Ingar Bingar Kuota Haji 2024: Pansus Mempasus Siapa? KPK Bidik Siapa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Agustus 2024 3 jam yang lalu
Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU) melaporkan Menag, Yaqut Qoulik Choumas ke KPK (Foto: Dok MI/Aswan)
Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU) melaporkan Menag, Yaqut Qoulik Choumas ke KPK (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Dugaan praktik korupsi dalam pembagian kuota yang melibatkan pengelola haji khusus hingga sang Menteri Agama dan Wakilnya menyeruak. Kalau pun itu ada, lantas apakah penelusurannya harus lewat pansus? 

Waktu kerja mereka kan sangat mepet. Kenapa tidak langsung saja data-datanya disampaikan ke KPK? Tak heran bila asumsi liar berkembang kemudian bahwa Pansus Haji ini cuma taktik licik segelintir politisi.

Salah satunya dugaan untuk mem-faith accomply pemerintahan baru agar membentuk kementerian atau badan baru yang khusus mengurusi soal haji, terpisah dari Kementerian Agama (Kemenag).

Seandainya penghuni Senayan (DPR) dan para oknum di dalamnya benar bekerja dan mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukan untuk ambisi-ambisi tertentu, sebetulnya masih banyak isu lain yang lebih substansial untuk dipansuskan. 

Judi online, penipuan online, pencurian data pribadi atau bobolnya server Pusat Data Nasional, misalnya. Karena semua itu benar-benar menggelisahkan publik ketimbang persoalan haji yang tidak masif, tidak terstruktur, dan tidak meluas.

Kembali kepada problem kuota haji 2024. Arab Saudi telah menetapkan kuota haji Indonesia 1445 H/2024 M sebanyak 241.000. Jumlah ini terdiri atas 221.000 kuota normal dan 20.000 kuota tambahan.

Di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, kuota haji Indonesia tahun ini mencapai 241.000 jemaah. Jumlah ini terdiri atas 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus. 

Dalam Pasal 64 ayat 2 UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah memang menyatakan kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. Namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menafsirkan ketentuan itu berlaku untuk kuota pokok.

Untuk kuota tambahan ketentuannya merujuk Pasal 9 yang menyatakan; ayat (1): Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2, Menteri menetapkan kuota tambahan. Ayat (2): Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri. Jadi secara normatif pembagian kuota tambahan merupakan kewenangan Menteri Agama.

Kuota haji 2024 ini merupakan kuota haji terbanyak dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.

Monitorindonesia.com, mencatat data kuota jemaah haji reguler yang tiba di Arab Saudi dalam 8 tahun terakhir penyelenggaraan haji, sebagai berikut:
1. 2015: kuota 155.200, sisa 744 (0,48%)
2. 2016: kuota 155.200, sisa 759 (0,49%)
3. 2017: kuota 204.000, sisa 935 (0,46%)
4. 2018: kuota 204.000, sisa 649 (0,32%)
5. 2019: kuota 214.000, sisa 1.268 (0,59%)
6. 2022: kuota 92.825, sisa 157 (0,17%)
7. 2023: kuota 210. 680, sisa 898 (0,43%)
8. 2024: kuota 213.320, sisa 45 (0,02%)

https://www.monitorindonesia.com/storage/news/image/pansus-angket-haji.webp
Jamaah Haji Maluku Utara tahun 2022 pada saat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar (Foto: Dok MI/Rais Dero)

 

Adapun Keputusan Presiden (Keppres) tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat sudah terbit. 

Keppres Nomor 6 tahun 2024 ini ditandatangani Presiden pada 9 Januari 2024. Keppres ini mengatur Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) per embarkasi. Ketentuan biaya ini berlaku bagi jemaah haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan lbadah Haji dan Umrah (KBIHU).

Berikut Besaran Bipih Jemaah Haji: 
1. Embarkasi Aceh sebesar Rp49.995.870,00
2. Embarkasi Medan sebesar Rp51.145.139,00
3. Embarkasi Batam sebesar Rp53.833.934,00
4. Embarkasi Padang sebesar Rp51.739.357,00
5. Embarkasi Palembang sebesar Rp53.943.134,00
6. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede dan Bekasi) sebesar Rp58.498.334,00
7. Embarkasi Solo sebesar Rp58.562.008,00
8. Embarkasi Surabaya sebesar Rp60.526.334,00
9. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp56.510.444,00
10. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp56.471.105,00
11. Embarkasi Makassar sebesar Rp60.245.355,00
12. Embarkasi Lombok sebesar Rp58.630.888,00
13. Embarkasi Kertajati sebesar Rp58.498.334,00

Besaran Bipih jemaah haji ini dipergunakan untuk biaya: penerbangan haji, akomodasi Makkah, sebagian biaya akomodasi Madinah, biaya hidup (living cost), dan visa.

Berikut besaran Bipih PHD dan Pembimbing KBIHU:
1. Embarkasi Aceh sebesar Rp87.359.984,00
2. Embarkasi Medan sebesar Rp88.509.253,00
3. Embarkasi Batam sebesar Rp91.198.048,00
4. Embarkasi Padang sebesar Rp89.103.471,00
5. Embarkasi Palembang sebesar Rp91.307.248,00
6. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede dan Bekasi) sebesar Rp95.862.448,00
7. Embarkasi Solo sebesar Rp95.926.122,00
8. Embarkasi Surabaya sebesar Rp97.890.448,00
9. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp93.874.558,00
10. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp93.835.219,00
11. Embarkasi Makassar sebesar Rp97.609.469,00
12. Embarkasi Lombok sebesar Rp95.995.002,00
13. Embarkasi Kertajati sebesar Rp95.862.448,00

Bipih PHD dan KBIHU ini dipergunakan untuk biaya penerbangan; akomodasi; konsumsi; transportasi; pelayanan di Arafah, Mudzalifah, dan Mina; pelindungan; pelayanan di embarkasi atau debarkasi; pelayanan keimigrasian; premi asuransi dan pelindungan lainnya; dokumen perjalanan; biaya hidup (living cost); pembinaan jemaah haji di tanah air dan Arab Saudi; pelayanan umum di dalam negeri dan Arab Saudi; dan pengelolaan BPIH

Keppres juga mengatur tentang Besaran BPIH Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Nilai Manfaat yang digunakan untuk membayar selisih BPIH dengan besaran Bipih sebesar Rp8.200.040.638.567,00. Sementara Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Khusus sebesar Rp14.558.658.000,00.

Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Agama (Kemenag) sebelumnya menyepakati biaya haji tahun 2023 sebesar Rp90.050.637,26. Kesepakatan ini diperoleh setelah Panitia Kerja (Panja) BPIH 1444 H/2023 M melakukan serangkaian diskusi panjang, membahas usulan biaya haji pemerintah. 

Pada 19 Januari 2023, pemerintah mengajukan usulan BPIH dengan rata-rata sebesar Rp98.893.909,11 dengan komposisi Bipih sebesar Rp69.193.734,00 (70%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29.700.175,11 (30%). 

Namun, skema atau komposisi tersebut mendapat reaksi keras dari Komisi VIII DPR RI. Singkat cerita, akhirnya pada, Rabu (15/02/2023) malam, pemerintah dan DPR menyepakati biaya haji putus diangka Rp 90.050.637,26. 

Berdasarkan dokumen kesimpulan rapat kerja (Raker) Komisi VIII DPR RI dengan Kemenag, Rabu (15/2/2023) malam, yang didapat tim redaksi Monitorindonesia.com dari sumber terpercaya, biaya haji sebesar Rp 90 juta tersebut terdiri atas sejumlah komponen. 

Berikut paparan dokumen rincian biaya haji tahun 2023 yang telah disepakati DPR dan pemerintah yang berhasil didapatkan: 

Pada Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Agama RI dengan agenda "Pengesahan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1444 H/2023 M,” disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 

1. Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI menyepakati: 

a. Asumsi nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika (USD) dan Saudi Arabian Riyal (SAR) yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPIH adalah; 

1) 1 USD sebesar Rp15.150. 

2) 1 SAR sebesar Rp4.040,- 

b. Transaksi biaya operasional haji di Arab Saudi menggunakan mata uang Saudi Arabian Riyal (SAR), 

c. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) segera melakukan pengadaan mata uang asing yang dibutuhkan untuk biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji Tahun 1444 H/2023 M dengan harga terbaik dan dengan prinsłp. syari'ah, efisien, optimal, kehati-hatian, serta likuid. 

https://monitorindonesia.com/2023/02/Kesimpulan-Raker-Komisi-VIII-DPR-dengan-Kemenag-RI.jpg
2. Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI menyepaketi besaran rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1444 H/2023 M per jemaah untuk jemaah haji reguler sebesar Rp90.050.637,26 yang terdiri dari: 

a. Biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung Oleh jemaah haji rata-rata per jemaah sebesar Rp49.812.700,26,- atau sebesar 55,3%, meiiputi biaya penerbangan, biaya hidup (living cost), dan sebagian biaya paket layanan masyair. 

b. Biaya yang bersumber dari Nilai Manfaat keuangan haji rata-rata per jemaah sebesar Rp40.237.937 atau sebesar 44.7%, meliputi komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi meliputi akomodasi, konsumsi, transportasi, pelayanen di Armuzna, pelindungan, dan dokumen perjalanan, serta komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji di dalam negeri. 

Secara keseluruhan nilai manfaat yang digunakan sebesar Rp8.090.360.327.213,67. 3. Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI menyepakati besaran BPIH lunas tunda tahun 1441 H/2020 M sebagai berikut: 

a. Jemaah haji lunas tunda tahun 1441 H/2020 M sebanyak 84.609 jemaah yang diberangkatkan pada tahun 1444 H/2023 M tidak dibebankan tambahan biaya pelunasan. 

b, BPKH mendistribusikan nilai manfaat yang bersumber dari akumulasi nilai manfaat sehingga tidak ada setoran lunas untuk jemaah Junas tunda tahun 2020 sebesar Rp845.708.000.000.

4. Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI menyepakati bahwa dengan besaran Bipih sebagaimana diuraikan pada angka 2 di atas, diberlakukan pengelompokkan besaran pelunasan dengan pertimbangan aspek keadilan, pada kelompok jemaah haji sebagai berikut: 

a. Jemaah haji lunas tunda tahun 1443 H/2022 M sebanyak 9.864 jemaah yang diberangkatkan pada tahun 1444 H/2023 M dibebankan tambahan biaya pelunasan sebesar Rp9.4 juta. 

b. Jemaah haji tahun 1444 H/2023 M sebanyak 106.590 jemaah dibebankan tambahan biaya pelunasan sebesar Rp23.5 juta. 5. Nilai Manfaat Keuangan Haji yang digunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji Tahun 1444 H/2023 M bersumber dari: 

a. Nilai manfaat keuangan haji tahun berjalan. b. Rekening Virtual jemaah haji yang berangkat di tahun berjalan. c. Saldo akumulasi Nilai Manfaat Keuangan Haji. 

6. Komisi VIII DPR RI menyetujui besaran Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPKH meliputi: 

a. Besaran Nilai Manfaat Keuangan Haji tahun berjalan yang digunakan untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1444 H/ 2023 M diproyeksikan sebesar Rp7.1 Triliun. 

b.  Alokasi nilai manfaat yang didistribusikan untuk Rekening Virtual sebesar Rp2.1 Triliun. 

Dengan catatan persetujuan tersebut dapat direvisi jika terdapat perubahan pada perolehan atau kinerja pengelolaan keuangan haji di tahun berjalan. 

Selanjutnya, Komisi VIII DPR RI mendorong BPKH untuk meningkatkan capaian persentase nilai manfaat secara berkala untuk mendukung keberlangsungan keuangan haji. 

7. Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI menyepakati: 

a. Jumlah lama masa tinggal Jemaah haji di Arab Saudi sebanyak 40 (empat puluh) hari. 

b. Jumlah makan di Madinah sebanyak 18 kali dan di Mekkah sebanyak 44 kali (termasuk 4 kali pada dua hari menjelang Armuzna). 

c. Menu katering untuk Jemaah haji harus bercita rasa Nusantara dan berbahan baku serta pekerjanya berasal dari Indonesia. Living cost (biaya hidup) bagi jemaah haji, PHD, dan KBIHU dikembalikan dalam mata uang Rupiah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) untuk Petugas Haji Daerah (PHD) dan Pembimbing KBIHU tidak mendapat dukungan dari dana nilai manfaat keuangan haji, sehingga besaran rata-rata Bipih untuk PHD dan Pembimbing KBIHU Tahun 1444 H/2023 M adalah sebesar Rp90.050.637,26 per jamaah. 

d. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Jemaah haji dan optimalisasi penyerapan anggaran, dapat dilakukan realokasi/pergeseran antar komponen anggaran yang telah ditetapkan, yang diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI. 

8. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Panja Komisi VIII DPR RI tentang BPIH Tahun 1444 H/2023 M dan Panja Pemerintah menyepakati: 

a. Kuota untuk petugas haji sesuai alokasi dari Pemerintah Arab Saudi sebanyak 4.200 orang. 

b. Jumlah kuota untuk pengawas adalah sebanyak 4% dari jumlah kuota petugas atau sebanyak 168 orang. 

c. Jumlah kuota untuk pengawas internal sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah kuota pengawas atau sebanyak 67 orang dan jumlah kuota pengawas eksternal 60% (enam puluh persen) dari jumlah kuota pengawas atau sebanyak 101 orang. 

d. Kuota untuk pengawas eksternal diperuntukkan bagi DPR RI sebanyak 84 orang, DPD RI sebanyak 5 orang, dan BPK RI sebanyak 12 orang.

9. Komisi VIII DPR RI meminta Kementerian Agama RI Pemerintah untuk: 

a. Memastikan tercapainya kualitas pelayanan, pembinaan, dan perlindungan terhadap jemaah haji yang optimal sejak sebelum, pada saat, dan setelah pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji. 

b. Melakukan revisi PMA mengenai rasionalisasi besaran Setoran Awal pendaftaran haji. 

c. Menetapkan kebijakan rasionalisasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) sesuai dengan kondisi ekonomi secara berkala. 

d. Mendorong jemaah haji tunggu untuk mencicil setoran lunas secara periodik hingga mendekati besaran Bipih pada tahun berjalan agar jemaah tidak terlalu berat pada saat pelunasan. 

e. Mengintensifkan bimbingan manasik terhadap jemaah haji dan manasik khusus bagi jemaah haji lanjut usia dan penyandang disabilitas. Menginventarisasi aset Barang Milik Haji (BMH) dan mengupayakan perpindahan status aset BMH ke Barang Milik Negara (BMN) secara berkala. g. Memperbaiki perencanaan penyusunan BPIH dengan menindaklanjuti temuan BPK. h. Meningkatkan diplomasi dan lobi untuk mengupayakan tambahan kuota haji tahun berjalan. 

i. Merekomendasikan kebijakan agar jika terdapat tambahan kuota dapat dialokasikan untuk jemaah haji reguler dengan pembebanan biaya BPIH penuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

j. Merekomendasikan untuk membicarakan dengan berbagai pihak mengenai kuota haji reguler yang tidak terserap pada tahun berjalan untuk dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

k. Besaran nilai manfaat Haji Khusus akan dilakukan pembahasan dalam rapat secara khusus. Lebih jelasnya lagi, dapat melihat Dokumen Pengesahan BPIH ini, disini 'Pengesahan BPIH 2023' .

Kuota haji 2024 jadi persoalan
Kuota haji tahun 2024 menjadi persoalan berujung Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas  dan Wakil Menteri Agama (Wamenag) Saiful Rahmat Dasuki di laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU).

Bukan tanpa alasan mereka mengadu ke lembaga anti rasuah itu, soal dalam Rapat Panja Haji terkait Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2024 bersama Menteri Agama pada 27 November 2023 menyepakati bahwa  kuota haji Indonesia 2024 sebanyak 241.000 jemaah. Rinciannya, jemaah haji regular sebanyak 221.720 orang dan jemaah haji khusus sejumlah 19.280 orang.

Sedangkan pada saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR bersama Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada 20 Mei 2024, terungkap Kemenag menetapkan secara sepihak kuota haji reguler menjadi 213.320 dan kuota haji khusus menjadi 27.680.

Dengan kata lain, diduga mengurangi jatah kuota haji reguler sebanyak 8.400 orang karena dialihkan untuk jemaah haji khusus. Gambu menilai ada dugaan penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan itu terkait pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sebanyak 50 persen secara sepihak.

"Kami selaku pelapor mohon kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkenan memanggil para terlapor tersebut. Serta, pihak-pihak yang terkait untuk dilakukan pemeriksaan sesuai ketentuan hukum yang berlaku," kata Ketua GAMBU, Arya di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Rabu (31/7/2024).

Pengalihan kuota haji khusus dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Berdasarkan UU, kuota haji khusus ditetapkan hanya sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. 

Pengalihan kuota haji itu membuat publik heran sekaligus miris dengan langkah Kemenag di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil. "Karena ada dugaan seorang Menteri yang  melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang," katanya.

Maka, Gambu mendesak KPK memerika Menag Yaqut Cholil. Selain itu, mendorong Pansus Angket Haji DPR untuk segera membongkar skandal kuota haji ini agar publik mengetahui secara terang benderang. 

Sementara itu, KPK menyambut baik langkah DPR RI yang membentuk Pansus Hak Angket Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2024. "KPK menyambut positif pansus yang dibuat," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika dalam keterangannya, Jumat (12/7/2024).

Juru Bicara KPK RI Tessa Mahardika Sugiarto
Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto (Foto: Dok MI)

KPK akan melihat kapasitasnya jika ada permintaan dari DPR RI untuk mendampingi. KPK siap dilibatkan jika ada indikasi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji.

"Mungkin apabila ditemukan ada indikasi korupsi di situ, baru nanti, baik itu pencegahan maupun penindakan bisa turun. Tapi tentunya sejauh ini kita belum ada tindakan apa pun. Tapi pada prinsipnya KPK menyambut positif," kata Tessa.

Adapun pansus Angket Haji 2024 disepakati DPR dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Selasa 9 Juli 2024 kemarin. Anggota Pansus terdiri dari anggota-anggota Fraksi DPR lintas Komisi, yang artinya bukan hanya dari Komisi VIII DPR sebagai mitra dari Kementerian Agama (Kemenag). 

DPR minta KPK turun tangan
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil meminta KPK ikut turun tangan mendalami dugaan korupsi kuota jemaah dalam pelaksanaan haji 2024.
Dugaan penyalahgunaan jatah kuota tambahan jemaah haji itu sudah jadi salah satu sorotan Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR. 

"KPK diharapkan menerima laporan tersebut dan menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku," kata Nasir dalam keterangannya, Jumat (2/8/2024).

Menurut dia, meski sebagian pihak menilai pelaksanaan haji tahun ini lebih baik, pembentukan Pansus Haji oleh DPR menunjukkan dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan haji.

nasir djamil
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil (Foto: Dok MI)

Nasir ingin aspek akomodasi, transportasi, bahan makanan, dan kuota khusus yang diberikan pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia didalami KPK.

"Komisi III DPR RI berprasangka baik kepada KPK bahwa lembaga anti rasuah ini punya concern untuk menertibkan pelaksanaan ibadah Haji," kata politisi PKS itu.

Sementara itu, Menag Yaqut telah memastikan tak ada penyalahgunaan alokasi kuota tambahan operasional ibadah haji 2024. Dia menjelaskan, kuota haji untuk Indonesia pada tahun ini mencapai 221.000 orang, terdiri dari 203.320 haji reguler dan 17.680 haji khusus.

Di luar itu, Indonesia mendapat kuota tambahan sebanyak 20.000 yang lantas dibagi menjadi 10.000 haji reguler dan 10.000 haji khusus. "Kami tidak menyalahgunakan dan insya Allah kami jalankan amanah ini sebaik-baiknya," ucap Yaqut pada Juni lalu di Madinah.

Pansus bidik siapa?
Belum banyak catatan dalam sejarah tata kelola kenegaraan, urusan ibadah didekati lewat salah satu alat kelengkapan lembaga legislatif, yaitu penggunaan hak angket dengan membentuk panitia khusus (pansus).

Sejumlah pembangunan rumah ibadah yang sering menimbulkan ketegangan, belum pernah diselesaikan lewat hak angket. Demikian juga kasus keagamaan lain.

Anggota Panitia Khusus (Pansus) Angket Pengawasan Haji DPR RI

Anggota Pansus angket haji DPR, Luluk Nur Hamidah
 Luluk Nur Hamida (Foto: Dok MI)

h menyampaikan bahwa keberadaan Pansus bertujuan, antara lain untuk mengupayakan penyelenggaraan haji yang lebih baik. “Kita ingin membangun ekosistem haji yang jauh lebih baik, transparan, komprehensif hulu-hilir, ramah lansia dan perempuan, serta memperkuat dimensi lain yang seharusnya juga diperkuat,” kata Luluk.

Pansus Angket Haji pun akan mengajukan permohonan kepada pimpinan DPR agar mereka tetap dapat melaksanakan rapat selama masa reses yang dijadwalkan dimulai pada 12 Juli mendatang.  Sementara itu masa kerja DPRRI Periode 2019-2024 segera berakhir. 

Apakah Pansus ini nanti nasibnya sama dengan beberapa Pansus terdahulu yang layu sebelum berkembang?

Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPRRI yang memimpin rapat pembentukan Pansus, mengatakan pula bahwa pembentukan pansus itu beserta komposisi keanggotaannya sudah sesuai dengan tata tertib yang berlaku, dimana Anggota Pansus terdiri dari Fraksi PDI Perjuangan (tujuh orang), Partai Golkar (4), Partai Gerindra (4), Partai NasDem (3), Partai Demokrat (3), PKS (3), PAN (2), dan PPP (1)

Hak Angket DPR adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh DPR yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Panitia angket DPR melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama enam puluh hari sejak dibentuknya panitia angket. Rapat paripurna DPR kemudian mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. 

"Terkesan Pansus ini ambisius dan dipaksakan. Yang dipansus siapa?," tanya Abidinsyah Siregar, mantan Komsioner KPHI (2013-2019) kepada Monitorindonesia.com, Selasa (16/7/2024).

https://www.monitorindonesia.com/storage/news/image/pansus-angket-haji-1.webp
Abidinsyah Siregar, Mantan Komsioner KPHI (2013-2019), Sekretaris Jenderal PP IPHI dan Ketua Umum BPP Observasi Kesehatan Indonesia (Foto: Dok MI)

Menurutnya, yang menjadi dasar dan pintu masuk terjadinya Pansus atas penyelenggaraan haji tidak terpisah dengan sejauh mana fungsi-fungsi dijelaskan dan dibagi sesuai tata kelola pemerintahan yang benar. 

Dalam Penyelenggaraan Haji dan Umroh, tentu jelas siapa sebagai Pembuat Regulasi/ Undang-Undang (DPR dan Pemerintah/Presiden). Selanjutnya Siapa Penyelenggaran/Implementator dari Penyelenggara (dalam hal ini tentu Kementerian Agama dan Kementeraian lainnya yang terkait dalam kordinasi Menteri Agama dibawah supervisi Kemenko PMK).

"Selanjutnya siapa pengawasnya (yang tentu dari masyarakat yang sifatnya merupakan kelembagaan yang independen)," kata Abdinsyah yang juga Sekretaris Jenderal PP IPHI.

Undang-Undang yang mampu merepresentasikan hal di atas dengan tujuan mendorong peningkatan jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, sekaligus kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2OO8 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Terkait evaluasi dan pengawasan, UU No.13 Tahun 2008, dilakukan oleh Komisi Pengawas Haji Dan Umroh yang disebut dalam UU sebagai Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang terdiri dari 7 orang, 3 mewakili Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan Departemen Perhubungan, selebihnya merupakan Tokoh perwakilan Organisasi Keagamaan seperti NU, Muhammadyah dan Tokoh Masyarakat. 

KPHI dibentuk dan dipilih dengan proses yang sangat selektif, (Presiden atas hasil seleksi Kementerian) diajukan kepada DPR RI dan Komisi VIII DPR RI melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Para calon sendiri-sendiri paparan dan menghadapi banyak pertanyaan. Di akhir setiap Sidang Komisi VIII DPR RI diambil Keputusan apakah calon disetujui atau tidak disetujui. Itu sebabnya proses pemilihan anggota Komisioner KPHI berlangsung hampir 3 tahun dan baru dilantik Presiden di Istana Negara pada Maret 2013. 

Awalnya, KPHI dipimpin Slamet Effendi Yusuf (Ketua/Tokoh NU), Imam Addaruqutni (Wakil/Tokoh Muhammadyah) dan  Kol.TNI-AD (Purn) Samidin Nasir (Sekretaris/PurnaBhakti Dep.Agama RI). 

Pada 2 Desember 2015, Slamet Effendi Yusuf wafat dan sebulan kemudian diputuskan dalam Rapat KPHI, digantikan Kol.TNI-AD (Purn) Samidin Nasir sebagai Ketua dengan Sekretaris pengganti Agus Priyanto (Unsur Tokoh Masyarakat).

Dalam Peraturan Presiden No.50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPHI, yang diterbitkan sebagai turunan UU No.8 Tahun 2013 tersebut, disebutkan posisi KPHI sebagai berikut :

1. KPHI dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

2. Tugas: melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.

3. Fungsi (Pasal 12 ayat (4) UU No.13/ 2008).

4. KPHI terdiri atas 9 orang anggota yaitu Unsur Masyarakat 6 orang dan Unsur Pemerintah 3 orang. Dipimpin seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

5. Masa kerja anggota KPHI dijabat selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.

6. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR.

7. KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 kali dalam 1 tahun.

8. Dalam melaksanakan tugasnya KPHI dibantu oleh sekretariat. 
 
Menteri Agama Suryadharma Ali saat itu mengharapkan pengawasan independen dapat dilaksanakan dengan baik. Fungsi pengawasan dari KPHI bisa dilakukan mulai dari tahap perencanaan, penggunaan keuangan dan kebijakan perhajian yang dilaksanakan pemerintah. 

Termasuk pula mengkoordinasikan fungsi pengawasan dari lembaga-lembaga yang ada seperti dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggota DPR RI, DPD RI, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. 

Hasil pengawasan itu, kata dia, bisa disampaikan kepada Presiden. Tidak tertutup kemungkinan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika memang hal itu diperlukan.

Komisi ini juga menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji serta merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji.

Menteri Agama berharap, kredibilitas penyelenggaraan haji harus terus dipertahankan, transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi.

KPHI 2013-2019
KPHI telah berhasil dibentuk pada Maret 2013 dengan dilantiknya para komisioner KPHI periode 2013-2016 yang terdiri dari Slamet Effendi Yusuf (Ketua), Imam Adduuquthni, Agus Priyanto, Syamsul Ma’arif, M. Thoha, Ahmed Macfud (unsur Depag), Abidinsyah Siregar (Unsur Depkes), Samidin Nasir, dan Lilien Ambarwiyati (Unsur Dephub). 

Sebagian kalangan parlemen menilai pembentukan KPHI mubazir. Alasannya, Kemenag sebagai lembaga pembentuk KPHI, namun sebagai kementerian yang juga diawasi KPHI. Kondisi tersebut membuat pengawasan berpotensi tidak efektif. 

Lembaga yang berkantor di bilangan Kramat, Jakarta Pusat itu telah menghasilkan beberapa rekomendasi untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji kepada pemerintah.

Pada periode tersebut setidaknya ada 9 rekomendasi KPHI yang telah dilaporkan kepada Presiden. 

Pertama, pengawasan dari sisi organisasi, tata kerja, dan  petugas. 

Kedua, pengawasan pelaksanaan pembimbingan ibadah. 

Ketiga, pengawasan dari sisi pelayanan akomodasi.

Keempat, pengawasan dari sisi pelayanan transportasi. 

Kelima, pengawasan dari sisi pelayanan konsumsi. Keenam, pengawasan dari isi pelayanan kesehatan. 

Ketujuh, pengawasan dari aspek perlindungan dan pengamanan jamaah. 

Kedelapan Pengawasan dalam Penyelenggaraan Embarkasi dan Debarkasi,

Sembilan, pengawasan terhadap penyelenggaraan haji khusus dan umrah.

Sejak dilantik Maret 2013, komisioner KPHI baru bisa menemui langsung Presiden pada Juni 2016. Sebagaimana dilansir laman setneg.go.id, dalam kesempatan itu, Ketua KPHI Samidin Nasir, menguraikan beberapa hal penting terkait rekomendasi yakni perlunya reformasi di dalam penyelenggaraan haji yang meliputi aspek kelembagaan, tata kelola keuangan, dan operasional pelayanan.

Pada periode 2013-2019, banyak hal dilakukan oleh KPHI untuk memperbaiki kinerja Penyelenggaraan Haji dan Umroh sejalan dengan tugas dan tanggung jawab sebagaimana disebut Pasal 8 ayat 6 UU 13/2008.

Perbaikan meliputi persiapan Embarkasi untuk pemberangkatan juga Debarkasi untuk kesiapan Kedatangan pulang Jamaah selepas berhaji. 

Koordinasi Penerbangan melalui Departemen Perhubungan dan Maskapai Penerbangan untuk kepastian jadwal pemberangkatan dari 9 Embarkasi tepat waktu.

Pemondokan di Makkah, Madinah serta di Arafah dan Mina, Fasilitas dan Perbekalan Kesehatan serta penyiapan Rumah Sakit di Makkah dan di Madinah. 

Transportasi bandara ke Makkah dan Madinah serta Transportasi local, Menu makanan dengan selara Indonesia serta Pemeriksaan Katering beserta bahan baku yang harus mengutamakan bahan dari Indonesia, Pengawasan lapangan dan lain-lain. 

Sementara itu dari angket yang diedarkan KPHI kepada Jamaah, 67% minta pemeriksaan Kesehatan dilakukan 1 (satu) tahun penuh, 28% minta 2 tahun dan sisanya 3-4 tahun. Bisa dibayangkan betapa sehat, bugar dan tangguhnya Jamaah Haji Indonesia jika dipersiapkan kesehatannya dengan maksimal. 

Setiap Tahun KPHI melakukan pengawasan Menyusun Buku Laporan, untuk dilaporkan kepada Presiden RI secara langsung dan mengirimkan Dokumen kepada DPR RI dan Komisi VIII DPRRI serta DPD RI, selain kepada Menteri terkait. 

Respons Pemerintah, dalam hal ini Presiden merasa sangat terbantu untuk melihat secara persis kondisi “beyond the service” sehingga banyak hal bisa diperbaiki secara persis tidak Insidental. Yang tidak nyaman justru kawan-kawan di Kementerian-Kementerian penyelenggara Haji yang mereka akui selalu merasa ada masalah, yang mereka akui sebahagian bukan wewenang mereka. 

Tampak Koordinasi internal dan kolaborasi Lintas Kementerian/Lembaga juga masih lemah. Sepanjang tahun 2013-2019 bersama pengawasan KPHI, selain jamaah semakin puas dalam semua aspek fasilitas dan pelayanan. 

Sementara itu Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan dan Maskapai Penerbangan Indonesia mendapat banyak Pujian dari Pemerintah Arab Saudi dan Asosiasi Haji di Indonesia. 

KPHI tak berumur panjang. Melalui UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, KPHI resmi dibubarkan. 

Beleid yang diundangkan 26 April 2019 itu juga mencabut UU 13/2008. Selaras dengan itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No.112 Tahun 2020 tentang Pembubaran Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura.

Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Olahraga Profesional Indonesia, dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

Melalui beleid tersebut, intinya pemerintah membubarkan sejumlah lembaga, salah satunya KPHI.

Perpres 112/2020 yang ditetapkan 26 November 2020 itu mengamanatkan setelah KPHI dibubarkan tugas dan fungsi lembaga pengawasan haji tersebut dilaksanakan Kemenag.

Undang-Undang 'Siluman'
Pembahasan Undang-Undang Penyelenggaraan Hajji dan Umroh di awal tahun 2019, terjadi mendadak, cepat dan nyaris tak terdengar pembahasannya. Termasuk dalam draf pasal 119 tertulis KPHI dibubarkan. 

Setidaknya ketika KPHI audiensi kepada pihak relevan, yakni kepada Bapak Zulkifli Hasan (Ketua Umum DPP PAN) dan Bapak Suharso Monoarfa (Ketua Umum DPP PPP).

Mereka kaget dan tidak percaya atas adanya pembahasan RUU tersebut, dan akhirnya mereka menemukan bahwa usulan perubahan datang dari Kementerian Agama yang dipimpin Menag H.Lukman Hakim Saifuddin yang katanya tidak nyaman dengan Pengawasan KPHI yang terlalu detail.

Dalam UU terbaru UU No.8 tahun 2019, fungsi pengawasan dilakukan oleh DPR RI dan DPD RI yang diminta melaporkan hasilnya kepada DPR RI

Pansus Hak Angket Mempansus DPR RI dan DPD RI
Nada membahana dari Gedung DPR RI, seakan penyelenggaraan haji sudah sangat buruk, jelek, memuakkan dan harus di Pansus. Tetapi baik buruk penyelenggaraan tugas pemerintahan sangat bergantung pada pengawasan dan evaluasi kerja yang dilakukan lembaga pengawasan yang ditunjuk oleh UU atau Peraturan turunannya.

Dalam UU No.8 tahun 2019, dimana pengawasan yang semula dalam UU terdahulu dilaksanakan oleh KPHI (dibubarkan tanpa alasan). Dan fungsi pengawasan oleh UU ditunjuk dan ditugaskan kepada Kementerian Agama. 

Pasal 3 Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan: 

a. memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sehingga dapat menunaikan ibadahnya 
sesuai dengan ketentuan syariat; dan b. mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Bagian Keenam Pengawasan dan Evaluasi UU No.8 Tahun 2019 Pasal 99 ayat (1) Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. 

Ayat (2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. 

Ayat (3) dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Menteri dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah. 

Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tim koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 34 : Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat.

Pasal 28 ayat (1) Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) paling banyak 4 (empat persen) dari jumlah kuota petugas. 

Ayat (2) Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi pengawas internal sebanyak 40 % (empat puluh persen) dan pengawas eksternal sebanyak 60 % (enam puluh persen) dari jumlah kuota pengawas. 

Ayat (3) Komposisi kuota pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dan ditetapkan dalam rapat pembahasan BPIH antara DPR RI dan Pemerintah. 

Pasal 27 ayat (1) Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas: a. pengawas internal dan b. pengawas eksternal. 

Ayat (2) Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah. Ayat (3) Pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh DPR RI, DPD, dan Badan Pemeriksa Keuangan. 

Ayat (4) Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan hasil pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji kepada DPR RI. 

Ayat (5) Biaya pengawas sebagaimana pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dalam menimbang UU No.8 Tahun 2019, Presiden RI dengan Rahmat  Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu diganti.

Kini Penyelenggaraan Haji tahun 2024 masuk agenda Pansus Hak Angket DPR RI yang sudah disetujui, yang maknanya ada pelanggaran berat dan melanggar UU di dalamnya. 

Pertanyaannya, mengapa Pansus terjadi saat Fungsi Pengawasan beralih dari KPHI (2013-2019) kepada era 2020-2024 dimana DPR RI, DPD RI dan BPK serta Inspektorat Jenderal di kedepankan  melakukan Pengawasan justru terjadi Penyimpangan Berat dan Pelanggaran Undang-Undang?

"Siapa yang pantas di Pansus? Kita tunggu dagelan ini, mau ditendang kemana," demikian Abidinsyah Siregar. (an)