Penerima Manfaat PT TIN Hendry Lie Didakwa Rugikan Negara Rp 300 T, Maria Tiurma Kapan Digarap Kejagung?


Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi timah terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Sementara pemeriksaan saksi di Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tak nyaring lagi.
Namun dalam perkembangannya, Kejagung menetapkan 5 tersangka korporasi yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
PT RBT membuat kerugian negara sekira Rp38,5 triliun; PT SBS sebesar Rp23,6 triliun; dan PT SIP senilai Rp24,3 triliun. Kemudian, CV VIP sekira Rp42 triliun dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun.
Sementara di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jaksa Penuntut Umum (JPU) baru saja mendakwa beneficial owner atau penerima manfaat PT Tinindo Internusa (PT TIN), Hendry Lie, ikut merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah. "Merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp 300 triliun)," kata JPU dalan sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (30/1/2025).
Jaksa mengatakan, angka tersebut berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap dugaan tindak korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.
Laporan audit BPKP ihwal kerugian negara tersebut terbit pada 28 Mei 2024. JPU menyebut, Hendry Lie memerintahkan General Manager PT TIN Rosalina dan Marketing PT Tin Fandy Lingga untuk membuat dan menandatangani surat penawaran PT Tinindo Internusa berwarkat 3 Agustus 2018.
Surat itu mengenai Penawaran Kerja Sama Sewa Alat Processing Timah kepada PT Timah bersama smelter swasta lain, yakni PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa. Adapun format surat penawaran kerja sama sudah dibuatkan oleh PT Timah.
JPU melanjutkan, Hendry Lie melalui Rosalina maupun Fandy Lingga juga mengetahui dan menyepakati tindakan Harvey Moeis dan smelter swasta lain untuk bernegosiasi dengan PT Timah tentang sewa smelter swasta.
Sehingga, disepakati harga sewa smelter tanpa didahului studi kelayakan atau kajian mendalam.
Hendry Lie juga disebut mengetahui dan menyetujui tindakan Harvey Moeis bersama petinggi smelter swasta untuk kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah dengan PT Timah.
Kerja sama ini tidak ada dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) PT Timah dan lima smelter beserta perusahaan afiliasinya.
Hendry Lie melalui Rosalina maupun Fandy Lingga bersama-sama Harvey Moeis, serta petinggi PT Timah Mochtar Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan Alwin Albar menyepakati harga sewa peralatan processing penglogaman dengan kajian dibuat tanggal mundur.
Harga yang disepakati adalah US$ 4.000 per ton untuk PT Refined Bangka Tin dan US$ 3.700 per ton untuk empat smelter lain.
"Sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah, berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan," ucap jaksa.
Hendry Lie bersama-sama Fandy Lingga dan Rosalina melalui PT Tinindo Internusa juga disebut menerima pembayaran atas kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah dari PT Timah. Menurut jaksa, Hendry mengetahui pembayaran tersebut terdapat kemahalan harga.
Selain itu, jaksa menyebut Hendry Lie melalui Rosalina dan Fandy Lingga menyetujui permintaan Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan sebesar US$ 500-750 per ton.
Uang itu diberikan kepada Harvey Moeis, yang seolah-olah dicatat sebagai dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dari smelter swasta.
Hendry Lie juga disebut mengetahui dan menyetujui tindakan Harvey Moeis menerima biaya pengamanan. Penerimaan melalui bantuan Helena selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange
Jaksa melanjutkan, Hendry Lie juga memerintahkan Fandy Lingga hadir dalam pertemuan di Hotel Novotel Pangkal Pinang dengan Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi, Direktur Operasional PT Timah Alwil Albar, dan 27 pemilik smelter swasta.
Persamuhan itu membahas permintaan Mochtar Riza dan Alwin Albar atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter-smelter swasta. Sebab, bijih timah itu bersumber dari penambangan di wilayah IUP PT Timah.
Selanjutnya, Hendry Lie juga disebut mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang. Yakni, CV Bukit Persadaraya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa.
Pembentukan sejumlah CV itu sebagai mitra jasa borongan yang akan diberikan surat perintah kerja atau SPK pengangkutan oleh PT Timah untuk membeli dan/atau mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal dari wilayah IUP perusahaan pelat merah itu.
Kemudian, bijih timah itu dijual kepada PT Timah sebagai tindak lanjut kerja sama sewa peralatan processing antara perusahaan tersebut dengan PT Tinindo Internusa.
Hendry Lie bersama-sama Fandy Lingga dan Rosalina melalui PT Tinindo Internusa dan perusahaan cangkang afiliasi telah membeli dan/atau mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Dia juga disebut menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah yang berasal dari penambangan ilegal.
Atas perbuatannya, Hendry Lie didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Masih banyak yang belum tersentuh Kejagung
Kejagung belum sentuh pemilik manfaat lainnya diantara 5 korporasi yang telah tersangka sebagaimana disebutkan di atas itu. Salah satunya adalah
pemilik manfaat PT Refined Bangka Tin (RBT).
PT RBT merupakan perusahaan yang telah disita Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung bersama Tim Badan Pemulihan Aset Kejaksaan RI dengan tersangka Suparta dan Harvey Moeis.
Namun, hingga saat ini Maria tak tersentuh juga penyidik gedung bundar Jampidsus Kejagung itu. Padahal, nama Maria Tiurma ditemukan dalam dokumen resmi Administrasi Hukum Umum (AHU) milik Kementerian Hukum dan HAM.
Di sana nama Maria Tiurma tercatat sebagai salah satu penerima manfaat atau benefit official ownership, dengan alamat korespondensi di Kawasan Industri Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kep. Bangka Belitung.
Di dalam dokumen AHU MT tercatat sebagai penerima manfaat dengan kriteria:
B. Memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar.
C. Menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun.
Selain Maria Tiurma, tercatat nama-nama lain seperti Tamron, Shantou Maria Investment CO LTD, Shantou Jinjia Trading CO LTD, dan Willem Mathias Natigor Kalaij. Adapun data ini merupakan hasil isian data oleh Pelapor dan Ditjen AHU tidak melakukan verifikasi terhadap data yang disampaikan.
Dari sekian nama pemilik manfaat yang tertulis dalam dokumen tersebut, hanya Tamron alias Baon yang sudah dijerat. Mengapa? Tentunya ini juga merupakan ranah penyidik Jampidsus Kejagung.
Untuk memastikan kebenaran identitas Maria Tiurma, konfirmasi langsung dari pihak terkait atau dari Maria Tiurma sendiri masih belum terkonfirmasi.
Spekulasi tentang siapa sebenarnya Maria Tiurma dan peran serta dalam berbagai perusahaan terus menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Topik:
Kejagung Korupsi Timah Hendry Lie Maria TiurmaBerita Selanjutnya
KPK Perlu Usut Mobil Dinas Sekjen Kemensos Rp 1,6 Miliar
Berita Terkait

Terima Rp 500 Juta Hasil Barang Bukti yang Ditilap, Jaksa Iwan Ginting Dicopot
9 jam yang lalu

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
20 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB