Korupsi Jiwasraya Tak Ada Habisnya, Teranyar Fraud Dana Pensiun Rp 257 Miliar

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Februari 2025 01:00 WIB
PT Asuransi Jiwasraya (Foto: Dok MI)
PT Asuransi Jiwasraya (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (PT AJS) ternyata belum selesai alias tak ada habisnya. Ini usai pengusutan pihak berwajib pada beberapa tahun lalu, bahwa Jiwasraya terlilit kasus mega korupsi yang menyangkut Benny Tjokrosaputro (Bentjok). 

Pada 2021, Bentjok divonis penjara seumur hidup karena terbukti melakukan salah pengelolaan dana investasi dari produk JS Saving Plan dengan kerugian negara mencapai Rp16 triliun.

Secara sederhana, dalam kasus Jiwasraya, modus yang dilakukan Heru dan komplotannya adalah dengan manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan, tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi. Heru-Bentjok dkk pun melakukan aksi manipulasi saham tersebut menggunakan uang yang berasal dari Jiwasraya.

Pada tahun 2024 kemarin, Jiwasraya mencatatkan insolvency mencapai Rp 2,769 triliun akibat cadangan yang lebih kecil dari seharusnya. Sementara pada tahun 2006-2007, ekuitas Jiwasraya tercatat negatif sebesar Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban.

Laporan keuangan perusahaan tersebut kemudian mendapatkan opini disclaimer dari BPK untuk tahun 2006 dan 2007 karena ketidakpastian informasi cadangan. 

Defisit semakin membengkak pada tahun 2008 hingga mencapai Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun di 2009, yang memaksa perusahaan melakukan langkah penyelamatan melalui skema re-asuransi.

Pada tahun 2015, hasil audit BPK menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pelaporan aset investasi keuangan. Singkat cerita karena tak kunjung membaik, pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya secara resmi mengumumkan ketidakmampuannya membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.

Pada tahun 2019, Jiwasraya mengumumkan ekuitas negatif sebesar Rp 27,24 triliun. Kewajiban polis JS Saving Plan yang bermasalah tercatat mencapai Rp 15,75 triliun.

Nah, kasus di Jiwasraya itu ternyata masih diusut Kejaksaan Agung (Kejagung). Kali ini Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Isa Rachmatarwata (IR) berhasil diborgol tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung pada hari ini, Jumat (7/2/2025).

Bahwa kasus itu bermula kala perusahaan asuransi pelat merah itu dinyatakan dalam kondisi insolvent atau kategori tidak sehat oleh Pemerintah pada Maret 2009. 

"Di mana pada posisi tanggal 31 Desember 2008 terdapat kekurangan penghitungan dan pencadangan kewajiban Perusahaan kepada pemegang polis sebesar Rp5,7 triliun," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers, Jumat malam.

Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN saat itu mengusulkan upaya penyehatan kepada Menteri Keuangan dengan penambahan modal sebesar Rp6 triliun dalam bentuk Zero Coupon Bond dan Kas untuk mencapai tingkat solvabilitas. 

Namun usulan penyehatan tersebut tidak disetujui karena tingkat RBC PT AJS sudah mencapai -580%. 

"Untuk mengatasi kondisi keuangan PT AJS tersebut pada awal tahun 2009, Direksi PT AJS antara lain terpidana Hendrisman Rahim, terpidana Hary Prasetyo dan terpidana Syahmirwan melakukan pembahasan kondisi keuangan PT AJS tersebut yang antara lain membahas tentang rencana restrukturisasi PT AJS," kata Abdul. 

Hal itu bertujuan untuk memenuhi restrukturisasi bisnis asuransi jiwa PT AJS sebagai akibat adanya kerugian pada tahun-tahun sebelum 2008 dari bisnis produk-produk asuransi PT AJS yakni adanya ketimpangan antara asset dan liability minus sebesar Rp5,7 triliun. 

"Untuk menutupi kerugian PT AJS tersebut, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan membuat produk JS Saving Plan yang mengandung unsur investasi dengan bunga tinggi antara 9%-13%," beber Abdul Qohar.

Padahal, tanbah dia, nilai itu di atas suku bunga rata-rata Bank Indonesia saat itu yakni sebesar 7,50%-8,75%). Rencana produk itu, diketahui dan disetujui Isa yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). 

"Atas dasar itu, produk tersebut mendapatkan persetujuan dari Bapepam-LK," jelasnya.

Setelah melalui beberapa pertemuan di Kantor Bapepam-LK antara PT AJS yang diwakili Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan dengan Tersangka Isa, membahas tentang pemasaran produk JS Saving Plan, kemudian Tersangka IR membuat surat yang berisi PT AJS memasarkan produk JS Saving Plan. 

"Yakni Surat Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Nomor: S.10214/BL/2009 tanggal 23 November 2009 tentang Pencatatan Produk Asuransi Baru Super Jiwasraya Plan," beber Abdul Qohar.

Kemudian Surat Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Nomor: S.1684/MK/10/2009 tanggal 23 November 2009 tentang Pencatatan Perjanjian Kerja Sama Pemasaran Produk Super Jiwasraya dengan PT ANZ Panin Bank.  Padahal Tersangka Ira tahu kondisi PT AJS saat itu dalam keadaan insolvensi. 

Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rahmatawarta
Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rahmatawarta (Foto: Dok MI)

Menurut Abdul Qohar, pemasaran produk Saving Plan dengan struktur bunga dan benefit yang tinggi kepada pemegang polis sangat membebani keuangan perusahaan karena tidak dapat diimbangi dengan hasil investasi. 

"Produk Saving Plan memberikan masa manfaat asuransi jiwa 5 tahun dengan periode investasi 1 tahun yang dapat diperpanjang atau dicairkan pada tahun kedua hingga tahun kelima," ungkapnya.

Kemudian produk Saving Plan memberikan garansi bunga pengembangan yang terlalu tinggi selama 1 tahun periode investasi. Produk itu, juga ada biaya berupa fee-based income bagi bank mitra yang melakukan penjualan produk Saving Plan. 

"Berdasarkan data pada general ledger premi yang diterima oleh PT AJS melalui program JS Saving Plan, total perolehan premi dan produk JS Saving Plan yang diterima oleh PT AJS periode 2014-2017 sebesar Rp47,8 triliun," katanya lebih jauh.

Selanjutnya dana yang diperoleh PT AJS yang diantaranya melalui Saving Plan tersebut dikelola oleh PT AJS dengan cara ditempatkan dalam bentuk investasi saham dan reksadana yang dalam pelaksanaannya investasi yang dilakukan tidak didasari prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Manajemen Risiko Investasi. 

"Di mana dari penelusuran transaksi investasi saham dan reksadana tersebut diketahui terdapat transaksi yang tidak wajar terhadap beberapa saham antara lain: IIKP, SMRU, TRAM, LCGP, MYRX, SMBR, BJBR, PPRO dan beberapa saham lainnya yang dilakukan baik secara langsung maupun melalui Manajer Investasi yang mengelola reksadana, sehingga transaksi tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan nilai portofolio aset investasi saham dan reksadana sehingga PT AJS mengalami kerugian," paparnya. 

Dari kegiatan itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan kerugian negara sebesar Rp16.807.283.375.000.  Hal itu didasari atas Laporan Hasil Pemeriksan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi PT AJS periode tahun 2008-2018 Nomor: 06/LHP/XXI/03/2020 tanggal 9 Maret 2020. 

Kejagung menjerat Isa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Vonis 6 tersangka

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada enam terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). 

Adalah mantan Direktur Utama Asuransi Jiwasraya (AJS) Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan AJS Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan AJS Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, telah dijatuhi vonis terlebih dahulu pada 12 Oktober 2020. 

Sedangkan, dua terdakwa lainnya yaitu Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, baru dijatuhi vonis oleh majelis hakim, Senin (26/10/2020). 

Keenamnya, mendapatkan vonis yang sama yaitu kurungan penjara seumur hidup. Hukuman yang diterima para terdakwa pun bervariasi, ada yang lebih berat dan ada yang sama seperti tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung sebelumnya. 

Berikut vonis lengkap terhadap para tersangka sebagaimana dirangkum Monitorindonesia.com:

1. Heru Hidayat
Vonis yang diterima Heru sama seperti tuntutan yang diajukan JPU yaitu penjara seumur hidup dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun penjara. Heru dinyatakan bersalah melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,807 triliun serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup,” kata Ketua Majelis Hakim Rosmina.

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua dari Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagai telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU dan dakwaan ketiga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. 

Selain menghukum penjara, Heru juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 10.728.783.375.000. 

“Dengan ketentuan jika dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti,” ucap Rosmina. 

Tindakan pidana yang dilakukan Heru dinyatakan sebagai sebuah perbuatan korupsi yang terorganisasi dengan baik, sehingga sulit untuk mengungkap perbuatannya. 

Selain itu, Heru disebut menggunakan pihak lain dalam jumlah banyak untuk menjadi nomine. Majelis hakim pun menilai, Heru tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya, sehingga sikap sopan dan status sebagai kepala keluarga terhapus.

2. Benny Tjokrosaputro
Vonis yang dijatuhkan kepada Benny juga sama seperti tuntutan yang diajukan oleh JPU, yaitu penjara seumur hidup dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun penjara. 

Selain itu, Benny juga dijatuhi pidana tambahan yaitu membayar uang pengganti sebesar Rp 6.078.500.000.000. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Rosmina. 

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua dari Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. 

Tindakan korupsi yang dilakukan Benny dianggap sebagai sebuah bentuk korupsi yang terorganisir dengan baik, sehingga sulit untuk mengungkap perbuatannya. 

Kemudian, majelis hakim mengungkapkan, Benny menggunakan pihak lain dalam jumlah banyak sebagai nominee dan bahkan menggunakan KTP palsu serta menggunakan perusahaan yang tidak memiliki kegiatan untuk menampung usahanya. 

3. Joko Hartono Tirto
Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Joko sama seperti tuntutan yang diajukan JPU, yaitu penjara seumur hidup dan pidana denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. 

“Mengadili, menyatakan terdakwa Joko Hartono Tirto secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan primer,” kata Ketua Majelis Hakim Rosmina.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup," sambungnya. Atas tindakannya itu, Joko dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Menurut majelis hakim, ada sejumlah hal yang memberatkan Joko. Misalnya, ia dianggap menggunakan cara-cara licik seolah ingin membebaskan Jiwasraya dari kebangkrutan, tetapi malah menyebabkan kerugian perseroan semakin besar. 

Perbuatan itu dilakukan Joko selama 10 tahun, hingga akhirnya terjadi pergantian direksi Jiwasraya. Selain itu, perbuatan Joko juga dinilai merusak dunia pasar modal, menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi, serta menyebabkan kerugian langsung terhadap masyarakat khususnya nasabah asuransi. 

4. Hendrisman Rahim 
Vonis yang diterima Hendrisman lebih berat dibandingkan tuntutan yang diajukan JPU. Dalam tuntutannya, JPU meminta majelis hakim mengganjar Hendrisman dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

"Mengadili, menyatakan terdakwa Hendrisman Rahim secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan primer," kata ketua majelis hakim Susanti Arwi Wibawani.

Hendrisman dinyatakan terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

5. Hary Prasetyo
Vonis yang diterima Hary sama seperti tuntutan yang diajukan JPU yaitu penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

"Mengadili, menyatakan terdakwa Hary Prasetyo secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan primer," kata ketua majelis hakim Susanti Arwi Wibawani.

Hary dinyatakan terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Dalam pertimbangan majelis hakim, hal yang memberatkan bagi Hary adalah telah menyebabkan kerugian negara senilai Rp16,807 triliun. 

Kemudian, perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah yang bebas korupsi, kolusi, nepotisme; serta bersifat terstruktur, sistematis dan masif terhadap asuransi Jiwasraya. 

6. Syahmirwan
Vonis yang dijatuhkan kepada Syahmirwan lebih tinggi daripada tuntutan yang diajukan JPU. Dalam tuntutannya, JPU meminta majelis hakim mengganjar Syahmirwan dengan hukuman 18 tahun penjara dan pidana denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

“Mengadili, menyatakan terdakwa Syahmirwan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan primer,” kata Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup," sambungnya. Baca juga: Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Divonis Penjara Seumur Hidup Vonis tersebut berdasarkan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Menurut majelis hakim, perbuatan yang dilakukan terdakwa telah menyebabkan negara mengalami kerugian Rp 16,807 triliun. Ia juga dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Majelis hakim menilai perbuatan terdakwa bersifat terstruktur, sistematis, dan masif terhadap asuransi Jiwasraya serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan asuransi dan pasar modal. Terakhir, Syahmirwan dinilai tidak merasa bersalah maupun menyesal.

Fraud DPPK

Direktur Operasional dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Lutfi Rizal mengungkap, ada temuan dugaan penyelewengan atau fraud dalam pengelolaan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Jiwasraya. Manajemen berencana untuk melayangkan gugatan terkait hal tersebut.

Kata dia, DPPK Jiwasraya yang menanggung pensiunan perusahaan ini memiliki defisit keuangan hingga Rp 371 miliar atas hasil audit tahun 2023. Menurutnya, ada pengelolaan investasi yang tidak sesuai sehingga menimbulkan kerugian.

"Jadi ada pengelolaan investasi yang tidak seusai dengan ranah manajemen risiko yang prudent, kalau kita bisa dibilang miroring dengan (kasus) Jiwasraya," kata Lutfi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, dikutip Jumat (7/2/2025).

Dia menjelaskan, setelah audit investigasi dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 31 Desember 2024 dinyatakan ada fraud senilai Rp 257 miliar.

"Sudah dilakukan audit investigasi 31 Desember 2024 oleh BPKP, (ada temuan) fraud Rp 257 miliar, pelakunya sama dengan (kasus) Jiwasraya, saat ini sudah di penjara atas kasus Jiwasraya ini," bebernya.

Lutfi mengungkapkan, manajemen berencana menggugat kembali terkait dugaan fraud dalam pengelolaan DPPK Jiwasraya ini. Hanya saja, langkah itu dinilai tidak mudah.

Pasalnya, ketua pengurus DPPK Jiwasraya pada periode 2012-2018 telah meninggal dunia. Kemudian, wakil dewan pengawas yang terlibat dalam pengelolaan investasi sudah dipenjara atas kasus hukum di Jiwasraya.

"Nah di sini juga terjadi, saya sampaikan di sini ada berdasarkan hasil audit BPKP, terjadi fraud sebesar Rp 257 miliar, dan ini kami sedang berkoordinasi dengan pemegang saham, ini akan kita lakukan gugatan. Gugatan hukum kepada pelaku dari fraud yang terjadi di DPPK," tuturnya.

"Walaupun saat ini kendalanya yang terjadi adalah ketua pengurusnya yang waktu tahun 2012-2018 tersebut sudah meninggal, yang pertama, sudah meninggal dunia."

"Yang kedua, Wakil Dewan Pengawas yang mengelola, memerintahkan pengelolaan investasi ini memang sudah di penjara saat ini, sudah di penjara. 
Nah itu memang jadi satu constraint tersendiri pada saat kita melakukan gugatan hukum kepada pelaku seperti itu," imbuh Lutfi.

Topik:

Kejagung Sri Mulyani Korupsi Jiwasraya Asuransi Jiwasraya