Kasus Pemerasan TKA Kemenaker terjadi Sebelum Era Menaker Ida


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan pemerasan dalam proses pengurusan izin Tenaga Kerja Asing (TKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Bahwa pendalaman ini mencakup periode sebelum tahun 2019, yang berarti sebelum era Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjabat. Penyelidikan ini dilakukan melalui pemeriksaan terhadap dua saksi kunci pada hari ini, Senin (29/9/2025). Adalah Muhammad Tohir alias Doni, seorang agen TKA, dan Bahman Yuda Novendri Yustandra, Direktur Utama PT Laman Davindo.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengklarifikasi apakah permintaan uang dan dugaan pemerasan tersebut telah berlangsung sebelum tahun 2019 atau baru terjadi setelahnya. "Para saksi didalami apakah permintaan uang dan dugaan pemerasan terjadi sebelum tahun 2019 atau sesudahnya,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk mengungkap tuntas jaringan dan rentang waktu dugaan korupsi yang merugikan banyak pihak.
Sebelumnya, pada tanggal 5 Juni 2025, KPK telah mengumumkan identitas delapan individu yang menjadi tersangka dalam kasus pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenaker. Para tersangka ini merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker, meliputi Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut hasil penyelidikan KPK, para tersangka diduga telah mengumpulkan dana sekitar Rp53,7 miliar dari praktik pemerasan pengurusan RPTKA. Dana fantastis ini terkumpul selama kurun waktu 2019 hingga 2024, yang bertepatan dengan masa jabatan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
KPK terus menggali informasi untuk memastikan sejauh mana keterlibatan berbagai pihak dan bagaimana modus operandi ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Kasus ini menyoroti celah dalam sistem birokrasi yang dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
Modus Operasi dan Dampak Pemerasan RPTKA
KPK menjelaskan bahwa RPTKA adalah persyaratan fundamental yang wajib dipenuhi oleh setiap tenaga kerja asing yang ingin bekerja di Indonesia. Tanpa penerbitan RPTKA dari Kemenaker, proses penerbitan izin kerja dan izin tinggal bagi TKA akan mengalami hambatan serius, bahkan tidak dapat diproses.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan, tenaga kerja asing berisiko dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari, sebuah sanksi yang sangat memberatkan. Kondisi ini secara tidak langsung memaksa para pemohon RPTKA untuk memenuhi permintaan uang dari para tersangka agar proses perizinan mereka dapat berjalan lancar.
Praktik pemerasan ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi investasi dan masuknya TKA legal, serta merusak citra tata kelola pemerintahan yang bersih. Dampak negatifnya tidak hanya dirasakan oleh individu TKA, tetapi juga oleh perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Jejak Dugaan Pemerasan Sejak Era Menteri Sebelumnya
Informasi yang diungkap KPK menunjukkan bahwa dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA ini diduga telah terjadi sejak lama. Praktik serupa disinyalir sudah berlangsung sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009-2014.
Setelah itu, praktik ini diduga dilanjutkan pada masa kepemimpinan Hanif Dhakiri yang menjabat pada periode 2014-2019, dan kemudian berlanjut hingga era Ida Fauziyah pada 2019–2024. Pola berulang ini mengindikasikan adanya sistem yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Menindaklanjuti temuan ini, KPK telah melakukan penahanan terhadap delapan tersangka yang terlibat. Kloter pertama penahanan empat tersangka dilakukan pada 17 Juli 2025, diikuti oleh kloter kedua pada 24 Juli 2025, menunjukkan keseriusan KPK dalam memberantas praktik korupsi ini.
Topik:
KPK