800 Miliar Aset Pemprov Belum Bersertifikat, Gubernur Sherly Desak Percepatan

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 16 Juli 2025 19:20 WIB
Gubernur Malut, Sherly Tjoanda saat memberikan sambutan pada pembukaan Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria Tahun 2025 di Ternate, Rabu 16 Juli 2025. (Foto: Biro Adpim Malut)
Gubernur Malut, Sherly Tjoanda saat memberikan sambutan pada pembukaan Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria Tahun 2025 di Ternate, Rabu 16 Juli 2025. (Foto: Biro Adpim Malut)

Ternate, MI - Gubernur Sherly Tjoanda, secara resmi membuka Rapat Koordinasi Awal Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Maluku Utara (Malut) Tahun 2025, Rabu (16/7), yang digelar oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Malut di Halmahera Room, Bella Hotel, Ternate, Rabu (16/7). Rapat ini berlangsung dalam format hibrida, mengusung tema “Sinergitas Lintas Sektor Dalam Rangka Penyelesaian Konflik Agraria Serta Optimalisasi Potensi Aset dan Akses yang Efektif dan Berkelanjutan.”

Hadir secara virtual Direktur Landreform Kementerian ATR/BPN, Rudi Rubijaya, serta kepala kantor pertanahan dari seluruh kabupaten/kota se-Malut. 

Sementara peserta daring di antaranya perwakilan OPD, Kepolisian, Kejaksaan, praktisi pertanian, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.

Dalam sambutannya, Gubernur Sherly menegaskan bahwa Reforma Agraria bukan sekadar program legalisasi tanah, melainkan upaya strategis negara untuk menciptakan keadilan sosial dengan menata ulang kepemilikan tanah agar tidak hanya dikuasai segelintir pihak. 

Ia menggarisbawahi bahwa kepemilikan lahan harus merata, menyasar kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan, masyarakat adat, hingga kesultanan.

“Negara hadir untuk membagi ulang tanah, agar tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang. Ini soal keadilan, soal kedaulatan tanah bagi rakyat,” ujar Sherly.

Menurut Gubernur, Reforma Agraria terdiri atas tiga pilar penting, yakni penataan aset, penataan akses, dan penyelesaian konflik agraria. 

Ia menjelaskan bahwa setelah tanah diberikan, pemerintah harus menjamin akses permodalan, pelatihan, serta bantuan alat bagi para pemilik lahan agar lahan tersebut produktif dan berdampak nyata pada peningkatan kesejahteraan.

Sherly juga menyoroti maraknya konflik agraria di Malut, terutama akibat tumpang tindih antara tanah adat dan izin pertambangan yang diberikan kepada pihak swasta. 

Kata Sherly, banyak kasus muncul karena tanah adat belum memiliki sertifikat, sehingga masyarakat adat kehilangan landasan hukum saat berhadapan dengan investor.

“Dalam evaluasi selama empat bulan ini, mayoritas tanah adat belum tersertifikasi. Ketika izin tambang dikeluarkan, masyarakat baru sadar itu tanah mereka, tapi tak punya legal standing untuk menuntut ganti rugi,” jelasnya.

Untuk itu, Sherly membuka ruang diskusi soal kemungkinan memasukkan tanah adat ke dalam dokumen RTRW provinsi dan mensertifikasinya secara parsial. 

Menurutnya, legalisasi tanah adat, khususnya yang dimiliki oleh kesultanan, akan membantu memperkuat kemandirian finansial lembaga adat dan membuka peluang kerja sama sah dengan investor.

Ia menyebut ada empat kesultanan besar di Malut yang selama ini tidak memiliki landasan hukum formal atas kepemilikan tanah. Jika tanah-tanah adat itu bisa disertifikasi sesuai undang-undang, maka tanah tersebut bisa disewakan, dijual, atau menjadi dasar tuntutan ganti rugi bila terdampak kegiatan pertambangan.

Lebih jauh, Sherly menyampaikan pentingnya sinkronisasi data spasial antara BPN dan pemerintah daerah untuk menghindari konflik di masa mendatang. 

Ia mengusulkan pembuatan peta digital terintegrasi secara real-time yang menghubungkan 10 kabupaten/kota di Malut dengan dashboard GTRA, OSF, dan PTSP.

“Tahun ini kita harus punya satu peta terintegrasi. Satu data, satu kebijakan. Kalau data sudah sinkron, kita bisa minta bantuan pusat dengan lebih mudah,” tegasnya.

Sebagai bagian dari strategi sosialisasi dan edukasi, Gubernur juga menggagas pembentukan Klinik Agraria Keliling yang menyediakan layanan hukum, mediasi, dan konsultasi di desa-desa. 

Selain itu, ia mendorong pelibatan anak muda melalui Tim Reforma Agraria Muda yang bertugas memberi edukasi publik tentang pentingnya legalitas tanah. Ia menekankan bahwa Reforma Agraria bukan sekadar kegiatan seremonial atau formalitas belaka.

“Kita harus kembalikan tanah kepada rakyat. Ini soal mengurangi kemiskinan struktural dan membangun ekonomi lokal berbasis kedaulatan tanah,” tandas Sherly.

Gubernur juga menyoroti pentingnya percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), mengingat banyak petani dan nelayan yang belum bisa mengakses kredit karena lahannya belum bersertifikat. 

Ia mengaku telah berdiskusi dengan sejumlah kepala daerah agar membebaskan pajak jual beli tanah untuk mendukung program ini.

“Kalau semua lancar, kita targetkan 4.000 sertifikat selesai tahun ini. Dan saya akan undang langsung Menteri ATR ke Maluku Utara,” ujarnya.

Menutup sambutannya, Gubernur menyampaikan apresiasi kepada Kanwil BPN Malut atas komitmen dan sinergi yang telah terbangun. 

Ia menyebut masih ada aset tanah milik Pemprov senilai sekitar Rp800 miliar yang belum bersertifikat. Namun, progres percepatan sertifikasi berjalan cukup baik berkat kerja cepat Kanwil dan kantor pertanahan kabupaten/kota.

“Harapan saya, seluruh aset Pemprov bisa tersertifikasi tahun ini. Setelah itu kita lanjut ke rumah ibadah dan seterusnya,” pungkasnya. (Rais Dero)

Topik:

Gubernur Malut Sherly Tjoanda Pemprov Malut