Kejagung: Kasus Beras Oplosan Bisa saja Masuk ke Tipikor atau Tipidum


Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara soal kasus dugaan pengoplosan beras yang merugikan negara sekitar Rp100 triliun per tahun dan dinikmati segelintir kelompok usaha.
Kejagung akan mempelajari terlebih dahulu kasus tersebut. Bisa saja masuk ke ranah tindak pidana korupsi (Tipikor) atau tindak pidana umum (Tipidum).
"Kami akan pelajari dahulu, dikaji dahulu masuk ke ranah mana. ‘Kan bisa saja itu (kasus beras oplosan) masuk ke ranah tindak pidana korupsi atau itu tindak pidana umum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Kini pihaknya akan berkoordinasi dan berkolaborasi dengan satuan kerja lain, seperti dengan Polri, Kementerian Pertanian (Kementan) maupun pihak-pihak terkait untuk menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin menindak tegas pengoplos beras itu. “Kalau itu seandainya naik perkara, jaksa pun sebagai jaksa penuntut umum juga terlibat,” kata Anang.
Korporat Pengkhianat harus diseret
Setidaknya ada empat produsen beras diduga melakukan pelanggaran mutu dan takaran beras sehingga berpotensi merugikan negara Rp 100 triliun. Keempat perusahaan tersebut adalah Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Produsen-produsen beras ini telah diperiksa Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri. Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Rajiv, meminta, Polisi bertindak cepat mengungkap kasus tersebut.
Bahkan, dia menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah dari korporasi yang diduga mempermainkan kenutuhan dasar rakyat. Maka dari itu dia mendesak kepada Polri agar segera menagkap pelakunya.
“Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan segelintir orang atau korporasi yang mempermainkan kebutuhan dasar rakyat. Polisi harus cepat mengungkap dan menangkap pelaku yang harus bertanggung jawab," kata Rajiv dikutip Rabu (23/7/2025).
Menurutnya, pengoplosan beras merupakan kejahatan serius, bahkan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat kecil dan bisa mengganggu program swasembada pangan.
"Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Dampaknya sangat luas. Petani dirugikan, konsumen tertipu, dan negara mengalami kerugian yang tidak kecil bahkan bisa mengganggu program swasembada pangan," katanya.
Pun, Rajiv sepakat dengan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut, pengoplosan beras sebagai bentuk subversi ekonomi. Ia menyatakan, praktik tersebut harus ditindak tegas dan dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Jika negara dirugikan hingga Rp100 triliun setiap tahun akibat pengoplosan ini, maka sudah sepatutnya kita bersikap tegas. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal keadilan dan keberpihakan pada rakyat," tandasnya.
Prabowo geram!
Presiden Prabowo Subianto telah menyinggung soal dugaan praktik oplos beras. Dia memerintahkan langsung Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut kasus beras oplosan.
Menurutnya, ini merupakan tindak penipuan dan pidana. Hal itu dikatakan Prabowo saat sambutan dalam acara peluncuran 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah, pada Senin (21/7/2025).
Pun Prabowo mengungkap kerugian yang dialami mencapai Rp100 triliun dari kasus beras oplos ini. Padahal selama ini, ungkapnya, Kementerian Keuangan sudah berupaya untuk mencari dana pemerintah. Prabowo Kumpulkan Para Menteri hingga Dirut BUMN di Istana, Bahas Kawasan Ekonomi Khusus
“Dan saya dapat laporan kerugian yang dialami oleh ekonomi Indonesia kerugian oleh bangsa Indonesia kerugian oleh rakyat Indonesia adalah Rp100 triliun tiap tahun. Menteri Keuangan kita setengah mati cari uang setengah mati pajak inilah Bea cukai inilah dan sebagainya ini 100 triliun kita rugi tiap tahun dinikmati oleh hanya 4,5 kelompok usaha,” jelas Prabowo.
Sebelumnya juga saat Kongres PSI di Solo, Jawa Tengah, Prabowo juga menyinggung soal dugaan praktik oplos beras. Dia menegaskan, tak ada ampun terhadap praktik kecurangan pangan yang merugikan rakyat.
Baginya, ini bukan sekadar pelanggaran pasar. Akan tetapi sudah masuk ke wilayah ancaman serius terhadap kesejahteraan rakyat dan stabilitas negara.
"Menurut saya ini sudah termasuk subversi ekonomi. Menikam rakyat,” tegasnya.
Adapun perusahaan-perusahaan tersebut di atas telah mengelola beberapa merek beras yang saat ini ada di pasaran. Wilmar Group, misalnya, mengelola Sania, Sovia, Fortune, dan Siip. Merek-merek ini ikut terseret dalam proses penyelidikan Polri.
Selain itu, beras premium seperti Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos yang diproduksi oleh Food Station Tjipinang Jaya juga masuk dalam daftar.
Merek lainnya adalah Raja Platinum dan Raja Ultima produksi PT Belitang Panen Raya, serta merek Ayana milik PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Adapun perusahaan yang telah dimintai keterangan oleh Satgas Pangan Polri di antaranya adalah Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Pemeriksaan dilakukan berdasarkan sampel beras kemasan dari berbagai daerah yang sebelumnya dikumpulkan oleh Satgas Pangan Polri. Seemntara Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengakui maraknya beras oplosan yang beredar di pasar tradisional dan ritel modern.
Kemasannya tampak premium, sekalipun isinya telah dicampur alias menipu. Hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri mengungkapkan setidaknya ada 212 merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu, baik dari sisi berat kemasan, komposisi, hingga labelnya.
Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan 5 kilogram (kg), padahal isinya hanya 4,5 kg. Banyak di antaranya juga mengeklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa.
"Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram, padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa. Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram," kata Amran, Senin (14/7/2025).
Praktik oplosan beras berpotensi merugikan konsumen hingga Rp 99 triliun per tahun, atau hampir Rp 100 triliun.
Topik:
Kejagung Polri Beras Oplosan Pengoplosan BerasBerita Terkait

Terima Rp 500 Juta Hasil Barang Bukti yang Ditilap, Jaksa Iwan Ginting Dicopot
35 menit yang lalu

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
12 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB