Kapankah Indonesia Pakai Tenaga Nuklir?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Oktober 2022 11:08 WIB
Jakarta, MI - Pemerintah Indonesia kini tengah kerja keras dalam mewujudkan misi net zero emission. Untuk menjalankan hal ini, kebijakan terus diterapkan, salah satunya transisi energi ramah lingkungan dengan memanfaatkan tenaga nuklir. Menuju net zero emission (NZE) membuat pemerintah dan seluruh stakeholder di sektor energi bersiap di institusinya masing-masing. Namun demikian, apakah Pemerintah Indonesia sudah siap seperti negara lainnya? Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan meskipun teknologi nuklir merupakan energi paling bersih dan bisa menghasilkan listrik per kwh yang lebih murah, Indonesia dinilai masih belum siap memanfaatkan teknologi tersebut dalam waktu dekat. Pasalnya, kata Mamit, ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan pemerintah jika hendak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.  Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir. “Karena jika sampai, misalnya jaringan PLN tidak siap seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN,” ujar Mamit dalam keterangannya, Kamis (27/10). Hal kedua, lanjut Mamit, adalah faktor keamanan.  Maksudnya, perlu diperhatikan sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN yang tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.  Lalu ketiga, faktor sumber daya manusia atau SDM. “Teknologi nuklir yang sarat risiko, membutuhkan SDM yang benar-benar mumpuni dan menguasai teknologi tersebut,” ujar Mamit, Faktor keempat yang menurut Mamit tidak kalah penting, adalah soal penanggulangan limbah nuklir.  Menurutnya, harus dipastikan bahwa limbah nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat. Kemudian kelima, fakktor geografis. “Pembangunan PLTN mesti dilakukan di daerah yang bebas dari gempa maupun gangguan alam yang berpotensi merusak PLN. Terakhir, soal sosialisasi dan penerimaan masyarakat,” katanya. Pemerintah juga harus pastikan bahwa daerah yang akan dibangun PLTN merupakan daerah yang bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.  Selanjutnya, tambah dia, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Karenanya, menurut Mamit, Indonesia masih perlu belajar dari negara-negara yang sudah menggunakan teknologi nulir, seperti Jepang, Rusia, atau AS. “Saya rasa kita masih butuh waktu panjang, terutama sosialisai sehingga bisa diterima masyarakat,” ungkap Mamit. Namun, tandas Mamit, jika hendak menuju pencapaian net zero emission (NZE) Indonesia harusnya baru bisa memulai setidaknya lima tahun lagi. “Minimal sudah melakukan pra FS atau pra studi kelayakan. Konstruksi bisa dimulai 2040, misalnya,” pungkasnya.  Sebagai informasi, Kementerian ESDM telah menargetkan menurunkan emisi sekitar 232,2 juta ton karbondioksida atau CO2 pada 2025. Untuk tahap ini, Kementerian di antaranya melakukan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya, dan pembangkit listrik tenaga biomassa berskala kecil. Penerapan pembangkit listrik ini diteruskan hingga 2030 sehingga dapat menurunkan emisi sekitar 327,9 juta ton CO2. Peta jalan pemerintah dilanjutkan melalui green hydrogen dari pembangkit pada 2035 untuk mencapai target menurunkan emisi sekitar 388 juta ton CO2. Untuk mencapainya, pemerintah berkomitmen untuk melakukan energy storage system secara masif pada 2034. (MI/An) #Kapankah Indonesia Pakai Tenaga Nuklir?

Topik:

Nuklir