PT PLN 'Kesetrum' Korupsi Buntut Temuan BPK Ini?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 16 Maret 2025 21:59 WIB
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipikor) Mabes Polri mengungkap adanya dugaan korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun di PLN - Ilustrasi Tersengat Listrik - Badan Pemeriksa Keuangan (Foto: Dok MI/Diolah)
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipikor) Mabes Polri mengungkap adanya dugaan korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun di PLN - Ilustrasi Tersengat Listrik - Badan Pemeriksa Keuangan (Foto: Dok MI/Diolah)

Jakarta, MI - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri dikabarkan tengah mengusut kasus dugaan korupsi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Salah satu kasus yang ditangani terkait mangkraknya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Kalimantan Barat.

Wakil Kepala Kortastipidkor Polri Brigadir Jenderal Arief Adiharsa mengatakan, terdapat tiga perkara terkait PLN yang kini sedang ditelusuri polisi. Jika saja aparat penegak hukum membongkar habis kasus dugaan rasuah di tubuh PLN itu, bukan tidak mungkin kerugian negara dapat mengalahkan kasus di Pertamina dan Timah? 

Memang, sejumlah kasus dugaan mega korupsi di PT PLN sudah lama ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Bahkan KPK dikabarkan sudah menetapkan tersangka di kasus proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang merugikan negara ratusan   miliar rupiah.

Namun, kasus korupsi PT PLN Sumbagsel hingga kini tak kemajuan berarti. Begitu juga dengan kasus yang disidik penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung pada Juli 2022 lalu, kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 hingga saat ini masih nihil tersangka. 

Padahal Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendukung Kejagung dalam hal bersih-bersih di kementerian itu. Entah apa alasan Kejagung belum menyeret tersangka dalam kasus ini. Kasus tower transmisi naik ke tahap penyidikan dari penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022. 

Kapuspenkum Kejagung saat itu, Ketut Sumedana saat ini Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menyatakan bahwa kasus ini bermula pada 2016, saat itu PT PLN sedang melakukan kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran Rp 2,2 triliun. Kasus ini kini bak ditelan bumi.

Kembali kepada kasus dugaan rasuah yang tengah diusut Kortas Tipikor Polri. Bahwa Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa, yang mengatakan pihaknya saat ini tengah melakukan penyelidikan atas kasus dugaan korupsi di PLN. “Masih tahap penyelidikan ya,” kata Arief Adiharsa belum lama ini.

Minitorindonesia.com belum lama ini meminta tanggapan dan konfirmasi kepada Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo namun tidak merespons sama sekali.

Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo
Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo

Adapun penyelidikan di Polri itu ditandai pula dengan pemeriksaan terhadap jejeran petinggi PLN Pusat yang dilakukan di awal Februari 2025. Polri memfokuskan pengusutan pada proyek pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat yang telah terbengkalai sejak tahun 2016 lalu. 

Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, bahwa proyek tersebut diduga meraup kerugian negara sebesar Rp 1,2 Triliun. Selain PLTU yang terbengkalai di Kalimantan Barat, Kortastipidkor Polri juga tengah melakukan penelusuran terhadap dua perkara lainnya yang masih bekesinambungan dengan PLN.

Lantas bagaimana kasus posisinya?

Secuil catatan bahwa pada tahun 2008 lalu, PLN mengadakan lelang proyek PLTU 1 Kalbar 2x50 MW dengan sumber pendanaan dari PT PLN (persero). Dalam lelangan proyek tersebut, KSO BRN memenangkan lelang dan mendapatkan proyek tersebut.

Meskipun diduga KSO BRN tidak memenuhi persyaratan dalam tahap prakualifikasi, evaluasi penawaran administrasi dan teknis dalam proses pelelangan, namun penandatanganan kontrak tetap terjadi. Kontrak sebesar USD 80 juta dan Rp507 miliar (sekitar Rp1,2 triliun dengan kurs saat ini) resmi ditandatangani pada tahun 2009 oleh RR selaku Dirut PT BRN dengan FM selaku Dirut PT PLN (persero).

MONITOR JUGA: KPK dan Kejaksaan Agung "Letoy" Ungkap Kasus Megakorupsi di PT PLN

Namun, PT BRN kemudian mengalihkan proyek tersebut kepada pihak ketiga, yaitu PT PI dan QJPSE yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang energi dari Tiongkok. Adanya kendala satu dan lain hal yang akhirnya mengakibatkan proyek tersebut akhirnya gagal dan terbengkalai sejak 2016.

Selain PLTU 1 Kalbar, Kortastipidkor Polri juga sedang menelusuri tiga perkara dugaan kasus korupsi yang melibatkan Perusahaan Listrik Negara tersebut.

Pengusutan ini ditandai dengan kabar adanya pemeriksaan terhadap para pejabat PT PLN pusat pada Senin (3/2/2025) lalu. Namun Arief masih belum membeberkan informasi lebih jauh konstruksi dugaan tindak pidana korupsi tersebut maupun pihak-pihak yang telah dimintai keterangan lebih lanjut

“Belum bisa saya konfirmasikan sekarang,” pungkasnya.

Dalam kesempatan lain, Arief kepada wartawan menyatakan bahwa proyek PLTU Kalbar I sarat terjadi bancakan sejak proses perencanaan. Penyelidikan yang berlangsung sejak 2024 menemukan adanya tindakan melawan hukum sehingga pembangunannya mangkrak. 

Padahal, anggaran negara melalui PLN yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 1,2 triliun, dengan rincian Kontrak pembangunan senilai US$ 80 juta dan Rp 507 miliar.

Pangkal masalah bancakan terjadi saat proses lelang yang memenangkan konsorsium KSO BRN. Uang triliunan mengalir ke korporasi itu setelah Direktur PLN kala itu, Fahmi Mochtar menandatangani kesepakatan pada 2009. Penyidik menilai direksi PLN seolah tidak mengetahui latar belakang pemenang lelang. 

“Dipaksakan korporasi itu menang, padahal temuan kami mereka tidak memenuhi syarat prakualifikasi serta evaluasi administrasi dan teknis,” kata Arief.

Menurut Arief, perusahaan itu tidak memiliki latar belakang membangun PLTU berkapasitas besar seperti PLTU Kalbar I yang dirancang berdaya 2x50 MW. 

Tidak mampunya menggarap proyek, KSO BRN lantas mengalihkan pengerjaan ke dua perusahaan asal Tiongkok: PT PT PI dan QJPSE. “Saat pengalihan proyek ini yang memperkuat adanya dugaan korupsi dari proses lelang yang sengaja memenangkan satu perusahaan,” papar Arief. 

Meskipun sudah beralih tangan ke perusahaan Tiongkok, nyatanya proyek tak juga beres sebelum 2014. Penyidik menemukan bukti bahwa proyek dalam status stagnan sejak 2016. 

Perkembangan proyek tak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian, meski sudah diberi waktu perpanjangan sebanyak 10 kali. Catatan keuangan KSO BRN pun dipermasalahkan lantaran tidak menampilkan laporan perusahaan pada proses pengajuan lelang. 

Setelah dicek, ternyata akumulasi laba bersih korporasi pada 2006-2007 tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta lelang proyek, yakni hanya Rp 7 miliar. “Jadi, penyidik pada kesimpulan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang dan pengerjaan proyek,” beber Arief.

Lantas apakah dugaan korupsi di PLTU Kalbar I satu-satunya yang diusut kepolisian. Kata Arief ada kasus bancakan lain yang terjadi di proyek PLN. Total nilainya pun mencapai triliunan. “PLTU tidak hanya satu dan ada kasus di luar itu (PLTU),” katanya.

MONITOR JUGA: PLTU Mangkrak Era SBY Disidik Polri! Kans AHY Maju Pilpres 2029 Terkunci?

Sementara jika merujuk pada kasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam pengusutan kasus korupsi pembangkit tenaga listrik berkapasitas 100 MW itu. 

Tak hanya pembangunan PLTU Kalbar I yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, namun BPK juga menemukan indikasi penyimpangan serupa pada proyek PLTU Kalbar II di Kabupaten Bengkayang.

Dalam Ikhtisar LHP semester II 2016, disebutkan bahwa PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu secara efektif menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan serta diperoleh dengan harga yang wajar atas pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW. 

Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan sistem pengendalian intern dan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan proyek.

Pengendalian intern yang dimaksud mulai dari proses perencanaan yang tidak memadai. Auditor negara menemukan desain bangunan pelindung (jetty) pada PLTU Kalbar I tidak memperhatikan alur pelayaran Sungai Kapuas, sehingga harus didesain ulang yang memakan waktu dan anggaran tambahan. 

BPK menyimpulkan terdapat peningkatan biaya yang harus dikeluarkan PLN atas perubahan atau penambahan item pekerjaan meliputi pekerjaan di luar lingkup kontrak, pekerjaan yang seharusnya sudah diakomodasi dalam lingkup kontrak, serta potensi tambahan biaya atas pengajuan klaim kontraktor.

Akibatnya, progres pembangunan PLTU diam di tempat karena masalah perencanaan yang dianggap serampangan. “Pembangunan PLTU Kalbar 2 terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak yang mengakibatkan pengeluaran PLN untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana,” petik laporan BPK sebagaimana dilihat Monitorindonesia.com, Minggu (16/3/2025).

Tak hanya itu saja, peralatan utama dan peralatan pelengkap proyek PLTU Kalbar 1 dan 2 senilai Rp 37,07 miliar dan US$1,99 juta diletakkan di area terbuka dan tanpa perlindungan. 

Dampaknya, berpotensi tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan pembangunan pembangkit. Ujungnya, memperlambat perkembangan proyek. Ketika terbukti mekanisme pembangunan yang tak berjalan sesuai kontrak, PLN justru nihil mengenakan denda kepada kontraktor. Bagi auditor BPK, hal itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Korupsi PLN
Kutipan Ikhtisar LHP semester II 2016

Selain di PLTU Kalbar I dan II, BPK juga mendapati penyimpangan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah. Pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok juga mangkrak. 

Jika diakumulasikan, total Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta. Ada juga tujuh PLTU proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang terlambat diselesaikan senilai Rp 449,52 miliar dan US$ 30,63 juta. 

Itu mulai dari PLTU Tanjung Balai Kari mun, PLTU NTB 2 Lombok, PLTU Kalbar 1, dan PLTU Kalbar 2, yang senilai Rp 92,58 miliar dan US$10,48 juta. Juga terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan PLTU Tanjung Awar-Awar unit 2 sebesar Rp 74,75 miliar dan US$ 24,16 juta. 

Pembangunan PLTU di bagian tengah Indonesia seperti PLTU NTB 2 mengalami kendala serupa, yakni terlambat diselesaikan. PLN lantas harus mengeluarkan biaya bahan bakar untuk pembangkit sebesar Rp 342,21 miliar, yang berakibat pada kerugian keuangan perusahaan.

Secara akumulasi, kekurangan penerimaan denda atas keterlambatan penyelesaian pembangunan proyek PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta. 

Ditambah pemborosan keuangan PLN senilai Rp 871,75 miliar dan US$ 8,68 juta. Atas tidak terarahnya pembanguna proyek PLTU, PLN juga mengalami kerugian sebesar US$ 27,30 juta dan Rp 326,88 miliar. 

“PLN harus menanggung biaya tambahan atas penambahan/ perubahan pekerjaan serta menyediakan dana investasi sebesar US$137,56 juta dan Rp555,97 miliar,” lanjut laporan BPK.

Auditor negara menegaskan pihak direksi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas tidak beresnya pelaksanaan proyek di sejumlah PLTU. 

“Para pelaksana kegiatan kurang cermat dan lalai dalam melaksanakan pekerjaan serta tidak tegas menerapkan ketentuan kontrak terhadap kontraktor terkait dengan pengenaan denda keterlambatan dan penyelesaian pekerjaan. Pejabat yang bertanggung jawab kurang cermat dan belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,” petik laporan BPK.

Proyek pembangunan 10.000 Megawatt yang membangun 35 pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU diduga kuat terjadi korupsi. Satu di antara kasus bancakan terjadi pada proyek pembangunan PLTU Kalimantan Barat I. 

Musababnya, PLN sebagai BUMN yang menggarap proyek itu tak kunjung membereskan pembangunan pembangkit listrik hingga waktu yang ditetapkan. 

MONITOR JUGA: Usai 4 Eks Dirut PLN 2011-2019, Kasus Tower Transisi hingga HDD Menyeruak: Siapa Bakal 'Kesetrum' Korupsi Berikutnya?

Pun demikian, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri sudah mencium adanya patgulipat antara perusahaan pelat merah itu dan kontraktor pemenang lelang yang berujung kerugian negara. Bahwa puluhan proyek PLTU yang memiliki kapasitas ribuan MW dirancang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada awal periode pertama jabatannya. 

Berbekal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2006, SBY memasukkan mega proyek ini dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Proyek PLTU tersebar paling banyak di luar Pulau Jawa, dan digadang-gadang sebagai upaya pemerintah memeratakan aliran listrik di Indonesia dengan rasio elektrifikasi 96,60 persen.

Puluhan PLTU pun mulai dibangun satu tahun berselang setelah Perpres diteken. Kebanyakan proyek dirancang rampung sebelum periode 2014. Ada beberapa yang berujung peresmian, seperti empat PLTU di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Namun masih banyak proyek pembangkit listrik yang masih jauh dari kata selesai.

Sementara dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), anak perusahaan dan instansi terkait, auditor negara menemukan sejumlah PLTU masih belum bisa dimanfaatkan.

Pembangunan PLTU Kota Baru 2x7MW terkendala mengakibatkan investasi yang sudah dikeluarkan belum dapat dimanfaatkan. hal ini mengakibatlkan peningkatan biaya penyelesaian minimal sebesar Rp 320.719.731.595,00 dan hilangnya potensi penghematan BPP TL tahun 2015-2025 sebesar Rp 399.076.211.133,00. 

PLTU IPP Ketapang 2x6MW tidak beroperasi sehingga PLN harus menggunakan PLTD untuk memasok system Ketapang dan meningkatkan BPP TL tahun 2021 - 2022 sebesar Rp 260.291.019.300,00. 

Ketidakmampuan kontraktor pelaksana untuk menyelesaikan proyek dan ketidaksesuaian spesifikasi batu bara berperan dalam keterlambatan pelaksanaan proyek PLTU Sulsel Barru-2 sehingga PLN Berpotensi kehilangan kesempatan menghemat BPP TL sebesar Rp 435.315.888.438,00 dan menanggung klaim biaya Rp 206.616.173.863,00

Korupsi PLN
Kutipan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan,Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT PLN

PLTU Ombilin tidak mampu beroperasi optimal, sehingga PLN keilangan kesempatan enghemat BPP TL tahun 2022 minimal sebesar Rp 129.668.709.336,00. 

Sementara itu, akibat adanya pembangunan pembangkit listrik yang terkendala, sehingga PLN menanggung ketidakhematan BPP minimal sebesar Rp 122.163.372.981,00 per tahun. Kehilangan pendapatan atas pencairan jaminan pelaksanaan sebesar Rp 3.969.054.486,00 serta menanggung tambahan biaya untuk melanjutkan pembangunan sebesar Rp 357.596.924.273,00.

Sebenarnya dalam laporan tersebut, tidak hanya terdapat temuan terkait PLTU saja. Dalam laporan tersebut BPK mencatat ada 27 temuan yang terbagi dalam dua segmen. 

Hasil pemeriksaan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik PLN TA 2022 terdapat 18 temuan dan hasil pemeriksaan subsidi listrik dan dana kompensasi tenaga listrik TA 2022 terdapat 9 temuan.

MONITOR JUGA: PLN Terlilit Utang Ratusan Triliun: Megakorupsi Menyelimuti, Warga Pelosok Menjerit!

Anomali yang terjadi di PLN sebenarnya tidak bisa dianggap remeh. Sebagai perusahaan yang memonopoli sektor kelistrikan, mestinya PLN bisa menjadi perusahaan yang moncer. 

Faktanya, meskipun masih bisa meraih laba, namun kinerjanya masih jauh dari harapan. Temuan BPK tahun 2024 menunjukkan kalau kinerja PLN masih jauh dari perilaku good corporate governance. 

Besarnya volume bisnis PLN justru membuka peluang besar untuk dikorupsi, tak heran jika PLN lantas menjadi langganan kasus korupsi yang dibongkar oleh aparat penegak hukum nyaris tiap tahun.

Perbaikan menyeluruh pada PLN mendesak untuk segera dieksekusi. Terutama di sektor pengawasan. PLN tidak bisa lagi menjadi sapi perahan kepentingan politik. Korupsi di tubuh PLN ini dampaknya langsung dirasakan oleh rakyat, harga listrik dan pelayanan. Kasus korupsi yang kini tengah ditangani Polri mesti menjadi bahan refleksi.

Penting publik ketahui bahwa bukan sekali saja PT PLN tersandung dugaan korupsi berujung petingginya ikut 'kesetrum' dan berakhir dibui akibat terlalu jauh terlibat dan kemudian terbukti korupsi. Dirut PLN yang sempat tersangkut dugaan rasuah adalah Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/korupsi-pln-setrum-4-dirut-1.webp
4 eks Dirut PLN, Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir (Foto: Kolase MI/Diolah)

Ketegasan dan kecerdasan penegak hukum tentunya dengan integritas yang terukur kini menjadi tumpuan harapan rakyat untuk bisa mendorong pembersihan di tubuh perusahaan listrik negara itu.

Pemeriksaan terhadap petinggi PLN sangat diperlukan agar kasus tersebut terang benderang.

Respons PLN
Meskipun belum banyak informasi yang terungkap, kasus ini telah mencuri perhatian publik. Pun Komisaris Independen PT PLN, Andi Arief, telah memberikan tanggapan terkait penyelidikan ini. 

“Tipikor Polri sedang menyelidiki kasus di PT PLN,” ungkap Andi Arief lewat unggahan di X pada Jumat.

Andi Arief
Andi Arief usai diperiksa KPK (Foto: Dok MI)

Meski belum mengetahui secara rinci tentang kasus ini, seperti tahun kejadian atau nilai kerugian negara, Andi Arief menegaskan bahwa PLN akan bersikap kooperatif dalam proses penyelidikan. “Walaupun belum jelas rincian kasusnya, pihak PLN pasti kooperatif,” ujarnya.

MONITOR JUGA: Sukar Putus Korupsi di Tubuh PLN: UGC Pecatu – Nusa Dua Bali (2018) dan Jointing SKTT 20KV Distribusi Jabar Teranyar?

Andi Arief juga menambahkan bahwa PLN merupakan salah satu perusahaan milik negara dengan kinerja terbaik dalam beberapa tahun terakhir, menghasilkan keuntungan yang besar serta meningkatkan kualitas pelayanan. 

Berdampak ke Demokrat?
Politikus PDI Perjuangan Ferdinand Hutahaean, menyebut soal PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang mangkrak pada tahun 2006-2008. 

Menurutnya, itu merupakan bagian dari 35 PLTU mangkrak era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Yang saya tahu itu soal PLTU mangkrak tahun 2006-2008. Bagian dari 35 PLTU Mangkrak era Pak SBY,” kata Ferdinand dalam akun X pribadinya, dikutip Monitorindonesia.com, Jumat, (7/3/2025).

Dinyatakan Bersalah, Ferdinand Hutahaean Divonis 5 Bulan Penjara Kasus Ujaran Kebencian
Ferdinand Hutahaean (Foto: Dok MI)

 Menurutnya pengusutan kasus ini sebagai kuncian untuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2029. “Ini kuncian untuk leher AHY supaya tidak macam-macam 2029,” kata Ferdinand yang juga eks politisi Partai Demokrat.

"Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah? Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor".  (an)

Menguak Dugaan Korupsi PT PLN di Proyek Penggantian SKTT 150 KV Gandul-Kemang TA 2022 senilai Rp 342 M. Baca Investigasi selengkapnya di sini

Topik:

Kortas Tipikor Polri PT PLN BPK RI Korupsi PLN Korupsi PLTU KPK Kejagung PT PLN Persero