Kejagung Didesak Periksa Pejabat Kemhan Menandatangani Kontrak Proyek Satelit

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Mei 2025 15:22 WIB
Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci (depan kanan) bersama Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar (depan kiri) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/5/2025)
Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci (depan kanan) bersama Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar (depan kiri) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/5/2025)

Jakarta, MI - Indonesia kembali dibuat malu di forum internasional. Kali ini putusan arbitrase internasional yang memenangkan Navayo International AG dalam gugatan satelit terhadap Kementerian Pertahanan (Kemhan) tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menampar wajah kedaulatan hukum Indonesia. 

Betapa tidak, putusan arbitrase yang mewajibkan pembayaran kompensasi USD 20,86 juta tersebut ternyata berbasis pada invoice fiktif.  "Inilah kelalaian Kemenhan pada era tersebut," kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) dalam keterangannya yang masuk ke dapur redaksi Monitorindonesia.com, Kamis (8/5/2025).

Kejaksaan Agung telah menyatakan secara tegas bahwa invoice tersebut adalah dokumen fiktif yang dipakai oleh Navayo untuk memenangkan arbitrase di International Chamber of Commerce (ICC) Singapura. 

"Artinya, seluruh dokumen yang menjadi dasar gugatan Navayo patut dicurigai sebagai bagian dari skema penipuan internasional yang terstruktur," lanjutnya.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh Kejaksaan Agung? Iskandar mengatakan bahwa  Kejaksaan Agung harus sesegera menahan pihak-pihak yang terlibat, terafiliasi, atau berkolaborasi dalam pembuatan dokumen fiktif tersebut. Jika terbukti, mereka harus segera disidangkan atas tuduhan tindak pidana korupsi (Tipikor).

"Penyidikan harus dilakukan menyeluruh, mulai dari pejabat Kemhan yang menandatangani kontrak, pihak yang menerbitkan invoice, hingga pihak yang membawa dokumen fiktif itu ke ranah arbitrase internasional," katanya.

Menyoal Navayo, Iskandar, mendesak agar ditindak tegas di forum internasional. Pasalnya, Navayo bukan sekadar penggugat, tetapi kini bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi internasional karena menggunakan dokumen fraud untuk memenangkan gugatan di ICC. 

"Kejaksaan Agung dapat mengirimkan nota diplomatik ke interpol atau lembaga penegak hukum internasional lainnya untuk menindaklanjuti dugaan korupsi lintas negara ini," bebernya.

Di lain sisi, dapat menggunakan audit  Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai bukti utama, idealnya audit investigatif BPK saat penghitungan kerugian negara

Menurut Iskandar, laporan audit BPKP tahun 2022 telah jelas menyebutkan bahwa barang yang diterima dari Navayo hanya senilai Rp 1,9 miliar, ini jauh dari nilai kontrak Rp 515 miliar. Sebagian besar barang bahkan masuk tanpa dokumen bea cukai alias barang selundupan," lanjutnya.

"Kejaksaan Agung harus segera menjadikan temuan audit ini sebagai dasar hukum untuk menggugat balik Navayo dan membatalkan putusan arbitrase ICC. Ditambahkan audit investigatif BPK saat penghitungan kerugian negara kasus yang disidik saat ini," tegasnya lebih lanjut.

Sementara dari perspektif hukum perdata, kata dia, dapat digugat balik berbasis data fraud penggugat.

Soalnya, sudah jelas bahwa dalam hukum perdata, penggunaan dokumen fiktif untuk mengajukan klaim ganti rugi jelas masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

Jika Kejaksaan Agung, ungkapnya, dapat membuktikan bahwa invoice tersebut fiktif, maka Indonesia berhak menggugat balik Navayo atas dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan dokumen.

"Langkah ini akan menguatkan posisi Indonesia dalam pengadilan internasional dan dapat menjadi dasar untuk meminta pembatalan putusan arbitrase di ICC," terangnya.

Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut!

Sebagai Presiden dan mantan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto tidak boleh membiarkan kasus ini berlarut-larut. Jika Indonesia gagal mengambil langkah cepat dan tegas, bukan tidak mungkin negara ini akan kembali kalah di pengadilan internasional.

Prabowo harus segera memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mempercepat penyidikan, menangkap seluruh tersangka, dan memastikan aset negara tidak disita atas dasar dokumen fraud.

"Kasus satelit Kemhan bukan sekadar sengketa kontrak, tetapi adalah skandal besar yang mengancam integritas hukum dan kedaulatan diplomatik Indonesia. Jika Indonesia tidak berani menuntut balik Navayo, maka negara ini akan dicap sebagai pihak lemah yang mudah dipermainkan di pengadilan internasional," paparnya.

Kejaksaan Agung harus bertindak sekarang. Tangkap semua pelaku, bekukan aset, dan gugat balik Navayo di forum internasional. "Jika tidak, maka Indonesia bukan hanya akan kehilangan USD 20,86 juta, tetapi juga kehilangan muka sebagai negara yang gagal menegakkan hukum di rumahnya sendiri," demikian Iskandar Sitorus.

3 tersangka

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan peran tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 BT (bujur timur) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada tahun 2016.

Adapun tiga tersangka itu adalah Laksamana Muda TNI (Purn) LNR (Leonardi) selaku mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan dan pejabat pembuat komitmen (PPK), ATVDH (Anthony Thomas Van Der Hayden) selaku Tenaga Ahli Satelit Kementerian Pertahanan, serta GK (Gabor Kuti) selaku CEO Navayo International AG.

Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (8/5/2025) malam, menyebut bahwa tersangka LNR selaku PPK di Kemhan menandatangani kontrak kerja sama dengan GK selaku CEO Navayo pada 1 Juli 2016.

“Perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai 34.194.300 dolar AS dan berubah menjadi 29.900.000 dolar AS,” katanya.

Akan tetapi, penandatanganan kontrak kerja sama tersebut dilakukan tanpa adanya anggaran Kemhan.

Selain itu, penunjukan Navayo sebagai pihak ketiga juga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa. Bahkan, perusahaan tersebut merupakan rekomendasi aktif dari tersangka ATVDH.

Setelah adanya kerja sama tersebut, lanjut Andi, Navayo mengklaim telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang dan program kepada Kemhan dengan berdasarkan empat buah sertifikat kinerja atau Certificate of Performance (CoP) atas persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) BH dan tersangka LNR.

“CoP tersebut telah disiapkan oleh tersangka ATVDH dan tersangka GK tanpa dilakukan pengecekan atau pemeriksaan terhadap barang yang dikirim Navayo terlebih dahulu,” kata Andi.

Karena adanya CoP tersebut, pihak Navayo pun melakukan penagihan kepada Kemhan dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran). Akan tetapi, tidak tersedia anggaran pada Kemhan hingga tahun 2019.

Dari pemeriksaan terhadap hasil kerja Navayo, didapatkan dua fakta.

Pertama, hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampling barang yang dikirim Navayo, diperoleh hasil bahwa 550 unit ponsel bukan merupakan ponsel satelit dan tidak terdapat secure chip sebagaimana spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam kontrak.

Kedua, hasil pendalaman ahli satelit terhadap master program yang dibuat Navayo, yaitu 12 buku Milestone 3 Submission, menyatakan bahwa Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah program user terminal.

Akibat perbuatan melawan hukum ini, Kemhan harus membayar sejumlah 20.862.822 dolar AS berdasarkan final award putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani CoP.

“Sementara menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak 21.384.851,89 dolar AS,” kata Andi.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP. (wan)

Topik:

Kejagung Kemhan Kementerian Pertahanan Satelit Kemhan