Kenapa Prof Sofian Tiba-tiba Balik Badan?

Josef Herman Wenas - Analisis Intelijen

Josef Herman Wenas - Analisis Intelijen

Diperbarui 18 Juli 2025 14:17 WIB
Prof. Dr. Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), akhirnya mencabut pernyataan kontroversialnya terkait dugaan keabsahan ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi), yang sempat viral melalui wawancara di kanal YouTube Baligi Akademi.
Prof. Dr. Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), akhirnya mencabut pernyataan kontroversialnya terkait dugaan keabsahan ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi), yang sempat viral melalui wawancara di kanal YouTube Baligi Akademi.

BERKALI-KALI sudah saya sampaikan, dengan metode analisis kronologis banyak hal bisa diungkap dengan jernih. Pada 𝟭𝟲 𝗝𝘂𝗹𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟱, mantan Rektor UGM Prof Sofian Effendi memberikan pernyataan yang berbeda sama sekali dari keterangan resmi UGM pada 𝟭𝟱 𝗔𝗽𝗿𝗶𝗹 𝟮𝟬𝟮𝟱 (lihat 𝘴𝘤𝘳𝘦𝘦𝘯𝘴𝘩𝘰𝘵 terkait). 

Pernyataan 16 Juli 2025 dari Prof Sofian Effendi pada intinya menyatakan Joko Widodo 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗹𝘂𝗹𝘂𝘀 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗨𝗚𝗠, lalu 𝗵𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗴𝗲𝗹𝗮𝗿 𝗦𝗮𝗿𝗷𝗮𝗻𝗮 𝗠𝘂𝗱𝗮, dan karena itu 𝘀𝗸𝗿𝗶𝗽𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗱𝗶𝘂𝗷𝗶 sebagai syarat meraih gelar sarjana (S-1). 

Tetapi kurang dari 24 jam kemudian, pada 17 Juli 2025, pernyataan ini dikoreksi oleh yang bersangkutan sebagaimana juga bisa dilihat pada 𝘴𝘤𝘳𝘦𝘦𝘯𝘴𝘩𝘰𝘵 terkait.

Dengan demikian, sekarang ini baik dari pihak otoritas resmi UGM, maupun mereka yang merupakan bagian keluarga besar UGM (termasuk Sofian Effendi), berada pada barisan keterangan resmi UGM versi 15 April 2025, bahwa: 

“𝗝𝗼𝗸𝗼 𝗪𝗶𝗱𝗼𝗱𝗼 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗹𝘂𝗺𝗻𝘂𝘀 𝗙𝗮𝗸𝘂𝗹𝘁𝗮𝘀 𝗞𝗲𝗵𝘂𝘁𝗮𝗻𝗮𝗻 𝗨𝗻𝗶𝘃𝗲𝗿𝘀𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗚𝗮𝗱𝗷𝗮𝗵 𝗠𝗮𝗱𝗮 (UGM). Yang bersangkutan telah melaksanakan seluruh proses studi yang dimulai 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝘁𝗮𝗵𝘂𝗻 𝟭𝟵𝟴𝟬 dengan nomor mahasiswa 𝟴𝟬/𝟯𝟰𝟰𝟭𝟲/𝗞𝗧/𝟭𝟲𝟴𝟭, dan 𝗹𝘂𝗹𝘂𝘀 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹 𝟱 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿 𝟭𝟵𝟴𝟱.”

Keterangan kontroversial Prof Sofian Effendi yang sempat viral beberapa jam itu, memang sewarasnya perlu dicabut. Dan untungnya yang bersangkutan masih waras. 

Alasannya? Keterangan itu 𝘤𝘩𝘳𝘰𝘯𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪𝘤𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘪𝘯𝘢𝘤𝘤𝘶𝘳𝘢𝘵𝘦. Begini…

Prof Sofian Effendi jadi rektor UGM antara 2002-2007. Itu artinya, 17 tahun setelah Joko Widodo lulus dari Fakultas Kehutanan UGM. Maka, sebagai rektor UGM, Prof Sofian dipastikan tidak mengenal dan tidak mengetahui sepak terjang sosok mahasiswa yang namanya Joko Widodo— sebab yang bersangkutan sudah lulus 17 tahun sebelumnya!

Rektor yang menandatangani ijazah Joko Widodo adalah Prof. Teuku Jacob (periode 1981-1986), bukan Prof Sofian Effendi (periode 2002-2007). Posisi rektor memang punya kewenangan lintas fakultas untuk berbagai urusan, baik akademik maupun administratif. 

Tetapi Sofian Effendi bukanlah Rektor UGM pada saat Joko Widodo masih sebagai mahasiswa antara 1980-1985. Saat itu, ada dimana dia?

Antara 1981-1986, Sofian adalah Direktur Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Dari posisi ini, Sofian sama sekali tidak ada kepentingan, juga tidak punya kewenangan apapun, atas urusan akademik maupun administrasi di Fakultas Kehutanan UGM! Itu dua dunia yang beda banget. Tidak ada hubungannya.

Maka, baik antara 2002-2007 (sebagai Rektor UGM), maupun antara 1981-1986 (sebagai Direktur Pascasarjana FISIP UGM), Sofian Effendi tidak punya kaitan akademik dan administratif sama sekali dengan sosok mahasiswa Fakultas Kehutanan (bernomor 80/34416/KT/1681) yang namanya Joko Widodo.

Dengan demikian bisa dipastikan pernyataan kontroversial Sofian Effendi— yang telah dibantahnya sendiri itu— bukan didasarkan pada pengalaman pribadinya secara langsung dengan Joko Widodo. 

Tetapi, pasti didasarkan pada informasi pihak ketiga! Pertanyaannya: Mengapa Prof Sofian Effendi membiarkan mulutnya dimanfaatkan oleh pihak ketiga ini?

Sekarang soal gelar Sarjana Muda, yang dilabelkan Prof Sofian Effendi kepada Joko Widodo. Hal ini juga 𝘤𝘩𝘳𝘰𝘯𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪𝘤𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘪𝘯𝘢𝘤𝘤𝘶𝘳𝘢𝘵𝘦. Konteks historisnya sangat ngawur.

Faktanya, UGM mulai menerapkan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) pada tahun 1979. Penerapan sistem SKS ini sejalan dengan turunnya SK Mendikbud Daoed Joesoef No. 0124/U/1979. 

Mereka yang paham sejarah pergerakan mahasiswa di era1970-an mesti tahu kalau (1)𝘀𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺 𝗦𝗞𝗦 dan (2)𝗸𝗲𝗯𝗶𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗡𝗞𝗞/𝗕𝗞𝗞 (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang arsiteknya memang tokoh CSIS ini, merupakan satu tarikan nafas.

Apa tujuannya? Untuk mengembalikan perguruan tinggi (PT) sebagai komunitas ilmiah. Sejak peristiwa Malari (1974), hingga “pledoi” mahasiwa ITB dengan judul “Indonesia dibawah Sepatu Lars” (1977-78), rezim Orde Baru sulit melaksanakan pembangunan dengan tertib. Kelompok Cipayung terlalu kritis dan terlalu sering bikin onar.

Belum lagi para jenderal seperti AH Nasution, M Yasin, HR Dharsono, AY Mokoginta, Ali Sadikin, juga pada mulai bermanuver politik. Di kemudian hari mereka dikenal sebagai kelompok PETISI 50.

Dari kacamata politik, penerapan sistem SKS dan NKK/BKK ini adalah cara untuk menjinakkan mahasiswa dari "racun" dunia politik. Pada akhirnya, penerapan sistem SKS di seluruh PT di Indonesia— baik negeri maupun swasta— secara resmi dimulai pada tahun 1983. 

Tetapi, untuk PT negeri, kurikulum SKS ini sudah diberlakukan sejak tahun 1979. Memang dilakukan secara bertahap. PT swasta seperti Parahyangan, Trisakti, Atma Jaya, baru belakangan, dimulai pada tahun 1983.

Ini artinya, sudah sejak 1979, di berbagai PT negeri, sistem modul yang memang mengenal tahap Sarjana Muda setelah tahun ketiga masa studi, resmi dihapuskan. Digantikan ke program Diploma yang tekanannya lebih vokasional. 

Dengan kata lain kualifikasi Sarjana Muda itu ekuivalen dengan Diploma 3, dan memiliki jalur akademik tersendiri. Tidak lagi di jalur bakelorat yang langsung meraih gelar sarjana (sekarang S-1), setelah memiliki sekitar 144-160 SKS. 

Dulu, istilah Latin “doktorandus” (ditulis “drs.”) untuk seorang sarjana, itu artinya adalah “calon doktor” sebetulnya. 

Gelar saya sebagai sarjana di awal dekade 1990-an, masih ditulis sebagai “drs.” Artinya sebenarnya adalah, saya baru selesai di tahap-1 dari tiga tingkatan studi yang seharusnya. 

Dan baru akan tuntas bila saya telah menyelesaikan tingkat doktoral saya (S-3). Itu sebabnya Mohammad Hatta juga gelar akademiknya adalah "drs.", sebab beliau belum menyelesaikan tingkat dokroralnya di Erasmus Universiteit Rotterdam. Gelar "doktor" untuk Hatta itu secara 𝘩𝘰𝘯𝘰𝘳𝘪𝘴 𝘤𝘢𝘶𝘴𝘢, dari UGM, sejak November 1956. 

Maka, siapapun yang  mengatakan Joko Widodo hanya studi sampai tingkat Sarjana Muda di tahun 1985, sudah pasti sedang mengacaukan kronologi sejarah sistem pendidikan tinggi di negeri ini. Entah karena miskinnya wawasan, atau sengaja demi pembodohan publik. 

Apalagi kalau yang ngomong adalah mantan Rektor UGM yang menyandang gelar guru besar. Itu jelas suatu kebodohan yang amat memalukan.  Saya kira inilah alasannya kenapa Prof Sofian Effendi langsung mencabut pernyataannya. Tidak sampai 24 jam setelah viral.

Topik:

UGM Prof Sofian Effendi Ijazah Palsu Jokowi Jokowi Ijazah Jokowi