PPATK sebut Rp 349 T Bukan Transaksi Janggal di Kemenkeu

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Agustus 2025 14:29 WIB
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (Foto: Dok MI/Aswan)
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut bahwa duit sebesar Rp 349 triliun bukanlah transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melainkan nilai kasus tindak pidana pencucian uanga (TPPU) Kepabeanan dan Perpajakan.

Kasus ini sempat ditangani Mahfud MD saat menjabat Menko Polhukam pada 2023 dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPU.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa Penyidik Pajak (DJP) dan Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu adalah penyidik TPPU. Selain itu Inspektorat Jenderal Kemenkeu jg melakukan kewenangan dlm mengawasi internal. 

Dalam Pasal 44 UU No 8/2010 tentang TPPU menyatakan: Hasil Analisis (HA) TPPU terkait pidana Perpajakan dan Bea Cukai disampaikan oleh PPATK kepada DJP dan DJBC. 

"Jadi yg dimaksud TPPU Rp 349 trilliun itu bukan terkait korupsi di Kemenkeu, tapi adalah nilai kasus TPPU yang ditangani oleh DJP dan DJBC berdasarkan HA PPATK," kata Ivan begitu disapa Monitorindonesia.com, Minggu (3/8/2025) malam. 

Menurut Ivan, semua ditangani dengan baik dan sebagian besar telah selesai penegakkan hukumnya. "Jadi jangan salah memahami ya, itu bukan transaksi janggal di Kemenkeu. Itu adalah nilai kasus TPPU Kepabeanan dan perpajakan yang ditangani.  Semua ditangani dengan sangat baik dengan kolaborasi yg kuat antar lembaga terkait," demikian Ivan.

Pada April 2023, kata dia, Mahfud MD ketika masih menjabat Menko Polhukam membuat gempar dengan mengatakan adanya transaksi keuangan mencurigakan di Kemenkeu. Nilainya tembus Rp349 triliun.

Mahfud yang juga Ketua Komite Nasional Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (KNP- TPPU) itu, menyebutkan, berdasarkan rekapitulasi data Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas transaksi keuangan mencurigakan, nilai agregatnya lebih dari Rp349 triliun.

"Tidak ada perbedaan angka dengan Kemenkeu, sebab sumber datanya sama. Yakni, LHA dan LHP yang dikirim PPATK. Namun anehnya, Mahfud MD sebagai Meno Polhukam tidak menuntaskan pekerjaan ini." imbuhnya.

Dua tahun kemudian, PPATK mengungkap temuan mengejutkan terkait aliran dana mencurigakan sepanjang 2024. Dalam laporan hasil National Risk Assessment (NRA) TPPU, PPATK mencatat nilai transaksi yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi mencapai Rp984 triliun. Angka tersebut merupakan bagian dari total transaksi mencurigakan yang diidentifikasi sebesar Rp1.459 triliun.

Dia bilang, PPATK menyebut adanya puluhan ribu, bahkan ratusan ribu transaksi keuangan yang mencurigakan di Indonesia. Terkait sumber daya alam, transaksi pajak, tambang, drug, judi online (judol), perdagangan manusia dan lain sebagainya.

"Uang gelap hasil kejahatan keuangan masuk ke dalam rekening rekening rahasia yang ada di Indonesia," katanya.

Satu satunya cara yang mungkin dilakukan pemerintah untuk melawan uang kotor, kata dia, harus disita negara. Sebab uang tersebut tidak hanya merusak ekonomi Indonesia, namun umumnya digunakan untuk operasi politik bahkan untuk menggulingkan kekuasan yang sah. "Pemilik uang semacam ini mereka bagian dari sindikat global yang hendak bertahan dalam supremasi transparansi," ungkapnya.

Dia pun menyinggung rencana PPATK memblokir transaksi dari rekening tak aktif minimal 3 bulan atau rekening dormant. Dalam hal ini, Salamuddin mendukung pembekuan seluruh rekening rahasia yang selama ini dijadikan saluran dalam melakukan kejahatan keuangan di Indonesia.

"Rekening rahasia itu nyata, karena diketahui secara persis oleh elite yang mengatur, mengendalikan, memanfaatkan kelemahan sistem keuangan Indonesia," imbuhnya.

Mengingatkan saja, PPATK yang saat ini dipimpin Ivan Yustiavandana, menemukan lebih dari 140 ribu rekening dormant yang menampung duit sebesar Rp428,6 miliar. Rekening ini tidak ada pembaruan transaksi di data nasabah.

Hal ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya. Selain itu, sejak 2020, PPATK menganalisis lebih dari sejuta rekening yang diduga terkait tindak pidana keuangan. Di mana, lebih dari 150 ribu di antaranya adalah rekening nominee yang diperoleh dari jual beli rekening, atau peretasan.

Bahkan, ditemukan lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial yang tidak pernah dipakai selama lebih dari 3 tahun, dengan dana mengendap sebesar Rp2,1 triliun, mengindikasikan penyaluran yang belum tepat sasaran.

Topik:

PPATK Transaksi Janggal Kemenkeu TPPU