Anak Buah Prabowo Tinggalkan Sidang Paripurna DPRD Malut

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 23 Oktober 2025 6 jam yang lalu
Ketua Komisi I DPRD Malut, Nazla Kasuba (Foto: Dok MI).
Ketua Komisi I DPRD Malut, Nazla Kasuba (Foto: Dok MI).

Sofifi, MI - Wagub Malut, Sarbin Sehe, angkat bicara menanggapi aksi walk out sejumlah anggota DPRD Malut dari Fraksi Gerindra, Hanura, dan sebagian Fraksi Golkar dalam sidang paripurna penyampaian jawaban kepala daerah atas pandangan umum fraksi terhadap Ranperda APBD Tahun Anggaran 2026.

Bagi Sarbin, dinamika di ruang paripurna merupakan bagian dari proses politik yang sehat, sejauh dijalankan dalam koridor tata tertib dan mekanisme lembaga. Ia menilai, pemerintah daerah telah memenuhi seluruh jadwal yang ditetapkan DPRD dan melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dengan baik.

“Kita ikuti jadwal yang sudah ditetapkan oleh DPRD. Jadwal hari ini memberikan jawaban atas pandangan fraksi, dan Alhamdulillah ini sudah dilakukan dengan baik,” ujar Sarbin saat diwawancarai usai paripurna di Gedung DPRD Malut, Sofifi, Rabu (22/10).

Sarbin menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Maluku Utara tetap menghormati sepenuhnya mekanisme yang dijalankan oleh DPRD, termasuk dalam hal menelaah, mengkaji, dan mengkritisi dokumen APBD 2026. 

Mantan Kakanwil Kemenag Malut ini menilai proses tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan legislatif yang harus dihargai. Karena itu, pihaknya memastikan koordinasi antara eksekutif dan legislatif akan terus dijaga, baik dalam hal pembahasan teknis, penyesuaian tata tertib, maupun penerapan regulasi selanjutnya agar seluruh tahapan penyusunan anggaran berjalan sesuai prosedur.

“Itu mekanisme DPRD, dan kita berkoordinasi dengan DPRD. Kalau terkait tata tertib dan regulasi selanjutnya, tentu kita akan tetap berkoordinasi dengan mereka,” tambahnya dengan nada diplomatis.

Dia menjelaskan bahwa secara administratif, seluruh dokumen pendukung APBD 2026 telah diserahkan secara resmi kepada DPRD. Namun, ia tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan teknis yang masih akan dibahas dalam rapat-rapat komisi maupun Badan Anggaran (Banggar).

“Dokumen secara administrasi dan rinci sudah diserahkan. Kalaupun ada kekurangan, itu bisa dibahas di Banggar atau di komisi. Masih dalam batas yang normal, karena dokumen setebal itu tidak mungkin langsung sempurna,” ujar Sarbin.

Meski sidang diwarnai intrupsi dan aksi keluar ruangan oleh beberapa fraksi, Sarbin justru memilih sikap apresiatif terhadap DPRD. Ia menilai, ketelitian dewan dalam memeriksa setiap rincian dokumen menandakan fungsi pengawasan berjalan dengan baik. 

“Saya apresiasi DPRD karena melihat secara detail dokumen-dokumen itu,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sarbin juga menyatakan dukungannya terhadap sikap DPRD yang menolak rencana pengurangan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Menurutnya, efisiensi anggaran memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan aparatur sipil negara.

“Saya termasuk yang mendukung agar TPP tidak diganggu. Kemarin saya sudah rapat secara khusus dengan Pak Sekda, memanggil tim, dan membahas angka-angkanya. Kami berupaya agar efisiensi tidak sampai mengganggu hak pegawai,” kata Sarbin.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Malut, Samsuddin Abdul Kadir, menjelaskan bahwa anggaran TPP yang disiapkan pemerintah setiap tahun mencapai sekitar Rp250 miliar sejak 2024. Ia mengakui bahwa pemangkasan anggaran sebesar Rp700 miliar lebih memang menjadi tantangan berat bagi pemerintah.

“TPP tiap tahun dianggarkan Rp250 miliar, dan angka itu sudah berlaku sejak 2024. Pemotongan Rp700 miliar lebih tentu besar, jadi nanti kita lihat apakah memungkinkan untuk tetap bertahan pada angka itu. Kita bahas bersama DPRD hasilnya seperti apa,” ujar Samsuddin.

Sikap terbuka Sarbin dan Samsuddin di tengah memanasnya dinamika parlemen mencerminkan upaya pemerintah menjaga keseimbangan antara efisiensi fiskal dan kesejahteraan aparatur. Namun, di balik ketenangan pemerintah, sidang paripurna kali ini menyingkap ketegangan politik yang lebih dalam.

Ketua Komisi I DPRD Malut, Nazla Kasuba, menilai pimpinan sidang telah mengabaikan tata tertib karena tidak memberi ruang bicara bagi fraksi-fraksi yang ingin menyampaikan interupsi. Ia menilai sikap tersebut melanggar prinsip dasar demokrasi di tubuh DPRD.

“Gerindra dan Hanura tidak diberikan ruang untuk berbicara. Tata tertib itu jadi dasar kita menjalankan fungsi DPRD. Tapi kenapa tadi seolah-olah tidak boleh ada yang interupsi? Itu jadi pertanyaan besar,” tegas Nazla.

Menurutnya, aksi walk out yang dilakukan Gerindra dan Hanura bukan tindakan emosional, melainkan bentuk tanggung jawab politik terhadap rakyat. “Kita punya tiga fungsi: pengawasan, penganggaran, dan legislasi. Sekarang APBD kita Rp2,7 triliun, dipangkas Rp700 miliar lebih. Apa yang dikurangi? Pasti hal-hal yang menyangkut masyarakat,” ujarnya tajam.

Nazla juga mempertanyakan ketidakhadiran Gubernur Sherly Tjoanda dalam tiga tahapan penting pembahasan APBD. “Masa tiga-tiganya Gubernur tidak hadir? Ini soal tanggung jawab politik, bukan soal simbol. Kalau Gubernur tidak hadir, itu harus dijelaskan ke publik,” tambahnya.

Nada serupa juga datang dari Anggota Komisi III DPRD Malut Fraksi Hanura, Iswanto, yang menilai walk out adalah langkah moral karena pemerintah dianggap tidak serius menghadapi pembahasan masa depan daerah.

“Daerah ini tidak baik-baik saja. Tahun 2026 kita ada pemangkasan hampir Rp800 miliar. Itu berimbas besar pada program. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan keseriusan pemerintah. Kehadiran Ibu Gubernur di paripurna itu bentuk tanggung jawab politik,” ucap Iswanto.

Menurutnya, Hanura tidak menolak APBD, tetapi menolak proses yang tidak transparan. “Kalau dokumennya saja tidak lengkap, itu menandakan pemerintah tidak serius. Membangun daerah bukan dengan program hebat di media, tapi dengan keseriusan di tahapan anggaran,” tegasnya. (Jainal Adaran).

Topik:

Pemprov Malut DPRD Malut