Pigai: Hak Komunal Selesaikan Konflik Tanah Adat!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Januari 2025 17:25 WIB
Menteri Hak Asasi Manusis (Menham) Natalius Pigai (Foto: Dok MI/Aswan)
Menteri Hak Asasi Manusis (Menham) Natalius Pigai (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Keberadaan sertifikat hak komunal untuk menjamin kepastian hukum atas penguasaan tanah adat oleh masyarakat adat merupakan sebuah reforma agraria melalui terobosan hukum yang progresif. 

Namun dalam perkembangannya keberadaan sertifikat hak komunal masih perlu direvisi dan disesuaikan prinsip-prinsip pembaruan agrarian dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 sebagai induk dari aturan pertanahan. Hak komunal harus dikonsepsikan sebagai konsep hak milik yang bukan hanya bersifat public tapi juga privat.

Andai saja, mereka berbondong-bondong mendaftarkan tanah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), konflik-konflik tanah di wilayah kawasan masyarakat komunal atau kawasan masyarakat adat bisa diselesaikan.

Hal demikian dikatakan Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai, usai berkunjung ke kantor Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid pada Rabu (15/1/2025) lalu.

Natalius Pigai awalnya menyinggung tingkat produksi ketersediaan pangan dengan konveksi yang begitu tinggi menyebabkan terjadi penyempitan ketersediaan area pertanian. 

"Kalau begitu apa yang perlu dilakukan? Karena itu akan mempengaruhi produksi pangan nasional itu juga akan mempengaruhi swasembada yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto," kata Pigai sapaannya kepada Monitorindonesia.com, menukil videonya, Sabtu (18/1/2025).

"Maka kami perlu kerja sama agar supaya space untuk produksi pangannya tetap dalam koridor dan kontrol sesuai dengan program prioritas pemerintah tapi juga kami tetap mengatur juga memberikan ruang supaya industri juga tetap berkembang."

Menurut pigai konversi lahan pertanian menjadi lahan lain yang membuat terjadinya penyempitan produksi pangan Indonesia. Dia menilai hal itu perlu dikontrol agar program swasembada pangan dapat terlaksana. 

"Kalau begitu, apa yang perlu dilakukan karena itu akan memengaruhi produksi pangan nasional, itu juga akan mempengaruhi swasembada pangan yang dicanangkan. Maka, kami perlu kerja sama agar ruang untuk produksi pangannya tetap dalam koridor dan kontrol sesuai dengan program prioritas pemerintah," jelas Pigai.

Menurutnya kontrol atas lahan yang ada di Indonesia dinilai perlu juga untuk memberikan kepastian kepada calon investor atas lahan yang dpaat digunakan. Dia menyebut ada beberapa wilayah jika terjadi industrialisasi sekala besar akan sangat berdampak pada produksi pangan.  

Pun, Pigai memberikan contoh pusat produksi beras di Indonesia seperti Majalengka, Indramayu, Sragen, dan Mujonegoro. Jika daerah tersebut dibangun sebuah kawasan industri, infrastruktur yang berlebihan secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan pangan Indonesia. 

"Contoh, saya mau kasih tahu pusat produksi beras di Indonesia itu lebih banyak produksinya dari Majalengka, Indramayu, kemudian Sragen, Bojonegoro. Kalau di situ dibangun sebuah kawasan industri, infrastruktur yang berlebihan misalnya, atau sarana prasarana pasti dong produksi pangan akan terganggu, misalnya berasa," bebernya.

Misalnya, lanjut Pigai, setahun rata-rata 600 sampai 800 suplai beras juga berasal dari Indramayu, Majalengka. Hampir juga dari Sragen, Bojonegoro. Karena itu kawasan-kawasan yang memang diperuntukkan untuk men-suplay pangan nasional, supaya adanya ketersediaan pangan bangsa ini, itu tetap harus dijaga.

"Jadi tadi kami kerja sama supaya perizinan itu terkontrol dalam rangka koridor pencapaian cita-cita bangsa, cita-cita nasional dan masa depan pangan nasional. Saya kira kalau dengan demikian kita tidak akan juga bisa bergantung kepada impor beras dari luar negeri impor pangan, tapi kita sendiri bisa menjaga kontrol apa produksi pangan termasuk surat swasembada pangan," jelas Pigai.

Contoh, kata dia, beras 30 juta ton konsumsi nasional, kalau hanya area lahan pertanian berasnya kecil, di bawah standar lahan yang tersedia nanti produksinya 20 juta ton, sementara satu tahun kita butuh 30 juta ton. "10 juta ton terpaksa suplai, tapi kalau spacenya tersedia maka bisa saja kita produksinya bisa mencapai 50 juta ton berarti kita masih kelebihan surplus 20 juta ton," beber Pigai.

Menurut Pigai, hal ini tujuannya untuk bangsa dan negara supaya suplay pangan tersedia di dalam negeri itu satu.

Selain itu, pihaknya juga  menyelaraskan untuk menata, mengontrol, karena berdasarkan data yang masuk waktu Pigai masih di Komnas HAM, rata-rata konflik tanah itu hampir 2000-an dalam setahun.

Sekarang di Kementerian HAM juga mungkin akan juga mengalami peningkatan, di tempat-tempat menerima pengaduan terkait dengan kasus juga pasti selalu ada.

"Karena itu kita selaraskan aspek ini, termasuk juga yang ketiga kita bicara tentang bagaimana digitalisasi sertifikasi. Saya senang sekali dengan Kementerian ATR/BPN, sekalipun gigi tali sertifikasi itu sulit, tapi sudah hampir mencapai lebih dari 20% itu kan Alhamdulillah ya syukur ya daripada enggak sama sekali," tutur Pigai.

Bayangkan, tambah Pigai, bagaimana orang mencari keadilan persoalan tanah persoalan sertifikat yang tumpang tinggi baik tidak hanya di perkotaan tapi juga di daerah-daerah terpencil. Karena itu ketika ada digitalisasi sertifikasi maka semua terkonek dan bisa dikendalikan secara baik dan benar.

Dalam pertemuan itu, dia juga mengaku ada hitung-hitungan tentang bagaimana kalau misalnya luas lahan pertanian di Pulau Jawa makin sempit karena industrialisasi, karena adanya realistis, karena adanya infrastruktur, karena adanya orang tua yang satu usianya menua dan anaknya mengalami misalnya terdidik dan bekerja di luar pertanian.

"Kalau begitu luar Jawa bagaimana? itu juga tadi kita hitung juga, kita bicara yang lebih untuk andaikan apakah boleh enggak untuk masa depan untuk kita sarankan untuk supaya industrinya dipindahkan ke luar dalam," ungkap Pigai lebih lanjut.

Memang ini teori itu adalah salah itu teori masa lalu karena harus tergantung industri, itu bergantung pada konsumen dan ketersediaan mobilisasi bahan baku.

Lalu yang terakhir, kata Pigai, bicara tentang bagaimana hak komunal. Menurut mantan pejabat di Komnas HAM ini, problem sertifikasi komunal itu sekarang agak sedikit susah, karena sejauh pengamatannya, tingkat partisipasi masyarakat secara sukarela untuk mendaftarkan ke Kementerian ATR/BPN itu juga susah.

"Kenapa susah? justru ini kawasan masyarakat adat, masyarakat komunal setiap orang mengklaim punya dia. Padahal sesungguhnya itu punya kawasan adat, supaya apa? supaya ia memiliki sertifikat dan dia simpan dan dia bisa jual."

"Sementara kawasan adat itu andaikan mereka bersatu aja lalu mendaftarkan tanah di Kementerian ATR/BPN itu pasti konflik-konflik tanah di wilayah kawasan masyarakat komunal atau kawasan masyarakat adat bisa diselesaikan," jelas Pigai.

Pun dalam kesempatan itu, Pigai mengapresiasi kementerian ATR/BPN karena sudah menyediakan sertifikat komunal. "Ini luar biasa, coba kalian cek di seluruh dunia tidak semua negara di dunia ini yang menyediakan itu," demikian Natalius Pigai.

Topik:

Natalius Pigai ATR/BPN Kementerian HAM Komunal Tanah Adat