Menelisik Dugaan Korupsi Kredit Fiktif PT Sinergi Gula Nasional senilai 66,9 Miliar

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 8 Februari 2025 03:01 WIB
Sekretaris IAW Iskandar Sitorus
Sekretaris IAW Iskandar Sitorus

Jakarta, MI - Enam petani tebu melaporkan dugaan kredit fiktif senilai Rp66,9 miliar pada tahun 2024 di lingkungan Pabrik Gula Djatiroto (PG Djatiroto) ke Kejaksaan Negeri Lumajang, Jawa Timur.  Dalam laporannnya, dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) Tebu ini diserap oleh kelompok petani yang diorganisir oleh sejumlah orang yakni DA (Rp24 miliar), RS (Rp18 miliar), VDN (Rp16 miliar), dan sisanya melibatkan anggota DPRD Lumajang.

Kasus serupa diduga terjadi juga pada tahun 2021, 2022, dan 2023. Kasus ini mengungkap penyalahgunaan fasilitas perbankan, manipulasi data, dan kelemahan tata kelola di BUMN. Bahkan, diduga skandal serupa terjadi di berbagai daerah lain.

Pelanggaran Hukum Bisnis dalam Skandal KUR Tebu menurut bos Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus harus dilihat dari perspektif hukum bisnis, karena menyangkut pelanggaran dalam berbagai aspek. 

1. Pelanggaran Kontrak Kemitraan
Perjanjian antara petani dan PG Djatiroto seharusnya mengacu pada SK Mentan No. 5/SK/Mentan/Bimas/IV/1990 terkait mekanisme bagi hasil rendemen tebu.
Jika terjadi manipulasi rendemen untuk keuntungan broker, hal ini melanggar prinsip keadilan bisnis dan transparansi kontrak.
Petani yang dirugikan berhak menggugat PG Djatiroto secara perdata.

2. Penyalahgunaan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Penggunaan dokumen kepemilikan lahan fiktif dalam pencairan KUR melanggar prinsip kehati-hatian perbankan.
Jika terbukti ada konspirasi antara PG Djatiroto, maka ini bisa dikategorikan sebagai persekongkolan bisnis yang merugikan petani lain.
Melanggar UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3. Pelanggaran Hukum Perbankan
Kasus ini juga menunjukkan penyimpangan serius dalam sistem perbankan, khususnya dalam penerapan prinsip kehati-hatian, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Sejulah indikasi pelanggaran dalam perbankan:

Kelalaian dalam Verifikasi Kredit
Jika bank tidak melakukan verifikasi dengan benar, ini melanggar Pasal 8 UU Perbankan, yang mewajibkan analisis kelayakan kredit sebelum pencairan dana.
Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat Bank
Jika ada pejabat bank yang mempermudah pencairan KUR fiktif, mereka bisa dijerat dengan Pasal 49 Ayat (2) UU Perbankan, yang mengatur sanksi pidana bagi tindakan yang merugikan bank.
Pelanggaran Prinsip KYC (Know Your Customer)
Bank seharusnya melakukan due diligence terhadap debitur, termasuk verifikasi kepemilikan lahan, sebelum pencairan KUR.
Jika diabaikan, bank bisa dikenai sanksi administratif dan pidana, sesuai dengan Peraturan OJK No. 42/POJK.03/2017 tentang Manajemen Risiko Bank Umum.

Fraud dalam Skandal KUR Tebu
Kasus ini mengandung unsur fraud yang dapat dikategorikan sebagai berbagai bentuk kejahatan:

Kredit Fiktif
Penggunaan identitas palsu dan dokumen lahan fiktif untuk mendapatkan KUR.
Melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan ancaman hukuman pidana.
Manipulasi Rendemen dan GPS Palsu
Penggunaan GPS palsu untuk mengklaim subsidi angkutan lebih besar.
Penerbitan Nomor Petak Afdeling Fiktif
Tujuannya adalah keuntungan bagi broker tebu, yang melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.

Dugaan Tindak Pidana Korupsi
Jika penyelidikan membuktikan keterlibatan pejabat BUMN atau instansi pemerintah, kasus ini bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Iskandar mengatakan, sejulah pasal yang bisa dikenakan terhadap pelaku dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU Tipikor Jika pencairan KUR fiktif menyebabkan kerugian negara, pelaku bisa dihukum minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
Pasal 3 UU Tipikor, jika pejabat PG Djatiroto menyalahgunakan kewenangan dalam pencairan KUR, ancaman hukuman 1 hingga 20 tahun penjara.

Pasal 12 UU Tipikor: Jika terbukti ada suap atau gratifikasi dari broker kepada pejabat bank atau BUMN, maka itu masuk kategori tindak pidana korupsi.
Rekomendasi dan Langkah Hukum

Menurut Iskandar , kasus ini harus diselidiki oleh KPK, Kejaksaan, dan OJK secara bersamaan, mengingat modus serupa mungkin terjadi di wilayah lain. Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan:

Selain itu, BPK harus mengaudit keuangan BUMN untuk mencegah kebocoran dana. Meningkatkan digitalisasi sektor perbankan dan pertanian guna mencegah manipulasi data dan pemalsuan GPS. Menurutnya, kasus KUR fiktif di PG Djatiroto membuktikan lemahnya pengawasan dalam tata kelola BUMN dan perbankan.

Reformasi sistem pengawasan dan penegakan hukum harus segera dilakukan agar ke depan tidak ada lagi petani tebu yang menjadi korban. Kasus ini bukan sekadar skandal keuangan, tetapi juga alarm bagi tata kelola perbankan dan BUMN di Indonesia. Sementara PT Sinergi Gula Nasional belum bisa dikonfirmasi atas informasi ini.[Lin] 

Topik:

Pabrik Gula Djatiroto Kredit Fiktif