Trubus Pengamat Kebijakan Publik Sebut Hibah Pemprov ke Kejati DKI Konspirasi dan Ajang Korupsi

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 29 Maret 2023 18:47 WIB
Jakarta, MI - Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Tri Sakti Trubus Rahadiansyah menegaskan pemberian hibah ke Kejati membangun gedung dan pengadaan meubelairnya hingga Rp270 miliar merupakan kebijakan konspirasi Pemprov DKI yang sarat potensi korupsi. Hal itu ditegaskan Trubus kepada Monitor Indonesia, Rabu (29/3). Dijelaskan, bahwa sebenarnya hibah-hibah seperti itu tidak tepat. Kalau Kejati itu tanggungjawab Kejaksaan Agung dengan APBN bukan urusan pemprov DKI Jakarta. "Saya khawatir hibah tersebut jadi ladang korupsi," katanya. Dijelaskan lagi bahwa hibah seperti itu tidak ada urgensinya diberikan ke Kejaksaan. APBD itu kan uang rakyat, harusnya dikembalikan ke rakyat dengan program-program pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, penyediaan rumah layak huni dan penataan kampung kumuh dan lainnya. Bukan untuk instansi lain seperti Kejaksaan, Kepolisian, Militer dan lain-lain. Semua instansi tersebut dibiayai APBN dari pemerintah pusat. Maka itu pemprov DKI Jakarta tidak perlu tergopoh-gopoh membiayai pembangunan gedung Kejati beserta isinya. "Saya curiga jangan-jangan dipakai untuk mendikte penegak hukum ini. Agar jangan mengusut kasus kasus korupsi di Pemprov DKI. Sebenarnya itu intinya dibalik pemberian hibah itu," imbuhnya. Ditambahkan Trubus, belakangan ini memang Pemprov DKI ini sudah lama berlaku aneh-aneh. Setiap tahunnya selalu memberikan hibah kebanyak instansi yang bukan tugas dan tanggungjawabnya. Terkait dampak penegakan hukum oleh kejaksaan, sudah pastilah itu terjadi. Apalagi Pemprov DKI Jakarta ini kan anggarannya sangat besar hingga 80 trilliun lebih. Jadi hibah ini menjadi ajang atau bancakan untuk korupsi. Karena penegak hukum terdikte dengan pemberian hibah yang vital tersebut dan sangat besar sekali sampai Rp 270 Miliar. Hal ini bertentangan dengan Undang Undang Kejaksaan. Akibatnya dengan konspirasi ini kan melumpuhkan penegak hukum. "Saya melihat ini upaya untuk meredam penegak hukum tidak mengusut kasus-kasus korupsi lingkungan pemprov DKI," katanya. Faktanya sangat kasus-kasus di Pemprov DKI Jakarta yang terungkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kondisi itu sangat prihatin. Padahal dilingkup Pemprov DKI ini diyakini sangat besar dan banyak korupsi. Ketika ditanya bagaimana harusnya pemberian hibah-hibah tersebut? Trubus menegaskan pasti ada kendala dan dilema dalam pengusutan kasus kasus pemberian hibah. Karena akan merembet ke pemberi kebijakan. Dampaknya ke politik dan itu meluas kemana-mana. Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa pemberian hibah pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta sudah diprotes oleh Komisi A DPRD DKI Jakarta yang mengaku heran tak habis pikir dengan pengucuran hibah ke Kejati DKI hingga Rp 270 miliar. Begitu juga pakar hukum Tata Negara Profesor John Pieris menyatakan penyimpangan fatal Ketatanegaraan atas kasus ini. Terkini, Monitor Indonesia mewawancarai Profesor Hukum Tata Negara. Profil pakar hukum ini dimintai pendapatnya karena publik merasa risih dengan praktek Ketatanegaraan yang berulangkali dinilai menyimpang. Dimana pembagian kekuasaan yang jelas dibagi antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang menjadi azas untuk mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Profesor John Pieris yang Guru Besar Hukum Tata Negara yang diwawancarai Monitor Indonesia, Senin malam 27/3. Berikut wawancara lengkapnya. Bagaimana Profesor pendapatannya atas kebijakan pemprov DKI yang memberikan hibah Jumbo kepihak Kejati DKI Jakarta ? Prof John Pieris menyatakan, Kejaksaan itu tidak bisa diotonomkan, termasuk instansi lain seperti Hukum Luar Negeri dan Pertahanan. Tapi kalau pemprov DKI merasa Kejati berada diwilayah DKI mau menghibahkan anggaran itu, tidak salah juga. Sepanjang uang itu dimanfaatkan untuk pembangunan itu, tentunya lebih besar dari rancangan semula yang dibiayai oleh APBN. Tetapi kalau ada dugaan bahwa itu harus dibiayai pusat/Kejagung, tetapi ada hibah dari Pemprov DKI, itu harus dibuka di publik, harus dibuka katanya menegaskan. Berarti ada double anggaran, sehingga anggaran dua kali lipat. Nah yang dua kali lipat itu larinya kemana harus dibuka. Ataukah bantuan dari pusat itu pemanfaatannya harus dibuka kepublik. Karena publik berhak untuk mengetahui mengenai Good Governance. Sehingga DPRD DKI minta semacam pertanggungjawaban keuangan secara publik untuk mengatasi masalah ini. Prof juga menegaskan implikasi dari pemberian hibah yang jor joran kepenegak hukum ini. Ewuh pakewuh itu pasti muncullah. Bisa saja pihak kejaksaan sebagai penyidik terhadap masalah korupsi yang dilakukan pemprov DKI, dia bisa bermain mata dengan Pemda untuk menutupi kecurangan kecurangan atau ketidak terbukaan anggaran yang harus dipertanggungjawabkan secara institusional kepada publik. Nah udah, kalau sudah seperti ini ada maksud tertentu. Pasti ada sesuatu udang dibalik batu. Mudah mudahan saya salah ya". Misalnya ya, saya tidak menuduh. Misalnya ada kasus korupsi di Pemprov DKI, bisa Kejati merasa berhutang budi ke Pemprov DKI dampak psikologis dari pembangunan gedung tersebut. Lantas ini tidak masuk, atau tidak diteruskan keranah pidana yang menjadi tanggungjawab kejaksaan sebagai penyidik karena ada beban moril yang tinggi dari pihak kejaksaan akibat pemberian dana atau hibah dari Pemprov DKI tersebut. Jadi dia harus ditertibkan sebetulnya. "Sebenarnya kalau instansi vertikal itu biayanya harus APBN, tidak boleh APBD. Gak boleh dalam hibah sekalipun sebetulnya gak boleh. Tapi tergantung dari Kajati DKI kan begitu mau terima hibah itu gitulah" pungkasnya. Kinerja Kejati DKI Minim Prestasi Terkait prestasi atau terobosan hukum oleh Kejati DKI Jakarta tiga tahun terakhir ini, bagaimana pendapat Prof?? Saya kira adem adem aja itu itu ya. Kayaknya tidak ada kasus kasus korupsi yang mencolok dibuka dipublik. Dan publik tau sampai seberapa jauh Pemprov DKI itu secara profesional dapat mempertanggungjawabkan seluruh anggaran APBD itu secara baik dan benar. Kita tidak tau kasus kasus yang dibuka di Kejati DKI Jakarta jika dibandingkan dengan kejaksaan ditempat lainnya. Selanjutnya Profesor Ahli Hukum Tata Negara Guru Besar UKI ini menegaskan mengingat ada sesuatu dibalik pemberian dana hibah jumbo ini harus ditelusuri oleh wartawan. Dan KPK harus masuk ya biar semua terang benderang. Apakah Professor milihat dari sisi penawaran kontraktor yang dimenangkan 99,59% tersebut indikator KKN. Indikator tersebut bukti kuat dugaan KKN diproyek hibah ini dari fakta penawaran yang 99,59% dari HPS. Jadi indikator ini sudah sangat jelas ya. Saya kira orang orang gak usahlah, orang orang yang elit ini berkelit. Semua juga bisa memaknai fakta itu", katanya mengakhiri. Sebelumnya diberitakan Wakil Komis A DPRD DKI Jakarta Inggard Josua mengkritisi tajam kasus ini. Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta terheran-heran dengan kucuran anggaran Rp 212 miliar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta ditambah pengadaan Meubeler Rp 56,7 miliar. Pasalnya, dana jumbo Rp 212 miliar itu rupanya bersumber dari pagu anggaran di APBD. Padahal, anggaran untuk pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta ini seharusnya bersumber dari APBN. “Seharusnya Kejati salurannya vertikal atau APBN, bukan horisontal atau APBD. Semoga anggaran tersebut tidak terjadi duplikasi,” kata Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua kepada Monitor Indonesia, Senin (27/3). Anggarannya pun dialokasikan ditengah pandemi Covid-19 mulai mencekam seluruh bumi tahun 2020 untuk membangun kantor megah tersebut. Politikus Gerindra itu menegaskan, seharusnya Pemprov DKI lebih memprioritaskan kebutuhan warga Jakarta dan tidak hanya sekedar mengambil hati pejabat lintas sektoral yang jelas-jelas bukan tanggungjawabnya. “Kecuali asa kepentingan mendesak, Itupun harus dibahas Rincian Anggaran Biaya (RAB) nya di DPRD. Masih banyak sarana dan prasarana pembangunan di kelurahan-kelurahan yang banyak sekali belum di biayai,” ungkapnya. Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta telah memasukkan anggaran jumbo itu untuk pembangunan kantor Kejati DKI Jakarta. Sebagai pemenang tendernya adalah PT Amarta Karya (Persero) yang memenangkan tender ini senilai Rp 208.788.827.912,21 dari Pagu Rp 255.653.411.643. Dengan jangka waktu pelaksanaan 394 hari kalender. Kontraktor BUMN ini didampingi konsultan pengawas dengan anggaran Rp 4 miliar. Sehingga anggaran untuk pembangunan kantor megah ini menyedot APBD DKI Rp 212 miliar lebih. Belum puas dengan membangun gedung megah, Pemprov DKI Jakarta juga masih mengalokasikan meubelairnya Rp 56,7 miliar tahun ini dan sedang berjalan. Direktur Utama PT Amarta Karya (AMKA) Nikolas Agung SR sebelumnya menyatakan bahwa pembangunan gedung utama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini diharapkan menjadi landmark dari wajah penegakan hukum di Indonesia khususnya DKI Jakarta. “Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta merupakan cerminan penegakan hukum di mata masyarakat Indonesia khususnya DKI Jakarta, sehingga sudah barang tentu dengan penguatan sarana dan prasarana yang lebih representatif melalui pembangunan gedung kantor ini yang akan kami bangun ini,” katanya Sabtu (2/9/2021) saat penandatanganan kontrak proyek tersebut. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Prov DKI Jakarta, Heru Hermawanto sebagai pengguna anggaran. (Sabam Pakpahan)