Kejagung Periksa Head Corporate Legal Wilmar di Kasus Suap Hakim Rp 60 Miliar


Jakarta, MI - Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Head Corporate Legal PT Wilmar berinisial MBHA sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait penanganan perkara yang menyeret sejumlah oknum hakim, Senin (21/4/2025).
"MBHA selaku Head Corporate Legal PT Wilmar," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
Tak sendirian, MBHA diperiksa bersama 11 saksi lainnya yakni ED selaku Driver Tersangka DJU; AAND selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng; JS selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng; SN selaku Kameraman JAK TV; TB selaku Direktur Pemberitaan JAK TV; IWN selaku Kameraman JAK TV.
Lalu, RYN selaku Kameraman JAK TV; SMR selaku Direktur Operasional JAK TV; RL selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng; FS selaku Staf AALF; dan VA selaku Staf AALF.
“Sebanyak 12 saksi diperiksa penyidik terkait dugaan suap dan/atau gratifikasi dalam penanganan perkara di PN Jakarta Pusat,” kata Harli menambahkan.
Sebelumnya Kejagung menetapkan Head Social Security Legal Wilmar Group Muhammad Syafei sebagai tersangka kasus kasus suap atau gratifikasi putusan lepas terhadap tiga grup perusahaan sawit dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau minyak goreng dan turunannya, Januari-April 2022.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyatakan bahwa Syafei menjadi pihak yang menyiapkan uang Rp60 miliar untuk majelis hakim yang menangani perkara tersebut di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat.
“Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY,” kata Qohar dalam konferensi pers di gedung Kejagung, Selasa malam (15/4/2025).
Qohar menjelaskan Syafei selaku kepala legal PT Wilmar Group memberikan uang sebesar Rp60 miliar atas permintaan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Muhammad Arif Nuryanta selaku. Dimana hal tersebut disampaikan melalui seorang perantara, yang merupakan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Wahyu Gunawan.
Mulanya, seorang pengacara bernama Ariyanto menginginkan agar perkara minyak goreng diurus sebab jika tidak menurutnya putusannya dapat menjadi maksimal bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hal tersebut disampaikan kepada Wahyu Gunawan, dimana Wahyu juga menanyakan biaya yang disediakan untuk pengurusan tersebut.
Setelah itu, Ariyanto menyampaikan informasi tersebut kepada rekannya Marcella Santoso. Kemudian Marcella menemui Syafei di rumah makan pada daerah Jakarta Selatan untuk mendiskusikan penanganan perkara. Lalu, mereka kembali bertemu untuk menyiapkan biaya penanganan perkara sebesar Rp20 miliar.
“Kemudian Tersangka AR, Tersangka WG, dan Tersangka MAN bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur,” ucap Qohar.
Dalam pertemuan itu, Arif mengatakan perkara minyak goreng tidak dapat diputus bebas namun bisa diputus lepas atau onslag. Arif juga meminta agar uang Rp20 miliar dikali tiga sehingga menjadi Rp60 miliar.
"MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS atau dolar Singapura," kata Qohar.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Syafei langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung untuk 20 hari pertama.
Dalam perkara ini, korps Adhyaksa menetapkan status tersangka dan langsung menahan tiga hakim yang menjadi majelis dalam perkara tersebut. Mereka adalah ketua majelis hakim Djumyanto; hakim anggota Agam Syarif Baharuddin, dan hakim ad hoc Ali Muhtarom.
Ketiga hakim tersebut dituduh mengetahui dan menerima suap Rp22,5 miliar kemudian memberikan putusan lepas kepada sejumlah korporasi dari Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup.
Dalam kasus ini, jaksa sudah lebih dulu menetapkan empat tersangka lain yaitu Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda PN Jakarta Pusat Wahyu Gunawan; serta dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto.
Qohar menyatakan, uang suap Rp60 miliar diberikan oleh Ariyanto kepada Arif. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan selaku penghubung. Dari jumlah tersebut, Arif memberikan sekitar US$50 ribu atau lebih dari Rp800 juta kepada Wahyu sebagai imbalan.
Arif kemudian menyusun majelis hakim untuk memimpin perkara korupsi ekspor CPO. Tiga hakim pun terpilih yaitu Hakim Djuyamto sebagai ketua majelis, Hakim Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota, dan Hakim Ad Hoc Ali Muhtarom sebagai anggota.
Usai penetapan majelis, Arif memanggil Djuyamto dan Agam. Dalam pertemuan tersebut, Arif menyerahkan uang Rp4,5 miliar kepada keduanya dengan pesan memberikan atensi khusus pada kasus korupsi Wilmar Grup cs. Uang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tas dan dibagi rata bagi tiga hakim yang menjadi majelis.
Jelang putusan, Arif kembali bertemu Djuyamto di Pasar Baru. Dalam pertemuan tersebut, dia menyerahkan uang tunai kepada Djuyamto senilai Rp18 miliar.
Kata Qohar, uang tersebut dibagi tiga dengan pembagian yang berbeda yaitu Djuyamto sebesar Rp6 miliar, Agam sebesar Rp4,5 miliar, dan Ali sebesar Rp5 miliar. Djuyamto kemudian menyisihkan beberapa jatahnya senilai Rp300 juta untuk panitera perkara tersebut.
Topik:
Kejagung WilmarBerita Terkait

Terima Rp 500 Juta Hasil Barang Bukti yang Ditilap, Jaksa Iwan Ginting Dicopot
27 menit yang lalu

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
12 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB