DPR Dorong Tanah Adat di Malut Harus Dilindungi Lewat Perda


Sofifi, MI - Komisi II DPR RI mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Malut untuk segera menetapkan peraturan daerah (Perda) terkait pengakuan tanah adat. Dorongan ini disampaikan dalam kunjungan kerja Komisi II ke Malut yang difokuskan pada pengawasan terhadap kinerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), khususnya dalam menyelesaikan persoalan tata ruang, konflik pertanahan, dan upaya peningkatan pendapatan daerah di wilayah kepulauan tersebut.
Isu tanah adat menjadi sorotan penting dalam kunjungan ini, mengingat banyaknya konflik agraria yang belum tuntas di Malut. Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah penetapan 11 warga Maba Sangaji di Halmahera Timur sebagai tersangka karena mempertahankan tanah mereka dari ekspansi tambang PT Position.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menjelaskan bahwa GTRA memiliki peran strategis dalam menyelesaikan konflik agraria. Struktur kelembagaannya menggabungkan lintas sektor mulai dari kepala daerah, kementerian ATR/BPN, hingga aparat penegak hukum.
“GTRA itu isinya adalah kepala daerah, kementerian ATR/BPN, aparat penegak hukum, serta beberapa OPD terkait di daerah. Salah satu yang kami dorong adalah, kalau memang tanah-tanah adat selama ini belum dibuatkan Perda di tingkat kabupaten/kota, maka segera dibuat,” ujarnya di Ternate, Senin (28/7).
Ia menekankan bahwa tanpa Perda sebagai dasar hukum, pengakuan negara terhadap tanah adat akan sulit dilakukan secara legal-formal. Padahal, pengakuan tersebut sangat penting untuk menghindari konflik dan menjamin keadilan agraria di daerah.
“Dengan dasar Perda, maka kementerian ATR bisa memberikan alas haknya. Kalau sudah ada alas hak, maka ke depan seharusnya konflik-konflik seperti itu tidak perlu terjadi lagi,” tuturnya.
Namun, lanjut Rifqinizamy, dalam kondisi di mana konflik sudah terlanjur terjadi, maka pendekatan mediasi dan pemulihan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Ia menyoroti bahwa selama ini konflik sering kali muncul karena tidak adanya dasar hukum yang mengakui keberadaan tanah adat secara formal.
“Jujur saja, konflik itu muncul karena dalam perspektif legal formal negara, hak atas tanah adat belum diakui,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa GTRA memiliki tiga tugas utama, yaitu memetakan wilayah, melakukan mitigasi terhadap potensi konflik, dan mengambil kebijakan yang berpihak pada masyarakat lokal.
Menurutnya, Malut membutuhkan langkah-langkah konkret untuk melindungi wilayah-wilayah adat dari eksploitasi yang tidak berkeadilan.
“Tugas GTRA di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota adalah memetakan, memitigasi, dan mengambil kebijakan strategis untuk melindungi setiap jengkal tanah yang ada di wilayah Malut,” katanya.
Rifqinizamy menambahkan, kehadiran GTRA tidak hanya sebagai bentuk formalitas, tetapi sebagai instrumen koordinasi lintas sektor yang memiliki peran penting dalam mengurai berbagai persoalan agraria.
Penunjukan kepala daerah sebagai ketua GTRA di setiap tingkatan dinilai tepat untuk mempercepat penanganan kasus di lapangan.
“Makanya kepala daerah secara otomatis menjadi ketua GTRA di setiap tingkatan. Dengan posisi itu, seharusnya mereka bisa mengambil langkah-langkah konkret,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti lemahnya legalitas aset milik pemerintah daerah yang belum memiliki dokumen resmi seperti Hak Guna Bangunan (HGB). Persoalan ini, kata dia, menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah dalam pengelolaan aset dan penguatan pendapatan daerah.
“Datanya itu ada di kementerian ATR. Tapi kementerian ATR tidak bisa serta merta menindak karena keterbatasan kewenangan berdasarkan UU Pokok Agraria. Di sinilah pentingnya koordinasi dalam GTRA,” ujarnya.
Jika fungsi GTRA dimaksimalkan, maka penyelesaian masalah seperti legalisasi aset bisa dilakukan dengan pendekatan persuasif.
Ia mencontohkan bahwa kementerian dapat menyerahkan data, lalu aparat penegak hukum dapat memanggil instansi atau pihak terkait untuk menyelesaikan kewajiban mereka.
“Kalau mereka akhirnya memperpanjang HGB, itu menjadi hal positif. Penegakan hukum terlaksana, dan penerimaan negara juga bertambah. Jadi, fungsi GTRA ini bukan hanya menyelesaikan konflik masyarakat, tapi juga memperkuat legalitas aset dan meningkatkan PAD,” jelasnya.
Komisi II DPR RI, kata Rifqinizamy, berkomitmen untuk memastikan GTRA di seluruh daerah berfungsi aktif. Ini adalah bagian dari upaya serius DPR dalam memperkuat kelembagaan agraria di tingkat lokal.
“Kami ingin masalah tata ruang dan pertanahan di daerah bisa diselesaikan dengan baik,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa kunjungan ini bukan sekadar seremonial, tetapi bentuk konkret DPR dalam melakukan inventarisasi persoalan di lapangan. Setelah kunjungan ini, pihaknya akan melakukan pemetaan isu untuk dibawa ke tingkat nasional.
“Tugas kami adalah menghimpun berbagai persoalan. Jika diperlukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, Komisi II DPR RI siap mengambil inisiatif,” imbuhnya.
Menurut Rifqinizamy, Komisi II DPR RI selama ini aktif menjalin komunikasi dengan kepala daerah, termasuk Gubernur Malut, Sherly Tjoanda. Upaya ini menjadi bagian dari mekanisme penyusunan solusi yang berbasis pada kebutuhan dan realitas daerah.
“Ibu Gubernur Malut bersama 38 gubernur lainnya pernah kami undang ke Komisi II untuk memaparkan berbagai persoalan daerah. Dari situlah kami menindaklanjutinya dengan memanggil menteri terkait. Alhamdulillah, sebagian besar masalah sudah kami selesaikan satu per satu,” pungkasnya. (Jainal Adaran)
Topik:
Pemprov Malut Gubernur Malut Sherly Tjoanda Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda Tanah Adat