BUMN (Pertamina) Sapi Perah bagi Parpol, Mulyanto PKS: Banyak Disiasati

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 3 Maret 2025 14:30 WIB
Tampang 7 ersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 -2023 (Foto: Kolase MI/Aswan)
Tampang 7 ersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 -2023 (Foto: Kolase MI/Aswan)

Jakarta, MI - Mantan Anggota Komisi VII DPR RI dari Farksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sapi perah bagi partai politik. Akibatnya, kata dia, banyak tugas yang disiasatinya.

Hal itu dikatakan Mulyanto begitu disapa Monitorindonesia.com, Senin (3/3/2025) merespons kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang 2018-2023 yang merugikan negara Rp197,3 triliun. 

"Sudah menjadi rahasia publik, selama ini BUMN menjadi sapi perah bagi parpol sehingga pelaksanaan tugasnya banyak disiasati," kata Mulyanto yang juga Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI).

Atas hal itu, dia menegaskan, wajar saja publik jika menilai dalam pengungkapan kasus ini hanya sekadar pergantian pemain. Menurutnya ada pemail baru mau menggantikan pemain lama. Namun dia enggan membeberkannya. "Jangan salahkan publik kalau menilai pengungkapan kasus ini, sekadar pergantian 'pemain'. Ada pemain baru ingin menggantikan pemain lama. Ke depan kasus dan modusnya bisa jadi berulang," katanya.

Lanjut dia, jika pemerintahan Prabowo Subianto serius memperbaiki tata kelola migas oleh Pertamina dan subholdingnya, perlu perombakan sistem rekrutmennya. 

Pun dia meminta sistem meritokrasi diterpakan, menolak orang-orang yang berafiliasi parpol di jajaran direksi dan komisaris di Pertamina. Dia menegaskan, bahwa pemerintah juga seharusnya menempatkan kalangan profesional murni yang amanah. "Tetapi bila melihat yang terjadi hari ini, justru menimbulkan aura pesimistis bagi publik," tegas Mulyanto.

Lebih lanjut, Mulyanto mengatakan, dugaan tindak pidana korupsi dimulai dari hulu di mana, para tersangka melakukan pengkondisian untuk menurunkan readiness/produksi kilang. 

Kemudian menolak minyak mentah domestik karena dianggap tidak memenuhi spek kilang yang dimiliki Pertamina. Akibatnya minyak mentah yang berasal dari perut bumi Indonesia, produksinya tidak terserap. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah maupun BBM dalam negeri, dilakukanlah impor. 

Selanjutnya modus korupsi berkembang menjadi ekosistem yang akhirnya terbongkar juga. Kata dia, kasus di Pertamina ini adalah korupsi yang berjamaah juga terstruktur. "Ini kan korupsi terstruktur dan berjamaah, yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang tanpa diketahui aparat, yakni dari 2018-2023. Untuk membangun kepercayaan publik tidak mudah, bila tanpa itikad baik, kinerja yang unggul dan konsisten," tutup Mulyanto.

Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, menilai kasus mega korupsi Pertamina yang merugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun per tahun, dilakukan selama 5 tahun tampaknya dialihkan pada perdebatan modus blending dengan mengaburkan modus perampokan negara melalui markup impor minyak mentah, impor BBM dan pengapalan impor minyak mentah dan BBM. 

Bahkan perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Pertamina terkait kebenaran blending, disebutnya, justru berpotensi mendorong migrasi konsumen Pertamax dari SPBU Pertamina ke SPBU Asing dan migrasi dari penggunaan Pertamax BBM non-subsidi ke Pertalite BBM subsidi.

“Kalau migrasi konsumen ini meluas, tidak hanya merugikan Pertamina, tetapi juga akan terjadi pembengkakan beban APBN untuk subsidi BBM. Pertamina harus segera menghentikan penyangkalan terhadap temuan Kejaksaan Agung yang justru kontra-produktif," katanya di Kampus UGM, Senin (3/3/2025).

Menurutnya, Kejaksaan Agung harus tetap fokus pada penanganan dugaan mega korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023. Mega korupsi yang melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, sejumlah Dirut dan Komisaris Perusahaan Swasta.

Selain itu, Kata Fahmy, perlu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap semua pihak yang terkait dan bersinggungan dengan mafia migas di Pertamina dan Kementerian terkait, termasuk backing mafia migas. “Saat menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan menyampaikan bahwa dirinya tidak sanggup membubarkan Petral, anak perusahaan Pertamina, yang ditengarai sebagai sarang mafia migas lantaran backingnya sangat kuat,” ungkapnya.

Fahmy menandaskan tidak mudah memang untuk mengungkap backing tersebut. Meski begitu, jika mencermati periode waktu mega korupsi yang berlangsung lama antara periode 2018-2023, dan baru di awal 2025 dapat diungkap tentunya bisa menjadi petunjuk penting bagi Kejaksaan Agung untuk mengejar backing tersebut. 

“Seolah selama 2018-2023 mega korupsi tidak tersentuh sama sekali karena kesaktian backing dan tidak sakti lagi sejak awal 2025. Tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas, termasuk menyikat backingnya, mega korupsi Pertamina pasti terulang lagi," tukasnya.

Penetapan Tersangka
Berdasarkan alat bukti yang cukup, Kejagung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka pada 24 Februari 2025.

Para tersangka termasuk Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, dan beberapa pejabat tinggi lainnya di Pertamina dan subholding-nya. Kejagung juga menetapkan dua tersangka baru pada 26 Februari 2025.

Berikut adalah daftar sembilan tersangka beserta peran mereka dalam kasus ini:

1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

Dalam kasus ini, Riva bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono, Riva diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.

Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Riva juga diduga "menyulap" BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax.

2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

Dalam kasus ini, ia bersama Riva Siahaan dan Agus Purwono, Sani diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.

Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

3. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping

Dalam kasus korupsi ini, Yoki diduga melakukan mark-up kontrak pengiriman minyak mentah dan produk kilang.

Hal itu menyebabkan negara harus membayar biaya pengiriman lebih tinggi dari seharusnya.

4. Agus Purwono, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

Peran dia dalam kasus ini adalah bersama Riva Siahaan dan Sani Dinar Saifuddin, Agus diduga terlibat dalam manipulasi rapat optimalisasi.

Ia juga terlibat dalam pengondisian yang memungkinkan broker minyak meraih kemenangan secara ilegal.

5. Muhammad Kerry Adrianto Riza, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa 

Ia, disebut terlihat dalam  praktik mark-up kontrak pengiriman yang dilakukan Yoki.

Akibat mark-up yang dilakukannya, negara harus membayar fee tambahan sebesar 13-15 persen yang menguntungkan Kerry.

6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim

Dimas bersama Gading Ramadhan Joedo diduga melakukan komunikasi dengan Agus Purwono untuk mendapatkan harga tinggi dalam kontrak, meskipun syarat belum terpenuhi.

7. Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Gading bersama Dimas menjalin komunikasi dengan Agus Purwono demi memuluskan kontrak harga tinggi.

Ia juga diduga mendapatkan persetujuan dari Sani Dinar Saifuddin dan Riva Siahaan untuk impor minyak mentah dan produk kilang.

8. Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga

Maya Kusmaya diduga memerintahkan dan memberikan persetujuan untuk melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92.

Selain itu, Maya juga memerintahkan pengoplosan produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal PT Orbit Terminal Merak. Tindakan ini menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi yang tidak sesuai dengan kualitas barang.

9. Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga

Edward Corne diduga terlibat dalam pembelian BBM RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan Riva Siahaan.

Edward juga terlibat dalam pengoplosan produk kilang jenis RON 88 dengan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak.

Selain itu, Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung, yang menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga tinggi.

Kerugian negara
Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun.

Namun, Kejagung memperkirakan bahwa kerugian negara bisa mencapai hampir Rp1 kuadriliun jika dihitung secara keseluruhan untuk periode 2018-2023.

Angka ini mencakup berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, dan pemberian subsidi serta kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.

Kasus ini menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia dan menambah panjang daftar kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar.

Kejagung terus melakukan penyelidikan untuk memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab atas perbuatannya. (an)

Topik:

Korupsi Pertamina BUMN Pertamina Kejagung