Korupsi BTS 4G di Masa Pandemi Bisa Diancam Hukuman Mati: Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor

No Name

No Name

Diperbarui 9 Juli 2023 17:21 WIB
Oleh: Anthony Budiawan/Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) [caption id="attachment_497728" align="alignnone" width="588"] Anthony Budiawan (Foto: Doc MI)[/caption] KEJAKSAAN AGUNG menggebrak, membongkar mega korupsi kolektif BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Sebenarnya ini bukan lagi mega korupsi, tetapi sudah merupakan perampokan uang negara secara sistematis. Karena, uang yang dikorupsi mencapai 80 persen, atau sekitar Rp8 triliun, dari nilai proyek sekitar Rp10 triliun. Publik gembira dengan gebrakan Kejaksaan Agung, berharap hukum dapat ditegakkan. Berharap, Kejaksaan Agung dapat membongkar kasus perampokan uang negara yang begitu masif, dengan jumlah yang tidak normal. Untuk itu, masyarakat harus mengawal kasus korupsi BTS 4G ini, dengan mengkritisi dan mengawasi proses hukum agar Kejaksaan Agung wajib menegakkan hukum secara adil, dan menghukum semua pihak yang bersalah korupsi, termasuk para elit politik, penguasa, dan korporasi. Indikasi tebang pilih dalam penanganan korupsi ini mulai mencuat. Banyak pihak yang diduga menerima aliran dana korupsi tidak tersentuh. Pertama, mengenai pengembalian uang Rp27 miliar yang diungkap pengacara Irwan Hermawan. Kejaksaan Agung wajib mengusut dan mempublikasikan siapa yang mengembalikan uang yang diduga berasal dari dana korupsi Rp27 miliar tersebut, satu hari setelah Menpora, Dito Ariotedjo, diperiksa Kejaksaan Agung. Apakah uang tersebut terkait dugaan aliran dana kepada Dito, yang jumlahnya sama besar, yaitu Rp27 miliar? Publik patut curiga, karena waktu pengembalian uang hanya satu hari setelah Dito diperiksa Kejaksaan Agung. Publik juga patut curiga, pengembalian uang ini agar terbebas dari jeratan hukum. Tetapi, tidak semudah itu, karena pengembalian uang korupsi tidak menghapus tindak pidananya. Semoga, semuanya segera terbongkar. Kedua, Kejaksaan Agung harus segera memeriksa beberapa pihak yang disebut menerima aliran dana korupsi dalam jumlah sangat besar, menunjukkan mereka mempunyai kekuasaan sangat besar. Mereka yang belum tersentuh hukum seperti Windu Aji Sutanto (anggota tim sukses Joko Widodo pada pilpres 2014), Sadikin, Erry (Direksi Pertamina), Nistra Yohan (Staf ahli wakil ketua komisi I DPR dari fraksi Gerindra), Edward Hutahean, serta beberapa pejabat dan pegawai Kementerian Kominfo. Windu Aji Sutanto (bersama Setyo Joko Santoso) disebut menerima aliran dana korupsi Rp75 miliar. Anehnya, sejauh ini, yang bersangkutan belum diperiksa. Kenapa? Siapa Windu Aji Sutanto yang belum tersentuh hukum tersebut, selain, menurut Tempo, sebagai anggota tim sukses Jokowi tahun 2014? Apakah Windu Aji Sutanto ini orang yang sama sebagai pemilik PT Lawu Agung Mining (LAM), di mana direktur utamanya sudah menjadi tersangka kasus korupsi pertambangan dan penjualan ore nikel di wilayah konsesi PT. Antam UPBN Konawe Utara? Pertanyaan lebih lanjut, apakah kasus korupsi pertambangan dan penjualan ore nikel tersebut ada kaitannya dengan kasus penyelundupan 5 juta ton nikel mentah ke China, yang sedang diusut KPK? Jadi, siapa sebenarnya Windu Aji Sutanto? Atau siapa sebenarnya yang berkuasa di belakang Windu Aji Sutanto? Masa tim anggota sukses bisa menguasai kekuatan bisnis nikel dan BTS? Masih banyak sisi gelap menutupi kasus korupsi kolektif BTS 4G ini. Kejaksaan Agung wajib membuka agar menjadi terang-benderang, dan memeriksa semua nama yang terlibat. Kalau berhenti sampai di sini, korupsi ke depan akan semakin merajalela, karena tidak ada efek jera. Karena, bawahan bisa dijadikan korban, sehingga elit politik, penguasa dan korporasi yang korups akan terus merancang korupsi dan perampokan uang negara. Dampaknya, Indonesia akan terpuruk, rakyat dimiskinkan oleh para elit bangsa ini. Dan Kejaksaan Agung menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab, karena gagal menjalankan tugasnya menindak dan memberantas kejahatan korupsi. Jumlah korupsi BTS 4G sangat besar, dan terjadi di masa Pandemi. Ada indikasi uang yang seharusnya digunakan untuk menangani pandemi, dan membantu rakyat yang terdampak pandemi, tetapi dialihkan untuk proyek BTS 4G Kominfo, dan kemudian dirancang untuk dikorupsi. Penetapan anggaran biaya proyek BTS 4G terindikasi melanggar konstitusi, karena ditetapkan dengan Peraturan Presiden, bukan UU APBN seperti perintah konstitusi, UUD Pasal 23: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, korupsi BTS 4G dapat dikategorikan korupsi melawan kemanusiaan di masa pandemi. Kejaksaan Agung harus berani menggunakan Pasal 2 ayat (2), UU Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman mati: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”