Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon, Maarif Institute: Pelanggaran Serius terhadap Konstitusi

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 10 September 2022 21:09 WIB
Jakarta, MI - Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta belakangan menjadi sorotan publik. Hal itu karena keduanya ikut menandatangani penolakan pembangunan gereja di Kota Cilegon Banten. Diketahui, pembangunan gereja HKBP Maranatha direncanakan berlokasi di Lingkungan Sumur Wuluh, Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten, ditolak oleh sejumlah masyarakat, tokoh agama bahkan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengirimkan surat terbuka mengkritisi pemimpin Kota Cilegon itu. Rohim Ghazali menilai penolakan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi. "Bapak Walikota dan Wakil Walikota Cilegon yang kami hormati. Sebagai anak bangsa kami sangat prihatin menyaksikan dan membaca berita tentang bapak berdua yang notabenenya merupakan pejabat negara ikut menandatangani penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, pada 7 September 2022," kata Rohim Ghazali melalui surat terbuka, Sabtu (10/9). "Apakah tidak sadar bahwa apa yang bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu?" imbuhnya. Rohim Ghazali mengatakan, penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara adalah tindakan yang sengaja menghalangi-halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Lebih lanjut, Rohim mengatakan, keberadaan rumah ibadah adalah keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama. Rohim menyebut menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah. Menurut Rohim, mengahalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain. "Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi. Walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain," kata Rohim. Selain melanggar konstitusi, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Berdasarkan data yang diperoleh Maarif Institute, kata Rohim, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen. "Dari kelima agama itu, anehnya, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam. Jumlah Masjid 381, Musholla 387, sementara Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!" ujar Rohim. Menurut Rohim, apa pun alasannya, menghalangi pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan diskriminatif dan membuktikkan bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka. "Di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang Bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya," ujar Rohim. Rohim mengatakan, surat tersebut ditulis bukan untuk mengecam tapi sebagai bentuk nasihat terhadap sesama Muslim. Ia pun menganjurkan agar Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon untuk menaati konstitusi dan undang-undang. "Kami anjurkan untuk menaati konstitusi dan undang-undang. Berilah kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah bapak berdua, untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing," kata Rohim. Maarif Institute meminta agar Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon tidak bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. "Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara. Dengan menunjukkan sikap sebagai negarawan, niscaya bapak bedua akan dicatat sebagai pemimpin yang layak menjadi teladan," tutupnya.