Jalan Berbayar di Mata Pengamat Transportasi, Efektif atau Tidak?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 1 Februari 2023 11:18 WIB
Jakarta, MI - Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar dinisebut-sebut sebagai solusi kemacetan di DKI Jakarta. Meski begitu, kebijakan ini akan sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat kecil yang menggunakan kendaraan bermotor dalam mencari nafkah. Misalnya saja, ojek online (Ojol) maupun ojek pangkalan, plat nomor mereka belum masuk dalam pengecualian ERP. Namun seluruh pekerja transportasi online memprotes kebijakan ini. Beberapa demo diorganisir untuk sama-sama menentang kebijakan ERP. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno, menilai jika kebijakan ERP cukup efektif untuk mengurai kemacetan. Pasalnya, kata dia, di beberapa negara seperti Singapura dan Swedia kebijakan ERP justru menekan angka penggunaan kendaraan pribadi 10-25 persen. Singapura adalah negara pertama yang mengaplikasikan ERP tahun 1998, awalnya disebut urban road user charging. Sebelum ERP, Singapura menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS). Tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP). “Jenis pemungutan congestion charging di 42 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara 0,40 USD – 6,20 USD, beroperasi mulai jam 07.00 hingga 21.30 dan tarif bisa berubah sesuai dengan jam. Pemasukan bruto per tahun 65 juta USD dan biaya operasional 12,25 juta USD (19 persen). Terjadi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 25 persen,” jelas Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu kepada wartawan, Rabu (1/2). Di Oslo, Norwegia, lanjut Djoko, jenis pemungutan revenue generation yang memiliki 27 titik pembayaran itu memasang tarif antara 5,00 USD – 18,00 USD dan beroperasi selama 24 jam untuk tujuh hari dalam seminggu. Pemasukan bruto per tahun 400 juta USD dengan  biaya operasional 45 juta USD atau 11 persen. Dengan kebijakan ini, terjadi penurunan lalu lintas sebesar 10 persen. Kemonceran ERP di beberapa negara terbukti ampuh dalam mengurangi volume penggunaan kendaraan pribadi. Banyak warga yang kemudian memilih untuk menggunakan kendaraan umum. Akan tetapi, dalam prakteknya, meski kendaraan umum di Jakarta sudah termasuk mencukupi kebutuhan hingga 92 persen, pertanyaan  tentang bagaimana dengan warga Bodetabek yang harus bekerja di Jakarta? Setijowarno menerangkan, perlu adanya perbaikan angkutan umum khususnya di sekitar Bodetabek. “Yang masih menjadi masalah atau kendala adalah bagi warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta yang belum memiliki jaringan angkutan umum dari kawasan perumahannya dan harus bekerja di Jakarta,” ungkapnya. “Seperti diketahui layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99 persen lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum. Sediakan dulu angkutan umum di Bodetabek seperti Trans Pakuan di Bogor atau Tayo di Tangerang untuk menyelesaikan first mile, last mile dan konektivitas,” imbuh dia. Sementara itu ia berpendapat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, diperlukan kemauan besar untuk melaksanakan strategi guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Salah satunya dengan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik. “Kalau kebijakan ganjil genap dan 3 in 1, Pemprov. DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan, penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Untuk penerapan ERP, Pemprov. DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum,” demikian Djoko Setijowarno.