DPRD Bongkar “Malasnya” DLH Malut Awasi Lingkungan


Sofifi, MI — Ketua Komisi III DPRD Malut, Merlisa Marsaoly, menyampaikan kritik keras terhadap kinerja Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malut yang dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan lingkungan. Kepada wartawan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan OPD mitra di kantor DPRD Sofifi, Senin (28/4/2025), politisi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa situasi kerusakan lingkungan di Malut semakin memburuk akibat lemahnya pengawasan dan minimnya dukungan anggaran.
“Tahun anggaran 2025 kita evaluasi untuk DLH memang kita evaluasi juga dengan kondisi dan keadaan yang terjadi di Maluku Utara,” tegas Merlisa membuka pernyataannya kepada wartawan.
Ia menyoroti persoalan pencemaran lingkungan dan penanganan sampah yang menurutnya sangat memprihatinkan.
“Pencemaran lingkungan dan terkait masalah sampah sehingga Komisi III memandang perlu untuk menghadirkan DLH dengan kondisi anggaran fungsi pengawasannya yang kurang sehingga DLH sendiri kurang melakukan pengawasan di Maluku Utara,” ujar Merlisa.
Buruknya kinerja DLH, menurut Merlisa, terlihat nyata di Sofifi, di mana pengelolaan sampah masih menjadi masalah akut. Ia menjelaskan, pada awalnya, pengelolaan sampah di Sofifi masuk dalam tanggung jawab Kota Tidore Kepulauan, sesuai dengan aturan yang mengembalikan urusan pengelolaan sampah ke masing-masing kabupaten/kota. Namun karena tarik-menarik kewenangan dan ketidakjelasan pengelolaan, akhirnya tanggung jawab tersebut kini diambil alih oleh Pemprov Malut.
“Terkait dengan itu belum maksimal yah tugas yang dilakukan oleh DLH. Contoh terkait dengan masalah sampah di Sofifi semula masuk wilayah Kota Tidore, yang sesuai aturan bahwa pengelolaan sampah itu kan dikembalikan ke masing-masing wilayah kabupaten kota, kemudian karena saling ini akhirnya tanggungjawab itu diambil oleh Pemprov itu sendiri,” bebernya.
Komisi III, lanjut Merlisa, juga mendorong agar segera ada finalisasi peraturan daerah (Perda) mengenai retribusi sampah, untuk memberikan dasar hukum dalam pemungutan retribusi dari rumah tangga maupun sektor industri. Ia menekankan, perda ini akan berkontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi.
“Dengan belum ada pungutan retribusi sampah ya, baik sampah rumah tangga maupun industri. Komisi III mendorong supaya Perda yang ada untuk segera difinalisasi supaya PAD untuk provinsi bisa ada,” kata Merlisa.
Selain masalah sampah, Merlisa juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap bencana banjir dan kerusakan sungai yang terjadi di Halmahera Timur. Menurutnya, hal ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan peningkatan pengawasan dan penanganan lingkungan.
“Kita tahu juga sekarang ketika turun di Haltim itu terkait dengan sungai-sungai, banjir, dan sebagainya. Nah itu harus ada langkah-langkah yang lebih lagi mengenai anggaran yang ada di DLH,” ujarnya.
Namun Merlisa menyadari keterbatasan yang dihadapi DLH, terutama terkait anggaran yang terus mengalami pemangkasan.
“Cuma kita maklumi dengan efisiensi yang ada, kemarin Rp18 miliar kemudian efisiensi jadi sisa Rp11 miliar sekian, ini lagi mau efisiensi jadi belum tahu lagi,” ungkapnya.
Ia berharap, dalam kondisi ini, DLH tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal, dengan memprioritaskan pengawasan di daerah-daerah yang paling membutuhkan.
“Kami berharap kita semua sama-sama dengan DLH melakukan fungsi masing-masing terkait pengawasan supaya apa yang terjadi dengan pencemaran lingkungan itu bisa dikurangi,” ujarnya.
Merlisa juga mengakui bahwa sebagian besar pencemaran lingkungan di Malut merupakan dampak langsung dari aktivitas pertambangan. Ia menegaskan bahwa kehadiran investasi, khususnya di sektor pertambangan, membawa konsekuensi serius terhadap lingkungan hidup.
“Karena memang kondisinya kita tidak pungkiri, kalau kehadiran investasi, investor tambang pasti efek sampingnya kepada lingkungan, begitu,” ucapnya.
Menurut Merlisa, pengawasan terhadap aktivitas tambang menjadi sangat penting untuk memastikan perusahaan menjalankan kewajibannya dalam melakukan reklamasi.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara DLH dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memperkuat pengawasan tersebut.
“Karena kita berbenturan dengan ijin yang telah dikeluarkan itu kan, jadi bagaimana kita maksimal melakukan fungsi pengawasan untuk melakukan reklamasi di lingkungan (tambang) itu sendiri, lewat DLH lewat Dinas ESDM, kita koordinasilah,” tegasnya.
Saat ditanya mengenai data spesifik terkait kerusakan lingkungan di Malut, Merlisa mengaku hingga saat ini belum mengantongi informasi rinci dari DLH. Ia menyebutkan bahwa keterbatasan anggaran membuat laporan yang masuk pun tidak maksimal.
“Belum ada, data belum disampaikan secara ini sih karena mereka anggarannya masih minim sekali untuk melakukan pengawasan yah belum terlalu maksimal,” katanya.
Begitu pula ketika ditanya tentang kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang, Merlisa belum bisa memberikan keterangan rinci karena DLH belum menyerahkan laporan tersebut. Ia menyayangkan lambannya respons DLH dalam menyediakan data penting ini.
“Belum, belum ada. Jadi itu tadi kami sampaikan, kalau memang anggarannya tidak cukup tidak perlu harus semua, karena dari 10 kabupaten/kota tidak semua kan masalah lingkungan itu yang parah,” ujarnya.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Merlisa mengusulkan agar DLH memfokuskan pengawasan pada daerah-daerah dengan tingkat kerusakan lingkungan yang paling parah, seperti Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Pulau Taliabu, dan Halmahera Selatan.
“Kita lihat yang parah-parah saja, misalnya beberapa daerah Haltim, Halteng, terus Taliabu yang di Halsel, itu mungkin yang difokuskan tahun ini misalnya dua kabupaten, terus tahun depan berapa lagi, tetapi kalau setiap tahun dianggap tidak, kurang-kurang tidak bisa laksanakan semua sehingga tidak ada fungsi pengawasan yang dijalankan,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya fokus kerja agar pengawasan bisa berjalan lebih efektif. “Semestinya di dalam satu tahun itu difokuskan satu daerah yang dinilai ini sudah harus benar-benar diawasi,” tegas Merlisa.
Di akhir sesi wawancara, Merlisa juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 20 perusahaan tambang yang aktif beroperasi di wilayah Maluku Utara. Meski demikian, ia mengakui perlu ada data yang lebih valid dan terkonfirmasi dari instansi teknis terkait.
“Setahu saya sih baru 20 lebih yah,” ujar Merlisa menutup keterangannya. (RD)
Topik:
DPRD Malut Merlisa Marsaoly DLH Malut