Di tengah Desakan Agar Diperiksa di Korupsi EKTP, Pramono Sambangi KPK

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Maret 2025 13:56 WIB
Gubernur Jakarta Pramono Anung mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (24/3/2025). Kedatangannya untuk membahas upaya pencegahan korupsi di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jakarta.
Gubernur Jakarta Pramono Anung mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (24/3/2025). Kedatangannya untuk membahas upaya pencegahan korupsi di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jakarta.

Jakarta, MI - Di tengah upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2009-2014 yang menerima aliran uang korupsi megaproyek KTP Elektronik atau e-KTP, Gubernur Jakarta, Pramono Anung mendatangi Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, pada hari ini Senin (24/3/2025). 

"Mau ketemu pimpinan KPK," kata Pramono di Gedung Merah Putih KPK, Senin (24/3/2025).

Namun, Pramono tidak menjelaskan lebih detail perihal tujuannya bertemu dengan komisioner KPK.  

Sementara itu, Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan tujuan kunjungan pertemuan antara pimpinan KPK dengan Pramono, untuk membahas program pencegahan korupsi di Jakarta.  "Betul, hari ini ada kegiatan koordinasi supervisi. Diantaranya untuk membahas program pencegahan korupsi di wilayah Jakarta," katanya.

Kendati begitu, di lain sisi, nama Pramono Anung masuk dalam desakan sejumlah pihak agar ikut terperiksa dalam kasus korupsi EKTP yang merugikan negara hingga Rp3,2 triliun tersebut.

Penyidik setidaknya telah memeriksa dua terpidana yang diduga mengetahui aliran dana kepada anggota DPR. Mereka adalah pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan eks anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani. Dari hasil pemeriksaan itu, KPK mengusut dugaan keterlibatan pihak lainnya.

"Terkait dengan penyebutan nama-nama beberapa legislator [anggota DPR] itu dari dulu," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, Jumat (21/03/2025).

Menurut dia, pemeriksaan terhadap Andi Narogong sebenarnya menjawab pertanyaan publik soal alasan KPK belum juga memeriksa sejumlah anggota DPR yang kabarnya menerima uang dari korupsi e-KTP. Demikian pula dengan Miryam yang berperan sebagai penyalur uang e-KTP ke anggota Komisi II DPR periode tersebut.

"Justru kami sedang memanggil kembali saudara AN [Andi Narogong] dan lainnya untuk mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan," kata Asep.
 
"Meski pun di keterangan sebelumnya itu sudah ada. Tinggal ditunggu saja nanti kelanjutannya bukti-bukti dan keterangan yang ada tentu akan kita tindak lanjuti."

Bahkan, menurut dia, KPK juga tengah menunggu proses ekstradisi tersangka e-KTP Paulus Tannos yang ditangkap di Singapura, Januari 2025. Nantinya, salah satu materi yang diperiksa soal aliran dana ke anggota DPR.

Kasus ini memang menjerat banyak anggota DPR. KPK setidaknya sudah menetapkan status tersangka hingga menyeret ke pengadilan empat anggota DPR yang terlibat. Mereka adalah Ketua DPR Setya Novanto, Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, serta anggota Komisi II Miryam S Haryani, dan Markus Nari.

Padahal, jumlah dan nama anggota DPR yang disebut dalam kasus ini lebih banyak lagi. 

Berdasarkan Dakwaan Jaksa:
1. Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum: US$5,5 juta
2. Pimpinan Banggar DPR, Melcias Marchus Mekeng: US$1,4 juta
3. Pimpinan Banggar DPR, Olly Dondokambey: US$1,2 juta
4. Pimpinan Banggar DPR, Tamsil Lindrung: US$ 700 ribu
5. Pimpinan Banggar DPR, Mirwan Amir: US$ 1,2 juta

6. Ketua Komisi II DPR, Chaeruman Harahap: US$584 ribu dan Rp26 miliar
7. Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo: USD 520 ribu 
8. Wakil Ketua Komisi II DPR, Taufik Effendi: US$103 ribu
9. Wakil Ketua Komisi II DPR, Teguh Djuwarno: US$ 167 ribu
10. Ketua DPR, Marzuki Alie: Rp20 miliar

11. Anggota Komisi II Arief Wibowo: US$108 ribu
12. Anggota Komisi II, Agun Gunandjar:US$1,047 juta
13. Anggota Komisi II, Mustoko Weni: US$ 408 ribu
14. Anggota Komisi II, Ignatius Mulyono: US$258 ribu
15. Anggota Komisi II, Miryam S Haryani: US$23 ribu

16. Anggota Komisi II, Yasonna Laoly: US$84 ribu
17. Anggota Komisi II, Khatibul Umam Wiranu: US$400 ribu
18. Anggota Komisi II, M Jafar Hapsah: US$100 ribu
19. Anggota Komisi II, Ade Komarudin: US$100 ribu
20. Anggota Komisi II, Markus Nari: Rp4 miliar dan US$13 ribu

21. Kapoksi Komisi II, Rindoko: US$37 ribu
22. Kapoksi Komisi II, Nu'man Abdul Hakim: US$37 ribu
23. Kapoksi Komisi II, Abdul Malik Haramaen: US$37 ribu
24. Kapoksi Komisi II, Jamal Aziz: US$37 ribu
25. Kapoksi Komisi II, Jazuli Juwaini:US$ 37 ribu

26. Sebanyak 37 anggota Komisi II lain seluruhnya berjumlah US$556 ribu, masing-masing mendapatkan uang US$13-18 ribu

Berdasarkan Keterangan Setya Novanto:
1. Ketua Fraksi PDIP di DPR, Puan Maharani: US$500 ribu
2. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung: US$500 ribu

Pramono Cs harus diperiksa

Pakar Hukum Pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf mendesak KPK segera menuntaskan kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik menyusul telah ditangkapnya buronan Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin (PT) di Singapura.

Sejumlah pihak disebut ikut menerima uang pelicin dalam proyek e-KTP, termasuk tiga politisi PDIP, masing-masing Puan Maharani, Ganjar Pranowo, dan Pramono Anung. Ketiganya diduga terlibat saat masih menjabat sebagai anggota DPR RI.

“Siapapun, mau anak Ketua Partai, Ketua DPR, atau Ketua MPR, kalau memang terlibat, harus diproses hukum. Apalagi fakta itu sudah terungkap di persidangan,” kata Hudi kepada Monitorindonesia.com belum lama ini.

Dia mendesak KPK segera menuntaskan kasus ini. Ia memperingatkan, jangan sampai terjadi preseden buruk di mana pihak yang dekat dengan kekuasaan justru tidak diproses hukum.

“Siapapun yang terlibat, baik anggota Dewan maupun pejabat partai, harus diproses. Kalau kasus ini terus didiamkan, maka citra KPK sebagai lembaga penegak hukum akan rusak. Kita tidak ingin hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” tegasnya.

Pun Hudi mengkritik keras KPK jika terus mendiamkan kasus ini, apalagi setelah tertangkapnya buronan kasus e-KTP, Paulus Tannos, di Singapura.

“Jika KPK tidak memproses koruptor, itu bukan hanya jahat, tapi juga pengkhianatan kepada rakyat. Ini kejahatan yang bertumpuk-tumpuk,” pungkas Hudi.

Topik:

KPK EKTP