INSP!R: Posisikan Kedua BPJS Bertanggung Jawab Langsung kepada Presiden Tanpa Melalui Menteri

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 21 Februari 2023 12:41 WIB
Jakarta, MI - Yatini Sulistyowati, Ketua Presidium INSP!R Indonesia menjelaskan, INSP!R Indonesia atau Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia adalah perkumpulan organisasi-organisasi berbasis masa yang bersatu karena dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan melanda dunia dan berimbas terhadap kesehatan dan ekonomi global, sehingga KSBSI, KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), JBM (Jaringan Buruh Migran). TURC, LIPs (Lembaga Informasi dan Penelitian Sedane), Garteks, JAPBUSI, SEBUMI (Serikat Buruh Migran dan Informal Indonesia)-KSBSI, REKAN Indonesia, Aceh Flower, PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat), HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), BPJS Watch dan gajimu.com, membangun organisasi jaringan yang berbentuk Yayasan. Perlindungan sosial, lanjut dia, pada dasarnya dimaksudkan untuk tanggap terhadap guncangan/ bencana atau krisis. "Perlindungan sosial harus mampu beradaptasi untuk merespon kebutuhan semua orang pada saat guncangan/bencana atau krisis tersebut terjadi dengan mengurangi resiko kerentanan dan memperkuat ketangguhan (resilience)," ujar Yatini, dikutip pada Selasa (21/2). Menurutnya, pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan yang ada saat ini telah banyak memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia dan terkhusus bagi pekerja Indonesia. "Tentunya diharapkan manfaat jaminan sosial terus ditingkatkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Indonesia," harapnya. Bagi Yatini, dengan konsep gotong royong seluruh rakyat Indonesia dan pengelolaan dana peserta yang independen dan profesional akan mampu meningkatkan pelayanan kepada seluruh rakyat Idonesia. Peningkatan manfaat dan pelayanan jaminan sosial, tegas dia, harus terus ditingkatkan, mengingat sampai saat ini masih ada manfaat dan pelayanan yang dikeluhkan. Pelaksanaan jaminan sosial memang belum sempurna sekali, masih ada persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di lapangan. "Oleh karenanya ini harus menjadi komitmen Pemerintah dan kedua BPJS untuk terus memperbaikinya," jelasnya. Lebih lanjut, Yatini menjelaskan, bahwa peningkatan manfaat dan pelayanan tersebut tentunya tidak bisa diselesaikan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan semata. Keberhasilan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan harus didukung oleh seluruh Kementerian dan Lembaga (K/L) dan Pemda, seperti yang diinstruksikan oleh Presiden dalam Inpres Nomor 2 tahun 2021 tentang Optimalisasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Inpres Nomor 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Jaminan Sosial Kesehatan. "Dalam Inpres Nomor 2 tahun 2021 dan Inpres Nomor 1 tahun 2022 tersebut berbagai K/L dan Pemda serta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sudah diinstruksikan untuk melaksanakan tugas-tugasnya guna mendukung peningkatan kualitas jaminan sosial dari sisi kepesertaan, manfaat, dan pembiayaan, serta menjamin keberlangsungan pelaksanaan jaminan sosial," ungkapnya. Yatini menambahkan, sebagai bagian dari ekosistem jaminan sosial, salah satu faktor pendukung pelaksanaan jaminan sosial yang handal adalah diberinya kewenangan dan tugas organ BPJS yaitu Direksi dan Dewan Pengawas (Organ BPJS) secara independen dan bertanggungjawab langsung ke Presiden. "Organ BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan harus diperkuat sehingga kesetaraan dalam koordinasi dengan K/L dan Pemda akan mampu mendukung pengelolaan jaminan sosial yang lebih baik," jelasnya. Menurut Yatini, salah satu hal yang kurang didukung oleh K/L dan Pemda dalam pelaksanaan jaminan sosial baik kesehatan dan Ketenagakerjaan adalah masalah kepesertaan yang memang masih belum mampu mencapai kepesertaan yang optimal. Demikian juga peran K/L dan Pemda dalam mendukung pelayanan di faskes sangat diharapkan lebih meningkat lagi. "Oleh karena itu sangat dibutuhkan peran Organ BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang mumpuni agar BPJS bisa membangun koordinasi yang baik dengan K/L dan Pemda," harapnya. Alih-alih meningkatkan kewenangan dan tugas BPJS, saat ini justru DPR RI berusaha memangkas independensi dan kewenangan BPJS dengan memposisikan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS di bawah Menteri, dalam RUU Kesehatan yang sudah ditetapkan sebagai inisiatif DPR RI. "Kehadiran draft RUU Kesehatan menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS untuk mengelola jaminan sosial dengan lebih baik lagi," ungkapnya. Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan. Tidak hanya itu, kata Yatini, proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan. Proses pemilihan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. "Hal ini diatur dala Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan," ujarnya. Dijelaskan Yatini, bahwa pada UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri. BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN. "Kedua BPJS mengelola dana masyarakat, bukan dana APBN/APBD, dan oleh karenanya pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti Menteri," tegasnya. Kalau pun ada, kata Yatini, dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakt miskin ke BPJS Kesehatan, kewajiban Pemerintah membayar iuran JKN bagi PNS, TNI dan Polri sebagai Pemberi Kerja bagi PNS. TNI dan Polri. "Itu semua amanat UU SJSN kepada Pemerintah, termasuk pembayaran iuran Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan amanat UU Cipta Kerja," bebernya. Bila pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh Menteri, maka menurut Yatini, akan berpotensi merugikan masyarakat dan pekerja/buruh, karena dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu. Ia pun menegaskan, status Badan Hukum Publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosal. "Yaitu bertanggungjawab langsung ke Presiden, bukan bertanggungjawab melalui Menteri," katanya menegaskan. Yatini kembali menjelaskan, bahwa INSP!R Indonesia yang merupakan koalisi berbagai organisasi masyarakat yang peduli pada pelaksanaan jaminan sosial menilai kehadiran RUU Kesehatan akan menurunkan kualitas pengelolaan jaminan sosial yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat Indonesia. Oleh karenanya INSP!R Indonesia meminta DPR RI dan Pemerintah mengurungkan niat untuk merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan. "INSP!R Indonesia menolak keinginan DPR dan Pemerintah merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan," tegasnya. "INSP!R Indonesia meminta agar DPR RI dan Pemerintah fokus untuk meningkatkan manfaat dan layanan program jaminan sosial, dengan tetap memposisikan kedua BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri," tambahnya.