Gubernur Malut Sherly Tutup Ruang untuk Kritik Berbasis Rumor

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 November 2025 15:30 WIB
Gubernur Malut, Sherly Tjoanda (Foto: Dok MI/Jainal Adaran)
Gubernur Malut, Sherly Tjoanda (Foto: Dok MI/Jainal Adaran)

Sofifi, MI - Gubernur Maluku Utara (Malut) Sherly Tjoanda menegaskan bahwa setiap kritik maupun desakan peninjauan kembali terhadap rencana pembangunan Jalan Trans Kie Raha harus dilandaskan pada pemahaman menyeluruh terhadap dokumen perencanaan resmi.

Ia menyampaikan bahwa sebelum mengemukakan keberatan, terutama dari Presidium KAHMI Malut, semua pihak wajib membaca secara lengkap Feasibility Study (FS) yang telah disusun oleh tenaga profesional. Menurutnya, dialog baru dapat dilakukan secara produktif apabila seluruh pihak memahami substansi kajian tersebut.

“Suruh mereka, sudah baca Feasibility Study (FS) belum? Suruh baca FS dulu, baru berdialog dengan saya. Itulah gunanya Feasibility Study yang dilakukan oleh profesional,” tegasnya, di Sofifi, Selasa (25/11/2025).

Gubernur menjelaskan bahwa FS bukan hanya sekadar dokumen pendamping, tetapi merupakan fondasi analitis yang memuat kajian lingkungan, tata ruang, hingga perhitungan teknis oleh ahli. 

Karena itu, orang nomor satu di Malut ini menilai kritik yang tidak berlandaskan kajian hanya akan menimbulkan kekeliruan dan memperkeruh informasi publik. Dia menekankan bahwa seluruh pertanyaan mengenai proyek Trans Kie Raha sesungguhnya telah terjawab dalam FS, sehingga diperlukan kedisiplinan membaca sebelum mengkritisi.

“Setelah baca Feasibility Study, baru kita berdebat dengan data. Makanya baca dulu FS. Dalam Feasibility Study itu sudah ada AMDAL, sudah ada RTRW, sudah ada perhitungan profesional. Semua pertanyaan mereka itu ada dalam Feasibility Study. Tolong dibaca FS, baru kita bisa berdiskusi,” ungkap Sherly.

Dia juga menuturkan bahwa DPRD Malut telah menerima FS secara resmi lengkap dengan berita acara, sehingga tidak ada lagi ruang untuk keraguan terkait keabsahan dokumen tersebut. Gubernur Sherly meminta agar diskusi publik tidak didasarkan pada rumor atau informasi yang tidak terkonfirmasi. Bila ada pihak yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, ia mempersilakan untuk berkoordinasi langsung dengan Sekretaris DPRD Malut, terangnya.

“Kalau Feasibility Study (FS) tidak dibaca kemudian diskusi dengan saya, apa yang mau didiskusikan? Kita diskusi harus dengan data. Feasibility Study sudah diterima. Bicara dengan saya jangan pakai katanya. Sudah ada berita acara. Silakan tanyakan ke Pak Sekwan, karena FS sudah diserahkan ke Pak Sekwan,” terangnya.

Sebelumnya, dari pihak Presidium KAHMI Malut, Koordinator Ishak Naser menyampaikan sejumlah catatan terkait rencana pembangunan Trans Kie Raha. Seusai rapat bersama DPRD Malut, ia mengungkapkan bahwa KAHMI telah melakukan serangkaian kajian internal melalui Majelis Pakar dan Majelis Wilayah. Dari kajian tersebut, KAHMI menemukan beberapa hal yang dinilai perlu diklarifikasi oleh pemerintah dan DPRD sebelum proyek dilanjutkan.

“Setelah kami kaji baik oleh Majelis Pakar dan Majelis Wilayah, KAHMI melihat ada hal-hal yang kita anggap perlu untuk kita sampaikan dan dijadikan perhatian oleh pemerintahan daerah dengan DPRD,” ujarnya.

Ishak menegaskan bahwa KAHMI tidak bermaksud mencampuri kewenangan eksekutif maupun legislatif, namun memiliki kewajiban moral untuk memberikan pendidikan politik sekaligus pengawasan publik yang konstruktif. Menurutnya, peran masyarakat sipil merupakan bagian penting dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang demokratis.

“Kami tidak bermaksud untuk ikut mencampuri, tapi sebagai bagian dari masyarakat, bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana secara partisipatif, KAHMI ingin melakukan dan memberikan pendidikan politik kepada semua bahwa beginilah cara kita berdemokrasi dan berpemerintahan,” tutur mantan anggota DPRD Malut ini.

Dalam penjelasannya, ia menyoroti ketidakjelasan terkait angka anggaran pembangunan Trans Kie Raha. Ishak mengatakan bahwa terdapat perbedaan angka antara nilai awal sebesar Rp186 miliar dan angka baru yang disebut berkisar Rp96-98 miliar, sementara DPRD pun belum dapat memberikan kepastian mengenai jumlah final dalam postur APBD. Kondisi ini menurutnya menunjukkan adanya kelemahan dalam proses penganggaran daerah.

“Yang kita sampaikan adalah pertama terkait dengan kebijakan pemerintahan daerah terutama Ibu Gubernur yang sudah meminta persetujuan DPRD, dan DPRD sudah memberikan persetujuan tapi kami minta ini ditinjau kembali yaitu pembangunan Trans Kie Raha, yang tadinya sekitar Rp186 miliar katanya sudah sepakat turun tinggal 96 miliar atau 98 miliar, karena tadi kami mencoba mengkroscek ke DPRD,” tegasnya.

Ishak menambahkan bahwa ketidakmampuan DPRD mengonfirmasi angka pasti menunjukkan bahwa pembahasan berlangsung tanpa ketelitian penuh. Menurutnya, hal demikian menciptakan kesan bahwa DPRD memberikan ruang kosong yang dapat diisi oleh pemerintah, dan praktek ini tidak boleh terulang.

“DPRD juga belum bisa memberikan konfirmasi angka pasti nah ini berarti pembahasannya, maaf saya harus katakan DPRD memberikan blangko kosong yang di isi oleh pemerintah, saya kira ini hal yang perlu ke depan tidak boleh diulangi,” jelasnya.

Ishak mengakui bahwa kondisi tertentu mungkin membuat DPRD mengambil keputusan terburu-buru, namun ia meminta agar ke depan lembaga legislatif benar-benar memahami setiap detail APBD sebelum memberikan persetujuan. Hal ini menurutnya bagian dari tugas DPRD dalam menjaga akuntabilitas fiskal daerah.

“Kita pahami kalau dalam situasi dan kondisi DPRD mengambil keputusan seperti itu, kita bisa memahami kondisinya, tapi ini menjadi catatan penting untuk tidak diulangi ke depan. DPRD harus bisa mengetahui secara utuh isi APBD, itu yang utama, tadi sudah kami sampaikan dan Alhamdulillah teman-teman DPRD juga menyambut baik,” terangnya.

Ishak kemudian menegaskan bahwa kedatangan KAHMI ke DPRD Malut bertujuan memberikan dorongan moral agar lembaga legislatif lebih tegas dalam mengawasi kebijakan pemerintah, terutama bila kebijakan tersebut dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

“Intinya kami datang ini adalah memberikan penguatan pada DPRD, supaya berani mengambil sikap tegas terhadap pemerintah, terhadap hal-hal yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” ungkap Ishak.

Lanjut Ishak menjelaskan, bahwa berdasarkan kajian KAHMI, proyek Trans Kie Raha belum termasuk program prioritas karena tidak sesuai dengan RTRW. Ia menilai bahwa pembangunan harus mengacu pada kebutuhan paling mendesak masyarakat, bukan pada proyek yang belum memiliki urgensi.

“Kenapa Trans Kie Raha ini kita mencoba untuk mengkaji ulang, karena menurut pengajian KAHMI, Trans Kie Raha belum bisa dikatakan sebagai program prioritas tahun ini, pertama tidak mengacu pada RTRW,” tuturnya.

Ishak juga menyoroti ketidakjelasan arah pembangunan tersebut. Menurutnya, bila proyek diklaim dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus menjelaskan secara konkret sektor mana yang akan terdorong.

“Yang kedua, Trans Kie Raha ini tidak jelas arahnya untuk apa?, kalau dikatakan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi sektor mana yang akan didorong itu kan harus jelas, apakah sektor pertambangan, apakah sektor industri pengolahannya, atau di sektor mana,” tegasnya.

Ishak mengungkapkan informasi yang ia terima bahwa tujuan pembukaan jalan ini adalah untuk membuka akses dari Sofifi ke Bandara Lelilef. Namun ia mempertanyakan seberapa besar potensi penumpang dan manfaat ekonominya bila dibandingkan dengan akses yang sudah ada.

“Kami mendapat informasi Gubernur menyampaikan penjelasannya dalam rapat peripurna DPRD bahwa pembukaan jalan ini tujuannya untuk membuka akses sibilitas transportasi dari Sofifi ke Bandara Lelilef,” jelasnya kembali.

Ishak menjelaskan bahwa hal utama yang perlu dikaji adalah proyeksi jumlah penumpang yang akan naik dan turun apabila jalur tersebut benar-benar dibuka. Menurutnya, data itu menjadi dasar untuk memastikan apakah operasional jalur itu dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dan layak dijalankan. Ia juga menegaskan bahwa pertimbangan tersebut tidak boleh dijawab secara spekulatif, melainkan harus didukung analisis yang terukur dan berbasis fakta.

“Menjadi pertanyaan, seberapa besar angka penumpang yang akan naik dan turun kalau jalur ini kita buka, sehingga secara ekonomi menguntungkan, dan ini tidak boleh dijawab secara spekulatif,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan bahwa jalur ini melewati kawasan hutan dengan minim permukiman, sementara akses Sofifi-Ternate jauh lebih cepat dan praktis

“Pertanyaan yang paling mendasar, ini kan melewati area hutan, berapa banyak pemukiman yang dilewati apakah hanya untuk mengangkut penumpang dari Sofifi ke luar melalui Lelilef sementara jarak Sofifi dengan Ternate begitu dekat,” ungkapnya.

Ishak turut menyoroti bahwa alternatif penerbangan melalui Ternate atau Kao jauh lebih banyak dan realistis dibandingkan melalui Lelilef.

“Dan alternatif pilihan penerbangannya cukup banyak, atau ke Kuabang Kao misalnya, atau mungkin pilihan-pilihan lebih banyak dibandingkan kita ke Lelilef,” terangnya.

Menurutnya, pembukaan jalur tanpa kejelasan waktu peningkatan jalan hanya akan menunda manfaat nyata bagi masyarakat.

“Sekarang kalau jalur ini pun dibuka, katanya ini kan kita hanya membuka jalan, terus berapa lama butuh waktu untuk ditingkatkan supaya jalan itu betul-betul berfungsi,” sambungnya.

Ishak memaparkan bahwa masih banyak wilayah lain di Malut yang membutuhkan pembangunan infrastruktur lebih mendesak seperti Taliabu, Sula, Morotai, Halut, Halsel, dan Haltim. Ruas jalan provinsi di wilayah-wilayah tersebut masih belum dibangun secara optimal.

“Itu yang menurut KAHMI tidak tepat untuk saat ini, sementara Taliabu, Sula, Morotai, Halut, Halsel, Haltim itu masih memerlukan dukungan infrastruktur jalan untuk ruas jalan provinsi yang ada di sana yang belum terbangun,” jelasnya.

Ia memberi contoh ruas Payahe–Depodo yang hingga kini belum terbiayai, serta menyebutkan bahwa sektor pendidikan dan kesehatan masih memiliki banyak kebutuhan yang lebih mendesak untuk dipenuhi.

“Payahe Depodo saja belum terbiayai, jadi mungkin akan lebih bagus kalau anggaran itu dialihkan ke sana itu yang rekomendasi KAHMI saat ini. Kalaupun tidak seluruhnya pekerjaan infrastruktur jalan kan masih ada sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan yang masih memerlukan,” tuturnya.

Dalam konteks wilayah Malut yang 70 persen merupakan laut, Ishak menilai bahwa prioritas pembangunan seharusnya berorientasi pada infrastruktur kemaritiman, termasuk pelabuhan, yang mampu membuka akses transportasi lebih luas.

“kemudian ada infrastruktur lain dalam wilayah ibu kota Sofifi yang menjadi kewenangan provinsi, kenapa bukan itu? contohnya misalkan pelabuhan itu juga kan membuka aksesibilitas transportasi,” terangnya.

Ia menyimpulkan bahwa pembangunan Trans Kie Raha mungkin baru relevan untuk dibangun dalam empat hingga lima tahun ke depan, bukan pada tahun ini.

“Kahmi lebih menekankan, karena kita wilayah 70 persen lebih wilayah laut, maka untuk pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan aspek kemaritiman karena itu yang paling penting untuk dilihat. Taruh lah jalan Trans Kie Raha mungkin baru urgensinya untuk kita bangun mungkin 4 sampai 5 tahun ke depan,” beber Ishak.

Ishak juga menegaskan bahwa meskipun APBD telah diketuk, karena belum diundangkan, maka secara hukum masih terbuka ruang untuk melakukan penyesuaian. Ia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali urgensi proyek ini.

“Meskipun APBD sudah diketuk, namun ini belum diundangkan, kalau belum diundangkan secara hukum belum mempunyai kekuatan mengikat, jadi masih ada ruang untuk disesuaikan,” jelasnya.

Menurut Ishak, KAHMI berencana menyampaikan surat kepada Kemendagri agar kajian ini menjadi perhatian dalam proses evaluasi APBD. Ia menegaskan bahwa pembangunan harus tunduk pada tata ruang.

“Kahmi berupaya untuk menyampaikan surat kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menjadi perhatian Kemendagri dalam melakukan evaluasi atas APBD yang sudah disetujui oleh DPRD,” tegasnya.

Ishak menambahkan bahwa pembangunan Trans Kie Raha tidak tercantum dalam RTRW sehingga bertentangan dengan hukum tata ruang dan lingkungan. Hal ini menurutnya merupakan pelanggaran serius dalam perencanaan wilayah.

“Pembangunan Jalan Trans Kie Raha tidak ada dalam RTRW berarti pembangunan ini tidak didasarkan Rencana Tata Ruang, ini menabrak tata ruang itu juga, dari sisi hukum tata lingkungan itu bertentangan,” pungkasnya. (Jainal Adaran)

Topik:

Gubernur Maluku Utara Gubernur Malut Sherly Gubernur Malut Sherly Tjoanda