Sikap Bungkam Plt Kadinkes Malut Kontras dengan Komitmen Gubernur soal Transparansi


Sofifi, MI - Di tengah semangat reformasi birokrasi dan tata kelola transparan yang terus digaungkan, proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sofifi justru menjadi contoh nyata buruknya pengelolaan proyek publik di Pemprov Malut. Proyek senilai Rp123 miliar yang dibiayai lewat pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) kini terbengkalai, hanya menyisakan tiang-tiang beton, tanpa kejelasan nasib kelanjutannya.
Sorotan tajam datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menilai proyek ini sebagai salah satu dari sekian banyak proyek mangkrak di Malut. Namun yang lebih mengejutkan, Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Malut, Muhammad Isa Tauda, yang juga bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek RSUD Sofifi, justru memilih diam.
Upaya konfirmasi oleh wartawan terhadap Isa Tauda tidak membuahkan hasil. Dua kali didatangi ke kantornya pada Kamis (18/6), seorang staf menyampaikan bahwa ia sedang berada di Kota Ternate.
Bahkan pesan WhatsApp yang dikirimkan juga tidak dijawab. Bungkamnya Isa Tauda menimbulkan banyak pertanyaan, mengingat perannya sebagai PPK seharusnya menjadikannya pihak paling bertanggung jawab menjelaskan progres dan kendala proyek.
Proyek pembangunan RSUD Sofifi dimulai pada Juni 2022 dan dikerjakan oleh PT Karya Bisa, dengan pencairan uang muka sebesar Rp18 miliar atau 15 persen dari total nilai proyek.
Namun, pada 2023, PT SMI sebagai penyedia pinjaman, memutus kontrak kerja sama dengan Pemprov Malut karena sejumlah alasan yang belum dijelaskan secara terbuka.
Sikap tertutup Plt Kadinkes sekaligus PPK proyek ini dinilai bertolak belakang dengan visi Gubernur Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe yang mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan transparan.
Ketua Satgas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK, Abdul Haris, menegaskan bahwa proyek RSUD Sofifi merupakan salah satu fokus KPK karena statusnya yang mangkrak dan menyangkut pelayanan dasar masyarakat.
“Banyak proyek mangkrak. Jalan, termasuk rumah sakit Sofifi yang dibangun hanya tiangnya saja. Padahal ini menyangkut pelayanan publik yang sangat penting,” tegas Haris kepada wartawan.
Menurutnya, meskipun Gubernur menyatakan rencana untuk melanjutkan proyek, KPK menyarankan agar dilakukan audit investigatif terlebih dahulu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Jangan-jangan proyek ini sudah lama mangkrak. Nah, mangkraknya kenapa, kan kita tidak tahu. Kalau memang layak, bisa dilanjutkan. Tapi kalau tidak, ya harus dievaluasi,” tambahnya.
RSUD Sofifi sendiri saat ini masih berstatus rumah sakit tipe D. Untuk naik menjadi tipe C, fasilitas seperti ruang rawat inap dan ruang operasi harus ditambah. Namun dengan kondisi proyek yang terbengkalai dan tidak adanya penjelasan dari pihak berwenang, peningkatan status rumah sakit ini hanya menjadi angan-angan.
Ketertutupan Isa Tauda, yang dalam kapasitasnya sebagai PPK semestinya menjadi pihak paling memahami seluruh tahapan dan hambatan proyek, justru memperkuat kesan ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
Transparansi adalah kunci utama membangun kepercayaan publik. Ketika pejabat terkait memilih bungkam, kecurigaan publik tak bisa dihindari. Proyek RSUD Sofifi kini bukan hanya simbol kegagalan fisik, tapi juga krisis akuntabilitas di tubuh birokrasi Pemprov Malut.
Di tengah tuntutan keterbukaan, Isa Tauda justru memilih menghindar. Jika proyek sebesar ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas oleh PPK-nya sendiri, bagaimana nasib proyek-proyek lainnya?
Pemprov Malut kini berada di persimpangan jalan: apakah akan membiarkan proyek ini menjadi warisan kegagalan, atau bergerak cepat dengan audit menyeluruh, mengevaluasi pelaksana, dan memberi penjelasan kepada publik.
Publik tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin transparansi, tanggung jawab, dan rumah sakit yang benar-benar bisa melayani, bukan hanya berdiri sebagai tiang kosong penuh janji. (Jainal Adaran)
Topik:
Pemprov Malut Proyek RSUD Sofifi