasus ini ke penuntutan secara in absentia. 

Kesal dengan fakta ini, MAKI pun melayangkan gugatan praperadilan. Gugatan yang dilayang pada Selasa (17/12/2024) ini merupakan gugatan praperadilan kedua untuk perkara yang sama, gugatan pertama dilayangkan pada Januari 2024.  

Gugatan ini hampir sama dengan gugatan pertama yaitu meminta KPK melakukan sidang in absentia (sidang tanpa kehadiran Terdakwa) dalam menuntaskan kasus Harun Masiku.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan pihaknya jengkel atas mangkraknya kasus Harun Masiku. MAKI telah ajukan gugatan praperadilan pertama pada Januari 2024. “Namun hingga saat ini belum tertangkap dengan berbagai drama oleh KPK,” ujar Boyamin Saiman, Koordinator MAKI, kepada Monitorindonesia.com, Selasa (17/12/2024).

Menurut Boyamin, dalam gugatan kali ini, dia menambahkan sejumlah materi baru, yurisprudensi dalam kasus asuransi maka berpatokan waktu 2 tahun apabila nasabah menghilang ( poin 11 ). Ketentuan Pasal 40 Undang2 nmr 19 tahun 2019 tentang revisi UU KPK dimana KPK boleh hentikan penyidikan perkara apabila telah lewat waktu 2 tahun.

Sementara itu, dalam gugatannya, MAKI juga menyatakan waktu berjalan hampir 5 tahun sejak Harun Masiku ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Dalam kurun waktu tersebut, tidak ditemukan lagi adanya perkembangan yang signifikan terhadap penuntasan dan/atau penyelesaian perkara. Oleh MAKI, hal ini diduga merupakan bentuk penghentian penyidikan secara diam-diam yang dilakukan oleh KPK.

Boyamin menambahkan, padahal sekalipun Harun Masiku belum ditemukan, peenyidik seharusnya melakukan pelimpahan berkas penyidikan kepada JPU pada KPK. 

“Agar dapat segera dilakukan sidang in absentia sehingga perkara dapat dituntaskan melalui persidangan dan terdapat kepastian hukum melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),” bebernya.

Berlarut-larutnya poenanganan kasus Harun Masiku ini akhirnya lebih meguatkan sisi politis dibanding penegakan hukum. Adanya irisan kasus ini dengan Sekjen Partai PDI Perjuangan Hasto kristioyanto membuat penanganan kasus ini sensitif ke partai ini. 

Apalagi, wacanan penanganan kasus ini kerap berdekatan dengan momentum politik. Sementara kasusnya tak kunjung usai.

Tampaknya, usulan MAKI untuk melakukan penanganan in absentia terhadap kasus ini layak dipertimbangkan. Beleid ini bukannya tidak pernah dijalankan. Selain legitimate, pengadilan in absentia akan membongkar kebuntuan dalam penanganan kasus ini. 

Jika KPK masih juga keberatan dan kesulitan untuk melaksanakannya, lebih baik KPK mainkan saja kewenangan KPK hasil revisi. Dalam UU KPK hasil revisi, terhadap kasus yang telah ditangani selama dua tahun tanpa perkembangan, dapat diajukan penghentian penyidikan perkara (SP3).

Di mana Harun Masiku bersembunyi?

9 Januari 2020
KPK menetapkan empat orang tersangka, termasuk Harun Masiku sebagai pemberi suap dalam kasus korupsi di KPU. Keberadaan Harun tidak diketahui.

13 Januari 2020
Ditjen Imigrasi Kemenkumham menyampaikan Harun keluar dari Indonesia ke Singapura pada 6 Januari 2020. Dia telah masuk DPO yang ditindaklanjuti dengan permohonan bantuan ke Interpol untuk memulangkan Harun dari luar negeri.

16 Januari 2020
Menkumham Yasonna Laoly menyatakan Harun masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020.

22 Januari 2020
Ditjen Imigrasi Kemenkumham menyatakan Harun telah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020.

28 Januari 2020
Dirjen Imigrasi, Ronny F Sompie diberhentikan buntut kejanggalan informasi keberadaan Harun Masiku. Ada yang menyebut dia berada di luar negeri yakni Malaysia dan Kamboja.

Agustus 2023
Kepala Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri, Inspektur Jenderal Krisna Murti, menyebut Harun masih berada di Indonesia merujuk pada data lintas negara yang ditemukan.

Meski sempat pergi ke Singapura pada 16 Januari 2020 atau dua pekan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tapi dia disebut kembali ke Indonesia keesokan harinya.

Krisna juga mengatakan politikus PDI Perjuangan tersebut belum berganti kewarganegaraan atau identitas setelah menjadi buronan Interpol.

Diduga Harun berpindah-pindah lokasi persembunyian. Beberapa tempat yang diduga pernah ditempati Harun adalah apartemen di Makassar; sebuah rumah di Depok, Jawa Barat; dan perumahan mewah di Tangerang, Banten.

Topik:

KPK Harun Masiku PDIP