Optimalisasi Pemanfaatan Biomassa untuk Kemandirian Energi Nasional

No Name

No Name

Diperbarui 4 Juli 2022 23:45 WIB
BIOMASSA adalah sumber daya energi yang tersedia cukup besar di bumi Indonesia dan merupakan sumber daya energi terbarukan yang memiliki karakteristik continuous dan sustainable sehingga dapat lebih terjamin. Pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi, dapat dimanfaatkan langsung untuk menghasilkan energi listrik melalui berbagai proses, salah satunya adalah dengan co-firing, di mana biomassa digabungkan di pembangkit berbahan bakar fosil, batu bara. Keuntungannya tidak memerlukan pembangunan pembangkit baru. Upaya co-firing di lingkungan PT PLN (Persero) perlu dihargai dan diapresiasi sebagai upaya untuk percepatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), agar kontribusi EBT di dalam bauran energi nasional dapat terus ditingkatkan. Sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional, tujuan target 23 persen kontribusi EBT di tahun 2025, salah satu tujuannya adalah menciptakan kemandirian energi dan menciptakan lapangan kerja baru sektor energi, sehingga kontribusi EBT memberikan dukungan pertumbuhan ekonomi, penguasaan teknologi dan penciptaan lapangan kerja baru. Pilihan akselerasi penggunaan Bio-masa di PLTU PT PLN adalah pilihan yang sangat tepat. Hal ini diharapkan dapat menggairahkan ekonomi masyarakat dan potensi lokal juga dapat berkembang. Biomassa nasional dapat bersumber dari berbagai varian, misalnya sisa kayu olahan, atau pengembangan tanaman energi dan memanfaatkan sampah sisa olahan masyarakat. Skenario dan upaya untuk mendapatkan biomassa dalam jumlah besar tidaklah mudah, tantangannya antara lain menyangkut regulasi pricing dan peran Pemerintah yang perlu memberikan perhatian lebih/guidance. Pengembangan biomassa untuk meningkatkan pemanfaatan EBT membutuhkan sentuhan tangan pemerintah. Pasalnya perlu kebijakan yang mendukung. Pemanfaatan biomassa pada sektor kelistrikan PLN kini bersaing dengan pasar internasional. Pasalnya, harga wood pellet sebagai bahan baku biomassa lebih mahal jika diekspor ketimbang dijual di dalam negeri. PLN sudah susah berkompetisi untuk mendapatkan hasil gergajian, karena apa? dibuat dalam bentuk pelet oleh pengembang kemudian diekspor, karena harga pelet di pasar internasional itu lebih mahal dari pada di dalam negeri. Kondisi ini harus mendapat perhatian Pemerintah agar keberlanjutan pengembangan biomassa tetap terjaga, dengan membuat regulasi agar pemanfaatan di dalam negeri tetap menarik. Jadi siapa yang mengatur, regulator kita bagaimana cara mengatur supaya ini kompetitif bisa di dalam negeri. Untuk pemanfaatan biomassa yang bahan bakunya berasal dari sampah juga membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sehingga masyarakat memilah sampah yang cocok dijadikan biomassa. Bagaimana kesadaran masyarakat untuk mengatur sampah, tapi apakah kesadaran masyarakat bisa tumbuh sendiri? Tidak bisa, perlu peran pemerintah untuk mengatur. Sampah tidak bisa diolah masyarakat sendiri, dibutuhkan peran pemerintah untuk mengolahnya. Hal ini pun telah dilakukan oleh negara lain seperti Jepang, Korea dan Swedia. Di Jepang, Korea, dan Swedia pemerintah turut campur dalam mengolah sampah, sampah butuh diatur tidak bisa menyerahkan pengolahan sampah ke pengusaha. Pemerintah mengatur pengusaha bisa memanfaatkan bagian yang bermanfaat. Pemanfaatan sampah untuk energi pun masih sulit karena banyak hambatan, salah satunya adalah perbedaan persepsi tentang biaya pengolahan sampah yang dikeluarkan Pemerintah untuk badan usaha. Ada yang beranggapan kalau dikasih tipping fee side produknya jadi listrik Pemerintah memberikan subsidi pengusaha, kesannya demikian. Oleh karena itu, harga biomassa sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan harga batu bara seperti DMO yang harganya ditetapkan oleh pemerintah. Walaupun tidak harus mengikuti mekanisme pasar internasional, tetapi cara penentuan harga memperhatikan basic cost yang dapat dihitung. Misalnya untuk pengembangan hutan tanaman energi, ada struktur cost yang dapat dihitung untuk menentukan kelayakan harga bio-masa kayu sebagai energi. Cara lain adalah dengan penerapan elastisitas pada tarif untuk kelompok pelanggan mampu. Adanya kontribusi biomassa sebagai EBT bila berkontribusi terhadap kenaikan BPP, maka kenaikan tersebut dapat di pass-through ke tarif kelompok pelanggan mampu sebagai delta perubahan tarif. Cara penerapan ini berlaku di beberapa negara, contohnya di Thailand. *Akademisi Universitas Gajah Mada Dr Ir Tumiran MEng   sumber: Humas PLN

Topik:

PLN Transisi Energi energi baru terbarukan UGM biomassa