Saat KPK Diminta Periksa Sahroni hingga Dugaan Pembelian Sepeda Rp 5 M Tanpa Bayar Pajak

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Agustus 2025 16:23 WIB
Terdakwa kasus UU ITE Adam Deni (kiri) dan Ahmad Sahroni (kanan). Foto: Kolase MI
Terdakwa kasus UU ITE Adam Deni (kiri) dan Ahmad Sahroni (kanan). Foto: Kolase MI

Jakarta, MI - Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni saat ini tengah disoroti publik. Mulai dari pernyataan dia yang menyebut "orang yang cuman mental bilang bubarin DPR itu orang tolol sedunia" hingga soal operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK "kalaupun mau tangkap misalnya bapak berkomunikasi dengan partai."

Dinukil dari unggahan akun TikTok Monitorindonesia.com belum lama ini, warganet ramai-rampai menyemprot anak buah Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh itu.

"Dia ngerti namanya OTT gak ya? masak ott mesti lapor ketua dulu," kata @KIM JONG IN dikutip pada Kamis (28/8/2025).

Sementara akun @ENZ menyarakan agar Sahroni saja yang ditangkap KPK. "ini aja yg ditangkep." Di sahut akun @Bule Bodong "betullllll.

"Bukti nya keburu diilangin itu mah kalo lapor ma partai... ada" aja ini... rusak banget hukum indonesia sekarang ini," sebut @Niken k.

"Jadi mereka wakil partai, bukan wakil rakyat," kata @ JOYBOY.

Atas riuhnya komentar, salah akun @Pak Cek juga meminta KPK agar memeriksa Sahroni. "KPK mohon sekiranya periksa/audit pak Sahroni...."

Di sahut @ aku hitam "tsngkap orang ini..!!.

"Ini Roni kliatan panik krna bisa JD target bidikan KPK," kata @Poenama83. Sementara akun @hendro's meminta KPK agar independen. "KPK harus independent."

"DPR SEENAKNYA NGATUR KPK," kat @Tik Toker.

"Lha klo mau nagkep bilang2 dulu..ntar ada uang tutup mulut donk," kata @miaz.

"Dikira KPK tolol, JD siapa yang TOTOL," kata @Ade Kurniawan.

Sementara akun @50.GOCAP heran dengan Sahroni  yang selamat terus. ":Ini  orang selamat terus ya.berapa dekade dia? cek kasus bea cukai sepeda dan mobil mewah .Ketuam Harley sekarang dia," katanya.

Pun, akun @lilianna chow menyatakan "uda pada kabur pak.. klu lapor ke kepala partai.. klu gt klu ada pencuri di kala masyarakat polisi gk bole jmpt ke rmh polisi kasi tau ke ortunya danh ortu ny antar ke ktr polisi biar adil kita smua."

Sahroni diduga beli sepeda sampai Rp 5 miliar tanpa bayar pajak

Dalam sidang kasus dugaan pelanggaran Undang Undang (UU) ITE, dengan terdakwa Adam Deni dan Ni Made Dwita Anggari yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Rabu, 18 Mei 2022 silam, Ni Made Dwita Anggrari menyebut kalau transaksi sepeda yang dijual pihaknya kepada Ahmad Sahroni ilegal.

Ni Made Dwita Anggrari menyebut jika Ahmad Sahroni sudah membeli sekitar 10 sepeda dengan harga mulai dari 300 - 400 jutaan per-unitnya. Transaksi tersebut tidak dikenakan biaya pajak negara sebesar 25 persen untuk satu unit pembelian barang mewah dari luar negeri.

"Ahmad Sahroni melakukan transaksi pembelian sepeda ke saya kurang lebih sekitar Rp 5 miliar. Jumlah sepedanya 10 unit. Semuanya tidak bayar pajak. Jika melalui agen di Singapore, iya tidak bayar pajak. Pajak itu biasanya 25 persen," kata Ni Made Dwita dalam persidangan, Rabu (18/5).

Makanya, dalam persidangan, Adam Deni menegaskan kalau tindakannya semata mengawasi pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. "Unggahan itu motifnya berupa follow up dari dugaan tindak pidana korupsi Sahroni. Isinya yakni penyalahgunaan jabatan untuk pengadaan barang mewah tanpa dikenai pajak," kata Adam Deni.

Adam Deni punya alasan kenapa tak melaporkan masalah tersebut ke ranah hukum dan hanya mengunggahnya di akun media sosial pribadinya setelah dapat informasi dari Ni Made. "Kita berdua ingin melapor ke KPK. Cuma karena status saya sebagai pegiat media sosial, saya ingin follow-up lewat media sosial agar memperoleh atensi publik dahulu," kata Adam Deni.

"Yang punya data jual beli itu Ni Made. Track record saya di sosial media banyak membuka kasus dan tak ada hoaks juga. Saya upload karena saya yakin atensi publik tinggi dari media sosial saya," tambah Adam Deni.

Sahroni soal OTT

Sebelumnya, bahwa dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan KPK, Sahroni menekankan bahwa pemahaman publik tentang OTT seringkali berbeda dengan praktik lembaga antikorupsi.

Menurutnya, penangkapan yang disebut OTT seharusnya terjadi di tempat dan waktu yang sama, bukan melalui rangkaian kejadian yang terpisah. Sahroni menekankan bahwa kejelasan terminologi OTT akan membantu masyarakat memahami prosedur penindakan dan meningkatkan akuntabilitas KPK.

Lantas Sahorni memberikan contoh kasus Bupati Kolaka Timur Abdul Azis untuk menekankan pentingnya penyesuaian istilah OTT. Sahroni menilai istilah OTT harus tepat agar tidak menimbulkan salah persepsi publik.

Dia menjelaskan bahwa OTT seharusnya terjadi serentak, di lokasi dan waktu yang sama, sesuai pengertian umum tertangkap tangan. Jika penindakan dilakukan di beberapa tempat secara bersamaan, terminologi saat ini bisa menimbulkan kebingungan. “Kalau orangnya sudah berpindah lokasi, harus dijelaskan apakah tetap disebut OTT atau OTT Plus,” katanya.

Kejelasan OTT penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas proses hukum sehingga masyarakat mendapatkan informasi utuh. Terminologi OTT yang tepat juga mencegah tudingan tebang pilih dalam penindakan kasus korupsi.

Dengan definisi yang jelas, publik akan memahami proses OTT tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Selain kejelasan istilah, Sahroni menekankan perlunya KPK berkoordinasi dengan pimpinan partai politik sebelum menangkap kader.

Dia menyebut bahwa penangkapan Abdul Azis yang terjadi tak lama setelah Rakernas Partai NasDem menimbulkan pertanyaan publik.

“Kami berharap kejadian seperti di Makassar tidak terulang. Kalaupun mau tangkap misalnya, Bapak berkomunikasi dengan pimpinan partai. Kita anterin itu orang ke Bapak,” kata Sahroni.

Langkah koordinasi ini dinilai penting agar OTT KPK tidak mengganggu kegiatan formal partai dan agenda politik pejabat publik. Dengan koordinasi, KPK tetap dapat menegakkan hukum secara tegas namun tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.

Sahroni menekankan bahwa OTT harus tetap tegas, adil, dan humanis, serta transparan terhadap publik.

Pun Sahroni menyinggung kasus OTT terhadap Bupati Kolaka Timur Abdul Azis untuk menjelaskan urgensi terminologi yang tepat. Azis ditangkap setelah menghadiri Rakernas Partai NasDem di Makassar, menimbulkan pertanyaan publik mengenai definisi OTT.

Menurut Sahroni, sebaiknya semua pihak ditangkap secara bersamaan agar istilah OTT tetap konsisten dengan pengertian umum. Jika ada yang berpindah lokasi, KPK harus menjelaskan secara rinci agar masyarakat tidak salah menilai prosedur.

OTT bukan hanya soal menangkap orang, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap integritas KPK. Dengan pendekatan ini, istilah OTT menjadi lebih jelas dan prosedur penindakan dapat dipahami masyarakat secara utuh.

Selain menyoroti definisi OTT, Sahroni memberikan saran terkait penindakan KPK. Dia meminta KPK mempertimbangkan perubahan nomenklatur ketika OTT melibatkan lebih dari satu lokasi.

Dengan istilah yang tepat, masyarakat dapat membedakan OTT konvensional dengan OTT versi yang lebih kompleks. Sahroni juga menekankan pentingnya keseimbangan antara ketegasan OTT dan penghormatan terhadap kegiatan resmi politik.

Penangkapan yang tepat waktu dapat mencegah gangguan terhadap agenda formal pejabat publik maupun kegiatan partai. Dengan cara ini, OTT tetap tegas, adil, dan humanis, sekaligus menjaga citra lembaga. Pendekatan transparan dalam OTT akan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses hukum.

Monitorindonesia.com telah berupaya mengonfirmasi hal ini kepada Sahroni. Namun hingga tenggat waktu berita ini diterbitkan, Sahroni belum merespons. Konfirmasi lewat chat WahtsApp ceklis satu. (an)

Topik:

KPK Sahroni DPR OTT KPK