Mengendus Dugaan Pencucian Uang di Balik Penerbitan Sertifikat Laut Tangerang

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Januari 2025 20:35 WIB
Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang saat dibongkar TNI AL (Foto: Dok MI)
Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang saat dibongkar TNI AL (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Ahli hukum pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf menegaskan bahwa sudah jelas ada unsur pidana dalam kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Tangerang, Banten. Kehadiran pagar laut tersebut sebelumnya diklaim dipasang oleh Jaringan Rakyat Pantura melalui swadaya masyarakat.

Pihak yang menerbitkan sertifikat selain sudah menipu, juga memanipulasi ruang publik. Menteri ATR/BPN yang menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut itu harus dipidanakan. Yakni pidananya penyerobotan ruang, penipuan dan korupsi penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.

Hudi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (29/1/2025) malam, menegaskan bahwa dalam kepemilikan laut di dunia ada asas res nullius dan res communis, res nullius artinya laut tidak ada yang memiliki dan setiap negara dapat memiliki untuk dimanfaatkan apabila negara itu yang memanfaatkan atau penemu pertama terkait laut tersebut, bukan untuk perorangan atau korporasi.

"Res communis adalah laut tidak ada yang memiliki maka siapa pun tidak dapat memiliki laut dan dapat dimanfaatkan oleh semua," katanya.

Berdasarkan asas res nullius laut Indonesia sudah dikuasai oleh negara sejak Indonesia lepas dari penjajahan, laut milik negara dan digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara secara bersama-sama.

"Sehingga di laut tidak boleh hak eksklusif dengan diterbitkan HGB atau SHM untuk korporasi atau perorangan, laut milik seluruh rakyat Indonesia, merampas  hak rakyat berarti melanggar konstitusi negara," tegasnya.

Jika ada yang ingin investasi bukan menggunakan laut tetapi daerah batas pantai, apalagi menghalangi mencari nafkah nelayan, menggunakan laut harus di pikirkan secara komprehensif agar tidak melanggar hukum negara karena laut milik rakyat. "Hukum internasional terkait batas laut dan tidak melanggar HAM terkait hak hidup dan kehidupan masyarakat pantai dalam mata pencaharian sebagai nelayan atau petani tambak di pantai," jelasnya.

Hudi Yusuf
Pakar Hukum Pidana, Hudi Yusuf (Foto: Dok MI)

Jika ada yang melanggar banyak aturan hukum, lanjut Hudi, negara harus tegas dan bela kepentingan rakyat bukan segelintir orang. "Aparat penegak hukum harus menyelidiki aturan apa saja yang dilanggar terkait aturan sudah disampaikan oleh bapak menteri saya tidak mengulangi lagi yang saya khawatir jika pencucian uang dalam proyek itu," bebernya.

"Misalnya kita ambil contoh yang mudah, apabila dana kampanye didanai oleh pengusaha hitam maka penguasa yang diberikan sponsor oleh pengusaha hitam apabila terpilih memiliki kewajiban mengembalikan dana tersebut dengan cara memberikan proyek-proyek yang dapat melunasi biaya sponsor plus keuntungannya," lanjutnya.

Sehingga, tambah dia, semua yang dilakukan pasti melanggar banyak aturan itu contoh sederhana, begitu juga jika ada kepentingan lain selain kampanye, namanya juga pencucian uang jadi uang yang dicuci itu adalah hasil kejahatan dan pastinya ada pidana awalnya

"Walau pencucian tidak perlu membuktikan pidana awalnya karena dapat berdiri sendiri, dengan dugaan melanggar banyak aturan jika terbukti maka hukumannya tidak cukup 12 tahun," katanya.

Apalagi jika perbuatan itu bila dilakukan berulang maka hukuman terberat dapat dilakukan, banyak contoh koruptor-koruptor yang di hukum berat di luar negeri walau jumlahnya tidak fantastis. 

"Saya berharap jika bangsa ini ingin maju seyogyanya penguasa terpilih tidak dapat di "kendalikan" oleh penguasa hitam, jadilah pilihan rakyat sejati dan bekerja untuk kepentingan rakyat buatlah regulasi populis bukan elitis," harapnya.

Diketahui, bahwa hingga saat ini, asal-usul Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pagar laut di Tangerang, Banten, masih menjadi misteri. Pasalnya, pemerintah masih belum mengungkap soal proses penerbitan SHGB tersebut.

Menurut kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, penerbitan SHGB tersebut sudah sesuai proses dan prosedur. Selain itu, Muanas mengklaim kliennya telah mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR).

“Kami beli dari rakyat (berstatus sertifikat hak milik/SHM) dan dibalik nama resmi, bayar pajak dan ada SK surat izin lokasi/PKKPR,” katanya, Kamis (23/1/2025).

Dokumen yang ada memperlihatkan setidaknya 243 SHGB diterbitkan saat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjabat sebagai menteri agraria dan tata ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 2024.

Semua SHGB tersebut berada di Desa Kohod, Pakuhaji, Tangerang. Adapun luas lahan yang diurus menjadi SHGB terpecah dalam berbagai ukuran di bawah 2 hektare. Dalam dokumen tersebut tertera penerbitan SHGB paling awal dilakukan pada 14 Maret 2024. Adapun SHBG paling akhir dikeluarkan pada 11 September 2024.

Namun demikian, AHY yang kini menjabat menteri koordinator bidang infrastruktur dan pembangunan kewilayahan mengaku tak tahu-menahu soal penerbitan SHGB perairan di laut Tangerang yang dibatasi pagar bambu.

Ketua umum Partai Demokrat itu menjabat sebagai menteri ATR/BPN sejak 21 Februari 2024 hingga berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2024.

"Saya tidak tahu dan tentunya ini sudah terjadi sebelumnya untuk yang HGB itu, kan, 2023 dan sekali lagi karena itu sudah keluar. Saya masuk (ke kabinet Presiden Jokowi), kan, 2024," kata AHY di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

Topik:

Pagar Laut