Hudi Yusuf Harap Kejaksaan jadi Pelopor Restorative Justice

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Mei 2025 10:29 WIB
Hudi Yusuf, Pakar Keadilan Restoratif (Foto: Dok MI/Istimewa)
Hudi Yusuf, Pakar Keadilan Restoratif (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Semangat Jaksa Agung ST Burhanuddin penting untuk diberikan apresiasi dalam memotivasi para jaksa untuk mengedepankan penyelesaian perkara melalui Restorative Justice (RJ).

"Kelebihan penyelesaian perkara melalui RJ memiliki banyak keuntungan bagi negara dalam penghematan biaya perkara mengingat angka kejahatan selalu meningkat dari tahun ke tahun yang menyebabkan biaya meningkat tinggi," kata Hudi Yusuf, pakar keadilan restoratif saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (15/5/2025).

Selain itu, pelaku kejahatan semakin bertambah mengakibatkan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan menjadi penuh melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Hal ini terobosan berani Jaksa Agung untuk penghematan dan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, namun yang harus digaris bawahi Jaksa menurut undang-undang memiliki fungsi penuntutan bukan menyelesaikan perkara di instansinya.

"RJ selama ini di kejaksaan hanya berdasarkan peraturan kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, peraturan tersebut tidak menjamin adanya kepastian hukum karena untuk mendapat kepastian hukum hanya ada di pengadilan," jelasnya.

Menurut Hudi, bentuk RJ di kejaksaan berdasarkan berita acara perdamaian antara pelaku dan korban kejahatan, namun setelah ada perdamaian bagaimana pengawasan kepada pelaku apabila pelaku tidak memenuhi kewajiban terhadap korban dalam pelaksanaan perjanjian," ungkap Hudi.

Selain itu, tambah Hudi, karena RJ tidak memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap pelaku dan korban dapat saling menuntut kembali. Karena itu hasil RJ di kejaksaan seyogyanya perlu dilanjutkan ke pengadilan untuk mendapat penerapan pengadilan dalam pelaksanaannya. 

Hudi bilang, RJ merupakan terobosan hukum yang menjadi prioritas di dunia walaupun RJ tanpa disadari sudah berjalan di Indonesia sejak dulu, daerah-daerah di Indonesia memiliki sistem penyelesaian masalah di daerah/suku masing-masing, penyelesaian masalah disetiap daerah dapat diselesaikan dengan baik.

"Penyelesaian yang dilakukan di daerah-daerah itu dapat menjadi contoh penerapan RJ," tegas Hudi.

Peraturan RJ di Indonesia, menurut Hudi, masih bersifat sektoral setiap instansi penegak hukum memiliki peraturan sendiri tentang RJ seperti di kepolisian RJ diatur dalam perpol no 8 tahun 2021.

Kelemahan RJ, ujar Hidi, belum memiliki UU sendiri sehingga dalam penerapannya terjadi disharmoni antara aparat penegak hukum (APH) di lapangan, setiap APH merasa paling berwenang menyelenggarakan RJ di instansinya dan masih banyak lagi ketidaksesuaian dalam penerapan RJ.

"Berdasarkan hal diatas saya berharap kejaksaan dalam waktu singkat menjadi pelopor membuat sentra penegakan hukum bersama (sentra gakum RJ) bersama dengan instansi penegak hukum lain agar terwujud harmonisasi antara aph dan penyelesaian RJ tetap berada di pengadilan agar memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap," tutup Hudi. (an)

Topik:

Kejagung Restorative Justice Kejaksaan Hudi Yusuf