Drama Pengadilan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Agustus 2025 23:13 WIB
Hasto Kristiyanto (kiri) dan Tom Lembong (kanan) (Foto: Kolase MI)
Hasto Kristiyanto (kiri) dan Tom Lembong (kanan) (Foto: Kolase MI)

Jakarta, MI - Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Trikasih Thomas Lembong alias Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto telah dibebaskan dari penjara usai memperoleh abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara atas kasus korupsi impor gula, sementara Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara dalam perkara suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR. 

Namun, melalui dua surat resmi yang diajukan ke DPR pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo meminta pertimbangan untuk memberi abolisi kepada Tom dan amnesti kepada Hasto yang termasuk dalam daftar 1.116 orang penerima amnesti menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan RI. Permintaan itu disetujui oleh DPR sehari kemudian. 

Kebijakan ini didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pengampunan ini merupakan bagian dari upaya merajut kembali persatuan nasional dan menjaga kondusivitas menjelang hari kemerdekaan. 

Dari total 44.000 permohonan amnesti yang masuk, baru 1.116 yang telah lolos verifikasi tahap pertama. Sisanya akan diproses secara bertahap.

Pantauan Monitorindonesia.com, Tom Lembong keluar dari rutan Cipinang, Jakarta pada Jumat (1/8/2025) sekitar pukul 22.00 WIB, dengan kaos polo biru gelap diikuti istri, kuasa hukum, dan Anies Baswedan. Sembari merangkul istrinya, ia bersalaman dengan para pendukung yang menantinya sejak siang.

"Apa yang saya jalani ini bukan proses hukum yang ideal. Selama sembilan bulan ini sangat menantang dan membuat saya berefleksi," kata Tom di hadapan wartawan.

Sekitar satu jam sebelumnya, Hasto keluar dari rutan KPK dengan mengenakan jas dan kaos merah didampingi kuasa hukumnya. Ia mengucapkan terima kasih atas pemberian amnesti ini.

Keduanya keluar usai Keputusan Presiden yang ditandatangani Presiden Prabowo pada 1 Agustus 2025 terbit dan diserahkan ke rutan. Meski sebagian proses hukum dan putusan pengadilan terhadap keduanya disebut memiliki kejanggalan, para pengamat hukum menilai pembebasan Tom dan Hasto "mempermainkan hukum dan akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi".

Pertama kali untuk terpidana korupsi?

Catatan Monitorindonesia.com, bahwa pemberian amnesti dan abolisi baru kali ini diberikan untuk terpidana korupsi regulasinya sejak terbit melalui Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.

Pemerintah menyebut amnesti dan abolisi yang disetujui DPR "untuk menjaga kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan demi kepentingan bangsa dan negara. Pembangunan bangsa, klaim pemerintah, "membutuhkan seluruh elemen dan kekuatan politik bersama".

Akan tetapi, tujuan amnesti dan abolisi yang sejatinya berkaitan dengan rekonsiliasi dan hak asasi manusia dianggap telah dibelokkan dari semangat awalnya, menurut pakar hukum.

Sementara Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dalam jumpa pers yang digelar Jumat (1/8/2025) malam, menyampaikan Presiden Prabowo "tetap berkomitmen pada penguatan pemberantasan korupsi".

Dia membuat klaim, Prabowo tak ada menyebut orang tertentu ketika menyusun nama penerima amnesti dan abolisi. "Iya, hanya ada dua orang terpidana korupsi di daftar ini. Tapi seperti yang disampaikan tadi, komitmen Presiden tetap pada pemberantasan korupsi."

Pada Januari lalu, Supratman mengumumkan akan memberikan amnesti terhadap 44.000 narapidana untuk mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Ada beberapa kriteria yang disasar, yaitu para terpidana makar tidak bersenjata di Papua, penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE, warga binaan pengidap sakit berkepanjangan, seperti gangguan kejiwaan maupun HIV-AIDS, dan pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.

Tindak pidana khusus berupa tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme kala itu disebut pemerintah tidak akan masuk kriteria penerima amnesti dan abolisi. Namun faktanya, Hasto dan Tom menerima keduanya.

Namun peneliti ICW, Yassar Aulia, bilang terpidana korupsi semestinya tidak layak menerima amnesti dan abolisi. Pemberian dua hal itu, kata dia, dapat memicu implikasi besar pada pemberantasan korupsi. Menurut Yassar, mekanisme abolisi dan amnesti dapat dimanfaatkan para koruptor untuk berupaya bebas dari kejahatannya.

"Sepanjang kami tahu, sepanjang sejarah tidak pernah ada amnesti maupun abolisi diberikan kepada terpidana kasus korupsi," tegas Yassar.

Sementara Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia (TII) menyebut terpidana korupsi, apalagi yang kasusnya masih ada di pengadilan tingkat pertama, tak sepatutnya menerima pengampunan maupun penghapusan penuntutan.

"Pemberian amnesti dan abolisi ini sangat prematur. Kasusnya belum inkracht. Kalau memang ini politisasi hukum, maka harus diungkap siapa dalangnya yang mempolitisir dan tentu harus diadili juga. Jika kasus ini memang politis, siapa yang mempolitisasi. Apakah bagian dari pemerintahan sebelumnya atau bagian dari pemerintahan saat ini. Tentu, ada konsekuensi hukumnya. Jangan prinsip negara hukum dipermainkan," beber Sahel.

Saat ini, Tom tengah mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri. Sementara itu, KPK masih berencana naik banding atas putusan Hasto di tingkat pertama.

Korupsi yang kental motivasi politik?

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto, menyebut kasus yang dihadapi Tom dan Hasto adalah dugaan korupsi yang kental motivasi politik.

Dugaan politisasi disebutnya bisa menjadi alasan untuk memberi amnesti dan abolisi sepanjang memiliki alasan yang kuat. "Alasan dan tujuan pemberian amnesti dan abolisi pada keduanya harus dijawab Prabowo. Keduanya menjadi tersangka saat pemerintah Prabowo, tapi sekarang Prabowo berikan amnesti dan abolisi," kata Sulistyowati.

Namun Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas berkata pemberian amnesti dan abolisi untuk Tom dan Hasto "sesuai dengan semangat rekonsiliasi".

Prabowo, kata dia, yakin bahwa "membangun bangsa membutuhkan kekuatan politik yang solid". Usai pengampunan Prabowo untuk Hasto, pimpinan tertinggi PDIP Megawati Soekarnoputri memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintah.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut amnesti dan abolisi memang memiliki nuansa politis, merujuk sejarah pemberiannya.

Rekonsiliasi, kata Zainal, memang menjadi salah satu tujuan pemberian amnesti dan abolisi. Namun yang terjadi saat ini disebut Zainal tidak sesuai dengan definisi rekonsiliasi selama ini.

"Penggunaannya biasanya berbasis rekonsiliasi dan kemanusiaan. Dugaan saya saat ini, rekonsiliasi politik yang tujuannya hanya perimbangan politik bukan proses hukum yang memadai," jelasnya.

Zainal menyoroti kasus Hasto yang menurut vonis hakim "terlibat dalam tindak pidana korupsi". Amnesti kepada Hasto disebut Zainal bisa berdampak pada terpidana kasus korupsi lain, yang perannya juga "ikut serta". "Apakah berarti pelaku ikut serta lainnya juga nanti dihilangkan," ujarnya.

Zainal menduga, abolisi untuk Tom dapat memutus dugaan keterlibatan sejumlah menteri perdagangan lain terkait persoalan ekspor-impor.

Peneliti ICW Yassar Aulia menambahkan amnesti dan abolisi untuk Hasto dan Tom berpotensi melemahkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan, selain mencederai prinsip pengawasan antara pemerintah dan badan yudikatif. Upaya koreksi terhadap sebuah putusan, menurut Yassar, seharusnya bisa ditempuh dengan cara lain, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali, maupun pengaduan ke Komisi Yudisial.

"Tapi karena ada intervensi melalui abolisi dan amnesti ini semua kemungkinan-kemungkinan tadi jadi tertutup rapat, dianggap selesai begitu saja," ucap Yassar.

Keputusan ini, lanjutnya, seolah menggambarkan ketidakpercayaan presiden terhadap lembaga peradilan. Bahkan bisa berpengaruh juga pada tingkat kepercayaan publik. "Ini bisa jadi preseden buruk proses-proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia," tuturnya.

Mengapa ada drama di Pengadialan dulu?

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong oleh presiden menunjukkan bahwa hukum sedang dipermainkan. 

Hasto merupakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P yang terjerat kasus suap Harun Masiku.  Sementara itu, Tom Lembong adalah Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 yang terjerat kasus importasi gula. “Hukum sedang dipermainkan. Kalau mau memaafkan Hasto dan Tom, kenapa harus begini amat? Drama di pengadilan dulu,” kata Feri dikutip Sabtu (2/8/2025).

Feri mempertanyakan, kenapa tidak sejak proses hukum masih bergulir di tingkat penyidikan, kasus mereka dihentikan. Menurut Feri, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, maupun Kejaksaan Agung (Kejagung) berada di bawah presiden.  “Kenapa enggak sedari awal saja?” ujar Feri. 

Akademisi itu menyebut konsekuensi dari political trial (peradilan politis) yang menimpa Hasto dan Tom Lembong juga berujung sangat politis. Situasi seperti ini, saat Tom Lembong dan Hasto yang mendapat dukungan publik dibebaskan, dimanfaatkan oleh para politisi. 

“Jadi ujung-ujungnya orang capek dengan segala drama peradilannya, tapi nanti akan ada pahlawan politiknya di belakang layar,” tandas Feri.

Berbeda dengan Feri, Azmi Syahputra, dosen fakultas hukum Universitas Trisakti begitu disapa Monitorindonesia.com, Kamis (31/7/2025) malam menegaskan bahwa amnesti dan abolisi merupakan kewenangan mutlak yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945.  

Tentu dalam pemberian amnesti dan abolisi ini diperlukan pertimbangan dan persetujuan dari DPR RI, karena tujan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana dihapuskan.

Sedangkan dengan pemberian abolisi maka penuntutan ditiadakan atau penuntutan dihapuskan serta melakukan penghentian apabila putusan itu telah dijalankan sekalipun

“Ini jelas langkah konkrit dalam implementasi kewenangan kepala negara yang konstitusional, cendrung hal ini dimaknai sebagai keputusan politik penting antara kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk dapat melepaskan pertanggungjawaban pidana," kata Azmi.

Dengan kata lain, sarana ini digunakan untuk membebaskan seseorang dari hukuman yang sedang dijalani. 

"Artinya Presiden melihat dalam kedua kasus ini tidak semata pada faktor yuridis atau apakah perkara ini terdapat faktor lain, yang beririsan dominasi muatan politis atau berlatar belakang rasa konflik politis,” jelas Azmi yang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki). 

Sebab, ungkap Azmi, ada kemungkinan dua irisan secara hukum maupun aspek non hukum (politik), sebab hukum tidak berada di ruang hampa.

"Bisa saja langkah fungsi hukum dan kewenangan ini diambil dari dari melihat keadaan peristiwa ini secara kontek sosial, ekonomi atau suasana politik saat ini," ungkap Azmi.Makanan Indonesia

Karenanya, tambah Azmi, jika ini merupakan kasus yang “muatan politik” yang ditujukan dimaksudkan pada orang atau badan yang memiliki posisi politik yang melakukan perbuatan melawan hukum.

"Karenanya kewenangan ini diambil dapat pula Presiden melihat ada kemasalahatan tujuan yang lebih besar dalam permasalahan ini."

"Atau melihat kasus ini akan berdampak negatif luas jika tidak direspons dengan tuntas atau apakah ini untuk memperkuat posisi politik tertentu, mengingat apakah dalam melihat kasus Tom Lembong dan Hasto cendrung lebih pada muatan politis?," timpal Azmi.

Jadi jelas, tambah Azmi, pemberian amnesti dan abolisi dalam dua kasus ini menjadi suatu kekhususan istimewa dari langkah bijaksana dan strategis konkrit Presiden untuk mengatasi permasalahan ini secara cepat dan efektif.

Amnesti dan abolisi di Indonesia

Kata "amnesti" dan "abolisi" ada dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Kata tersebut sebelumnya bersanding dengan hak prerogatif presiden lainnya, yaitu pemberian grasi dan rehabilitasi.

Namun pada perubahan pertama tertanggal 19 Oktober 1999, pasal tersebut dibagi menjadi dua ayat sejalan dengan perubahan pemberi pertimbangan.

Amnesti dan abolisi ditempatkan pada Pasal 14 ayat 2 berbunyi "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".

Sementara itu, grasi dan rehabilitasi tetap berpegang pada pertimbangan Mahkamah Agung.

Abolisi memiliki arti peniadaan peristiwa pidana dengan penghentian proses hukum terhadap suatu tindak pidana.

Amnesti merupakan penghapusan akibat hukum pidana dari suatu perbuatan pidana atau sekelompok perbuatan pidana.

Untuk memperkuat pelaksanaannya, Presiden Soekarno menerbitkan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang amnesti dan abolisi.

Dalam regulasi tersebut, presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana setelah mendapat nasihat dari Mahkamah Agung.

Pasal selanjutnya, amnesti dan abolisi diberikan pada semua orang yang sebelum 27 Desember 1949 telah melakukan tindak pidana akibat persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Seperti diketahui, 27 Desember 1949 merupakan momentum pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Belanda pasca Konferensi Meja Bundar. "Dengan semangat menjaga persatuan negara yang baru saja bertumbuh", amnesti dan abolisi kala itu diberikan pada para "pemberontak" yang dinilai insaf dan menyatakan pengakuan dan sumpah setia pada Indonesia dan ideologinya. Hal ini juga ditujukan untuk memupuk persatuan dan kesatuan.

Karena itu, deretan Keputusan Presiden yang dikeluarkan sejak 1959 hingga 1964 ditujukan Presiden Soekarno pada para anggota gerakan yang dituding memberontak.

Yang mendapatkan amnesti dan abolisi dari Soekarno, antara lain Daud Bereueh di Aceh, pimpinan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Kartosuwirjo di Jawa Barat, dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan.

Begitu pula pada era Soeharto, amnesti dan abolisi diberikan pada para narapidana terkait peristiwa Awom, Mandacan, dan Wagete-Enaratoli yang berkaitan dengan upaya kemerdekaan Papua pada 1969.

Kemudian, para anggota Fretilin di Timor Timur juga memperoleh amnesti dan abolisi pada 1977. Memasuki pemerintahan B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid, amnesti dan abolisi berfokus pada pengakuan hak asasi manusia.

Sejumlah nama yang menerima penghapusan penuntutan hukum ini, yakni Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih Nophiana.

Sementara itu, pengampunan diberikan pada Dita Indah Sari, Budiman Sudjatmiko, Petrus Hariyono, hingga Ken Budha Kusumandaru yang merupakan anggota Partai Rakyat Demokratik.

Kemudian, Sri Bintang Pamungkas yang dituding makar dan Muchtar Pakpahan karena menginisiasi demonstrasi buruh.

Saat menjabat sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri hanya mengeluarkan sekali amnesti dan abolisi kepada Amin Amsar dan Jauhar bin Saleh. Rencana amnesti dan abolisi untuk Soeharto tidak berlanjut.

Pada masa Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, pengampunan ini diberikan pada anggota Gerakan Aceh Merdeka dengan berpegang pada alasan persatuan dan kesatuan, serta bertujuan mengakhiri konflik separatis setelah perundingan damai.

Selanjutnya, Joko Widodo mengeluarkan amnesti pada Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terkena kasus dugaan pelanggaran UU ITE pada 2019 dan 2021. Dari 1961-2021, pemberian amnesti dan abolisi didominasi para tahanan dan narapidana politik. Hanya segelintir yang merupakan korban ketidakadilan, seperti Baiq dan Saiful.

Landasan keluarnya Keputusan Presiden berdasar pada UU Darurat Nomor 11 Tahun1954. Pada 2022, muncul naskah akademik untuk perubahan aturan mengenai abolisi dan amnesti ini. Namun hingga kini, tak ada kelanjutannya.

Pakar hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat perlu ada aturan yang jelas terkait kriteria pemberian amnesti dan abolisi ini. Selama ini, regulasi yang menjadi acuan tidak memiliki spesifikasi pelaku jenis tindak pidana apa yang berhak menerima amnesti dan abolisi.

Topik:

Hasto Kristiyanto Tom Lembong Amnesti Abolisi