Drama Utang Pemprov Malut, Mungkinkah Ada ‘Happy Ending’?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Ketua Komisi II DPRD Maluku Utara, Ishak Naser (Foto: Dok. MI/Rais Dero)
Ketua Komisi II DPRD Maluku Utara, Ishak Naser (Foto: Dok. MI/Rais Dero)

Sofifi, MI - Ketua DPRD Maluku Utara (Malut), Kuntu Daud, dan Ketua Komisi II, Ishak Naser memeberikan keterangan pers usai rapat pembahasan KUA-PPAS di kantor DPRD Maluku Utara, Sofifi, pada Senin (5/8/2024).

Kuntu Daud menyampaikan bahwa anggaran sebesar Rp 1,5 triliun akan diselesaikan pada tahun 2024, sementara sisa Rp 400 miliar lebih akan dibawa ke tahun 2025. "Jadi Insya Allah nanti 2024 ini kase selesai yang Rp 1.5 triliun kase sisa yang Rp 400 miliar sekian itu dibawa ke 2025," ujarnya.

Di tempat yang sama, Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Maluku Utara, Ishak Naser, menambahkan, "Jadi intinya begini ya, kesempatan hari ini kita mengacu pada laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2023 yang mana disitu, kewajiban jangka pendek kita itu ada Rp 1,3 triliun itu terakhir utang baik barang dan jasa, utang belanja modal, maupun utang DBH, DBH Kabupaten Kota totalnya itu Rp 1.350.000.000.000 miliar lebih."

Ishak menjelaskan bahwa sebagian dari utang tersebut telah dibayar, dan sisa yang belum dibayar akan dilunasi pada tahun 2024. "Nah itu ada sebagian yang sudah dibayar, nah sehingga sisanya itu akan kita bayarka di tahun tahun 2024 kalau mau memperhatikan kondisi keuangan kita saat ini sisa pendapatan yang bisa kita capai dari bulan Juli sampai dengan Desember 2024 itu sisa Rp 1.497.514.700.7000 triliun," lanjutnya.

Namun, dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan mencapai Rp 1,9 triliun, pemerintah daerah akan mengalami defisit sebesar Rp 414.816.117.771 miliar. "Kemudian dari pendapatan itu jumlah yang harus kita keluarkan masih Rp 1,9 triliun, yah yang harus kita belanja disisa bulan ini sampai Desember itu pengeluaran kita yang harus kita keluarkan itu sudah semua belanja wajib dan termasuk utang pada pihak ketiga ya, itu seluruhnya Rp 1,9 miliar," jelasnya.

Ishak juga merinci alokasi anggaran untuk berbagai kebutuhan, termasuk gaji pegawai, honor guru, TPP, dan operasional OPD. "Gaji kan bukan utang tapi dia wajib dibelanjakan tahun ini, untuk gaji 5 bulan itu ada Rp 213 miliar, honor daerah untuk guru itu seluruhnya Rp 8,1 miliar lebih, kemudian TPP, 5 bulan itu ada Rp 95 miliar, sebenarnya bukan 5 bulan ya TPP ada berapa bulan sebelumnya yang belum terbayarkan, tapi kalau dibayar full sampai bukan Desember itu pengeluaran pemerintah harus mencapai Rp 95 miliar, kemudian jada pegawai itu ada Rp 35 miliar kemudian operasional seluruh OPD ini termasuk Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu ada Rp 250 miliar untuk seluruh OPD dan termasuk Kepala Daerah," paparnya.

Lebih lanjut, Ishak menyebutkan bahwa insentif daerah dan pembayaran pokok utang juga termasuk dalam prioritas anggaran. "Kemudian insentif dan itu ada Rp 15 miliar, kemudian setoran untuk kepesertaan BPBJS ada 5 miliar kemudian pembayaran pokok utang dan cicilan ke SMI itu ada Rp 40 miliar kemudian alokasi belanja untuk kebutuhan RSU Sofifi itu ada Rp 18,5 miliar kemudian utang belanja modal dan barang jasa di luar multi years maupun yang multi years itu ada Rp 380 miliar," tambahnya.

Mengenai utang kepada pihak ketiga, Ishak menekankan bahwa pemerintah daerah berkomitmen untuk menyelesaikan utang tersebut. "Jadi teman-teman kontraktor tidak usah khwatir karena ini utang Rp 380 miliar ini sudah ada di anggaran induk yang kemarin bilang belum ada utang yang di akui, utang yang diakui Rp 380 miliar ini ditambah nanti ada Rp 470 miliar yang sudah diakui tapi belum masuk di APBD nanti ditampung di APBD Perubahan itu ada Rp 470 miliar lebih sehingga total yang dibelanjakan di 5 bulan terakhir ini adalah Rp 1,9 triliun lebih," katanya.

Dengan total penerimaan yang hanya mencapai Rp 1,4 triliun lebih, Ishak menekankan pentingnya prioritas dalam pembayaran utang. "Sementara total penerimaan dampai Desember dari waktu yang berjalan saat ini hanya Rp 1,4 triliun lebih sehingga kita mengalami devisit Rp 414 miliar lebih yang akan kita anggarkan di APBD tahun 2025," jelasnya.

Ishak juga menyatakan bahwa tidak ada korban dari situasi ini, namun penundaan pembayaran akan dilakukan. "Kalau bilang korban sih selain tidak ada yang korban, hanya memang terpaksa harus ditangguhkan sedikit, nah didalam tadi disepakati dari Rp 1,9 triliun, ini kan cuma Rp 1,5 triliun yang mau dibayarkan, soal bagaimana memprioritaskan pembayaran utang tentu saja kita punya pertimbangan pihak ketiga yang harus kita lebih kedepankan yah," ujarnya.

Dalam hal pembayaran kepada pihak ketiga, Ishak menekankan pentingnya untuk memprioritaskan pihak-pihak yang sudah menyelesaikan pekerjaan tanpa uang muka. "Karena tadi berkembang pendapat begini kalau daerah kabupaten kota belum dibayar full, daerah kan tidak mungkin bangkrut tapi kalau pihak ketiga tidak di bayarkan kemungkinan bisa gulung tikar, kalau itu pemerintah harus mempertimbangkan itu secara cermat dan DPR memberikan suport," katanya.

Ishak juga menegaskan bahwa DPR mendukung sepenuhnya prioritas pembayaran utang kepada pihak ketiga dan penerapan sanksi bagi pihak ketiga yang tidak memenuhi kewajiban mereka. "Mendukung sepenuhkan kalau pemerintah memprioritaskan pembayaran utang kepada pihak ketiga juga pemerintah harus berani menerapkan sanksi apabila pihak ketiga itu tidak melakukan perjanjiannya sesuai dengan perjanjian, sehingga dalam hal kalau dia tidak menepati pelaksanaan pekerjaan sehingga dia harus diterapkan ke denda, itu pemerintah wajib memberikan penerapan ketentuan sanksi denda keterlambatan pekerjaan itu kata kuncinya," jelasnya.

Mengenai utang DBH, Ishak menambahkan bahwa masih ada utang yang belum bisa dibayar sepenuhnya. "DBH kan ada Rp 400 miliar lebih tadi jadi tidak seluruhnya utang DBH, ada juga utang pihak ketiga yang kita tidak bisa membayar sepenuhnya, tapi nanti kita lihat kan, misalnya kayak utang DBH, tapi ini bukan di wilayah DPR ya, ini DPR hanya menyerahkan ini ke eksekutif," tambahnya.

DPR, menurut Ishak, hanya memberikan panduan tentang prioritas pembayaran. "DPR hanya memberikan kisi-kisi yang mana harus diprioritaskan, contoh utang kepada pihak ketiga yang diprioritaskan itu kepada mereka yang pekerjaannya sudah selesai 100 persen tapi tidak menggunakan uang muka itu prioritas yang paling pertama," ujarnya.

Ishak menekankan pentingnya memperlakukan dengan adil pihak-pihak yang telah menyelesaikan pekerjaan mereka. "Nah, prioritas keduanya adalah mereka yang menyelesaikan pekerjaan 100 persen tapi sudah menggunakan uang muka yang ketiga mereka yang pekerjaannya tidak mengambil uang muka tetapi pekerjaannya belum 100 persen dan prioritas yang paling terakhir mereka yang sudah mengambil uang muka tapi pekerjaannya sampai pada 31 Desember 2023 belum selesai, dia baru selesainya di 2024, ini tidak boleh jadi prioritas, nanti akan muncul ketidakadilan, bagaiman orang yang pekerjaannya 100 persen selesai tanpa uang muka disama prioritaskan dengan mereka yang tidak selesai pekerjaanya tapi menggunakan uang muka," jelasnya.

Ishak juga menekankan pentingnya merujuk pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK untuk memastikan keakuratan data utang. 

"Utang kan berdasarkan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh BPK yang tidak diakui dalam laporan keuangan yang tidak bisa diakui sebagai utang kan begitu," katanya.

Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih efisien dalam mengelola anggaran, termasuk mengurangi anggaran yang tidak prioritas untuk membayar utang. "Kan ada anggaran yang kita sudah kita anggaran untuk dibelanjakan pada tahun ini kan kita bisa efisienkan dengan mengurangi anggaran-anggaran yang tidak terlalu prioritas supaya anggaran itu kita alihkan seluruhnya untuk pembayaran utang, tidak harus ada tambahan pendapatan, kan begitu," ujarnya.

Utang yang sudah dibayarkan, termasuk DBH, telah mencapai sekitar Rp 300 miliar lebih. "Utang yang sudah dibayarkan sekitar Rp 300 miliar lebih yang sudah dibayarkan termasuk DBH sebagian," tutup Ishak. (Rais Dero)